Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, sudah mengganti kebaya yang kupakai di sore hari tadi dengan sebuah piyama tidurku. Ini merupakan kamar yang di persiapkan mba Samara untuk aku tempati bersama mas Arshangga yang pasti sangat jauh lebih bagus dari kamar yang ibuku tempati.
Pemandangan yang pertama aku lihat saat keluar kamar adalah mas Ars, dia duduk di ranjang menekuk kepalanya dan kedua tangannya memijat pelipis.
Mas Arshangga terlihat sangat frustasi, langkahku semakin berat, aku harus apa? Aku harus melakukan apa? Apakah menyapa dia.
Tidak! Aku terlalu takut.
Tiba-tiba saja dia menoleh kepadaku, sorot matanya begitu tajam, dia melihatku seperti sangat muak.
"Sudah?" ucapnya.
Aku berkerut dahi, tidak paham apa maksud perkataan sudah itu. "Sudah?" Dan akupun mengulangnya.
"Samara sakit, dia membutuhkan seseorang menemaninya tidur, saya rasa kamu cukup mengerti."
"Mengerti?"
Demi Tuhan aku tidak mengerti, apa yang dia harap dari aku gadis 18 tahun ini harus mengerti tentang drama kehidupan orang-orang dewasa.
Aku menunduk lalu mengangkat wajahku, "Sa-ya nggak paham."
"Lila! Apa kamu lupa apa tujuan kamu ada dirumah ini? Apa yang kamu maksud, kamu tidak paham?"
Tolong jelaskan, aku harus apa? Aku sungguh tidak paham.
"Sa-ya--"
Tiba-tiba Mas Ars bangkit dari duduknya lalu merenggangkan dasi yang merekat di lehernya, lelaki itu memasang wajah yang sangat dingin jelas sekali tatapan itu bisa aku artikan dia muak sekali melihatku dan ingin cepat-cepat enyah dari sini.
"Berbaringlah!"
Berbaring?
Sekujur tubuhku meremang, kakiku seakan kaku tidak mampu aku gerakkan. Kenapa aku benar-benar dibuat seperti sesuatu yang tidak ada artinya.
"Lila!"
Dia menyebut lagi namaku dengan sorot matanya yang tajam, lantas akupun segera bergerak takut dan naik ke ranjang.
Mas Ars melepaskan ikat pinggannya, ia menanggalkan celananya, namun dia tidak melepaskan kemejanya dan eketika dia naik ke ranjang dan menarik kasar kakiku membuat aku terlentang.
Jantungku berdegub sangat kencang, seakan ingin melompat keluar dari tulang penyanggahnya, ini menjadi kali pertama seorang lelaki berjarak sangat dekat dengaku, bisa kurasakan hawa nafasnya, aroma tubuh hingga detak jantungnya yang berdegub kencang itu.
Aku bergidik ngeri, aku lihat wajah tampan dengan ekspresi muaknya mengukungku. Jangan di tanya seperti apa wajah mas Ars. dia memiliki paras yang amat tampan, kulit bersih, hidung tinggi, mata yang indah, tatanan rambut yang rapi dan sebuah lesung pipi di pipi kirinya begitu jelas terlihat walau dia tidak tersenyum.
Dia menarik sebuah bantal lalu memberikan padaku, aku langsung paham dan ingat kata-katanya, dia tidak mau melihat wajahku saat dia melakukannya, dia juga tidak sudi mata kami saling bertemu dan apa lagi menjadi menikmati.
Kejam, dia akan memerawani seorang gadis bukan jalaang!
Aku ingin menangis, rasanya hidupku hancur dalam sekali kedipan mata, ibuku menghancurkan anaknya sendiri.
Aku menutup sendiri bagian wajahku, aku tidak tahu lagi bagaimana dia dan apa yang dilakukannya. Tiba-tiba saja dia menarik celanaku, tubuhku langsung menegang dan engan satu gerakkan cepat dia menarik celana dalamku.
Hawa dingin dari kamar ber-AC itu membuat aku menggerakkan kaki polosku, dia kemudian menarik kakiku. Dan... Aku merasakan dia memposisikan dirinya didepanku lalu membelah sesuatu dibawah sana. Kedua tanganku semakin memeluk erat bantal yang menutupi wajahku, aku takut, dan tiba-tiba aku rasakan dia menyentuh titik inti diriku berusaha memasuki dan menyatukannya diri namun kesulitan.
Mas Ars mendengkus kesal, entah dia bingung bagaimana cara melakukannya dengan orang lain selain Samara entah karena sesuatu hal yang lain.
Mas Ars kemudian mengulang lagi menyatukan titik diri kami. Aku bergerak, tubuhku lagi-lagi reflek mengelak namun dia tanpa suara menarik kasar tubuhku lalu menarik kedua tanganku menyalipkan disebalik tubuhku. Dia berusaha menyatukannya lagi dan terjadi lagi aku terkejut kini sambil merintih sebab memang sangat menyakitiku.
"Arghh!"
Tiba-tiba ia mendengkus kesal dan segera berhenti saat mendapati lagi dan lagi respon penolakkan dariku, ya aku terus reflek menolak, aku merasakan sesuatu dipaksa dikoyak, diapun bangkit dan turun dari ranjang.
"Saya akan keluar, jangan ceritakan apapun pada Samara, katakan saja sudah." Mas Ars bernafas berat lalu segera memakai celananya.
Aku tidak mengerti kenapa dia harus berbohong, namun aku bisa bernafas sedikit lega, dia tidak jadi melakukannya.
***
Beberapa waktu kemudian.
"Apa yang kamu lakukan mas? Kenapa disini?" Samara didepan meja rias membersihkan wajahnya langsung memutar kursi roda yang ia duduki melihat Arshangga kembali.
"Sudah, saya mau mandi dan tidur."
"Mas!" Samara menatap kesal, "Tolong mas, mengerti keadaan jangan mengulur waktu. Tidurlah di kamar Lila sampai pagi minimal malam ini saja, berusahalah untuk kita."
"Tolong mengertilah, semua ini aneh untuk saya."
"Kamu fikir saya tidak? Pergi kembali atau saya yang pergi dari sini."Ancam Samara suaminya.
Dengan rasa marah, muak dan sangat-sangat enggan Arshangga kembali ke kamar Lila. Kamar itu belum dia kunci, Arshangga langsung masuk begitu saja dan membuat Lila yang sedang merapikan tempat tidur terkesiap.
Namun Arshangga tidak berucap apapun, dia mengunci pintu dari dalam dan langsung naik ke ranjang Lila, segera tidur memunggungi Lila disana.
Arshangga tidak habis fikir, dia akan memerawani seorang gadis demi mendapatkan seorang anak. Dia berperang dengan hati nuraninya.
Namun sesaat kemudian dia sadar, untuk apa mengasihani, Lila tidak melakukannya dengan cuma-cuma, keluarga Ardito suryo membayar dia mahal. Bahkan Lila akan bersekolah di London nanti dan ibu Lila mendapatkan rumah impiannya juga sebuah pabrik frozen food terbesar di kota kecil mereka tinggal seperti apa yang ia impikan.
"Lila!"
"I-iya..." Jawabnya takut.
"Tolong lampunya--"
Lila pun bangkit untuk mematikan lampu dan segera Arshangga menarik tangan Lila, menutup cepat bantal ke wajah Lila, langsung menarik kasar pakaian Lila dan celana panjangnya.