Seperginya ke kantor, Arshangga menyinggahi sebuah café ia menemui Deon sahabatnya yang juga merupakan seorang dokter kepercayaan keluarganya, Deon satu-satunya orang luar yang tahu perihal yang Arshangga alami termasuk tentang Lila yang ia nikahi.
Deon sudah lebih dulu disana, Arshangga turun dari mobil miliknya langsung melambaikan tangannya, ia pun segera menghampiri Deon, “Maaf, kau sudah menungguku?”
“Tidak juga, tumben kau mengajakku bertemu di pagi hari. Untungnya aku tidak ada jadwal pagi ini.”
“Jika ada jadwal pastikan tetap aku yang kau utamakan, jangan lupakan siapa yang membuatmu seperti sekarang.”
Deon tertawa,”Bukan kau tapi nenek dan ayahmu. Apa yang mau kau bahas? Bagaimana dengan gadis itu.”
Arshangga menarik nafasnya lelah, Ia pun memanggil seorang pramusaji untuk memesan, “Air putih hangat saja.” Pinta Arshangga kepada pramusaji itu, ia pun mulai menatap ke arah Deon lagi seperginya pramusaji itu.
“Aku belum bisa melakukannya.”
Deon lantas tertawa,”Belum bisa? Tentang itu? Kau takut dengan Samara, percepat Arsh jika kau takut menyakiti Samara. Aku bisa pastikan gadis itu cukup subur dia bisa segera mengandung keturunanmu. Ya walaupun sejujurnya hati kecilku tidak setuju dengan ini, tapi jika tentang kesepakatan dan sama-sama menguntungkan untuk kalian ya, kenapa tidak.”
“Kau fikir aku mau seperti ini? Jika bukan karena paksaan Samara aku lebih memilih tidak mempunyai keturunan seumur hidupku. Samara bahkan mengusirku dari kamar, dia seperti tidak sakit melihat suaminya bersama wanita lain.”
“Sakit pasti, hanya saja dia butuh itu, lalu apa masalahmu? Lakuka segera apa susahnya.”
“Milikku tidak berereksi, aku sudah memaksnya. Aku terus mengulang dan mencoba berkali-kali tapi tidak berhasil.”
Deon pun terbahak-bahak, “Kau tidak mendadak impoten bukan? Kau masih melakukannya bersama Samara? Atau jangan-jangan kau tidak pernah melakukannya.”
“Terakhir 3 Bulan lalu saat Samara sedang normal, tidak menstruasi tidak abnormal seperti beberapa waktu ini.”
Deon mulai mensesap kopinya semabari berfikir, “Kau pasti sehat, mungkin saja perasaan takut dan tidak nyamanmu membuat kau sulit berereksi, kau sudah melakukan pemanasan? Melakukan sebuah foreplay seperti berciuman, bersentuhan di titik sensitive untuk membangkitkan gairah. Jangan bilang kau lupa caranya, ah tidak bukan lupa kau hanya canggung, coba lakukan itu, aku tahu tujuanmu bukan untuk bercinta tapi untuk memiliki keturunan saja dengannya. Tapi kau juga jangan lupa untuk mendapatkan tujuan itu kau perlu menciptakan suasana yang menyenangkan hingga terciptalah keinginan dan hasrat diri barulah terjadi pembuahan.”
Arshangga mengusap kepalanya frustasi, “Itu sulit kulakukan, kau tahu bahkan saat melakukannya aku meminta dia menutup wajahnya dengan bantal. Aku selalu merasa bersalah dengan Samara, aku benci harus menyentuh gadis lain.”
“Menutup wajahnya dengan bantal?” Deon tertawa dan sedikit shock, “Kau benar-benar sudah tidak waras, apa pendapatkanya di perlakukan seperti itu?”
“Dia menurut saja, dia tidak membantah seolah hatinya sudah tertutup demi ambisi-ambisi di kedepan nanti. Apa yang dia mau bantah, dia mendapatkan banyak keuntungan setelah perjanjian selesai, sekolah di luar negri dan ibunya mendapatkan usaha yang dia mau. Semuanya setimpal jadi dia patuh peraturan yang dibuat Samara, menurut dengannya juga aku.”
“Hemm baiklah, artinya sekarang kau juga harus fokus dengan ambisimu juga keluargamu, berlakulah seperti laki-laki normal bagaimana mungkin kau tidak bisa, tutup matamu bayangkan saja Samara saat kau melakukannya, bayangkan pertama kau menyentuh Samara, saat-saat bercinta dengannya. Kau sendiri yang harus bangkitkan gairah itu, lakukan pemanasan Arsh kau tidak akan mendapatkan itu jika langsung melakukannya. Kau menyiksa lawanmu.”
Ucapan Deon pagi tadi terus terngiang-ngiang di kepala Arshangga hingga dia sudah sampai di kantornya, lelaki itu benci sekali dengan Lila, kenapa dia mau mempertaruhkan harga diri demi semua hal yang berbau kesuksesan dan hidup lebaik baik.
“Wanita sialan!”
Arshangga membuka data diri Lila yang sempat dikirimkan Samara kepadanya di sebuah email, gadis itu baru berusia 18 tahun dia baru lulu sekolah.
Tinggal di sebuah desa terpencil, seorang anak yang aktif dalam kegiatan sekolah, tidak ada riwayat penyakit dan disana Lila membuat pernyataan dia tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis sekalipun dan tidak pernah dekat dengan lelaki manapun.
“Persetan peduli apa dengan itu, Ibu dan anak sama saja.”
*
Sepulangnya dari kantor harusnya Arshangga menemani Samara berbelanja bersama Lila, namun lelaki itu beralasan kurang enak badan membuatnya segera kembali kerumah dan membiarkan Samara berbelanja dengan pembantu di rumah yang tidak lain adalah Anna ibu dari Lila.
Arshangga enggan sekali jika Samara akan menanyakan pendapatnya perihal Llila lalu, entah kenapa Arshangga terlalu muak dengan Llila juga ibunya itu.
Setibanya dirumah Arshangga pergi ke kamar yang di tempati Lila yang ia tahu sedang kosong karena dia pergi bersama Samara, sebuah ponsel lain miliknya tertinggal malam tadi di kamar gadis itu, dengan santai laki-laki itu masuk ke kamar yang dia juga punya kuncinya itu, melangkah masuk begitu saja. Sesampainya di dalam Arshangga terkesiap, kamar itu tidak kosong, Lila ada disana.
Arshangga hendak mundur namun ia lihat gadis itu tidak bergerak dan tidak sadar dia masuk, Lila tampak melantai di bawah ranjang kepalanya bersandar di ranjang dengan kedua tangannya ia lipat sebagai penopang kepalanya.
Lila tampaknya tertidur, “Kenapa dia ada?”
Arshangga berjalan dengan sikap acuhnya, tidak peduli entah dia tidur apapun itu, tujuannya bukan untuk gadis itu.
Arshangga menuju nakasnya ia lihat dari jauh ponselnya ada disana, Arshangga melewati Lila yang sedang tidur, wajahnya yang di miringkan terlihat oleh Arshangga, gadis itu tampak baru saja menangis, sprai yang ia tiduri juga tampak sedikit membasah, Lila tampak menidih sebuah buku di lengannya.
Wajah cantiknya kini jelas sekali Arshangga lihat, wajah itu begitu teduh dan lirih sekali. Arshangga terkesiap melihat Lila, sesekali dalam tidurnya Lila sesegukan tampak sedang sedih sekali.
“Persetan dengan itu.” Arshangga menyeringai muak, terlanjur benci dan sangat tidak menyukai Lila sebab terlalu rakus harta menyerahkan harga diri tidak peduli apapun resikonya.