Setelah berfikir semalaman, meminta sara kedua sahabatnya, pada akhirnya Ayna memutuskan untuk menjalankan dua agenda yang secara tidak sengaja bersamaan. Beruntung acara menemani Varrel maju satu jam, setidaknya masih sangat keburu dia menghabiskan waktu dengan Wildan. Lebih beruntungnya lagi sang kekasih mau mengerti.
Ayna berdiri di depan cermin, menatap lekat serta menelisik penampilannya dari atas hingga bawah. Untuk acara pertama Ayna memakai long dress berwarna abu-abu sesuai perintah bosnya itu. baju yang Ayna kenakan juga baru, tadi selepas plang kantor dia mampir ke mall ditemani Agatha dan Karina. Ayna merasatidak ada yang salah dengan bajunya karena masuk katagori sopan.
Sambil menunggu jemputan Ayna duduk di tepi ranjang. Kedua mata sipitnya itu mengamati setiap udut kamar. Allysa sedang izin pergi dari sore, lagi-lagi dia merasakan hampa. Andai keluarga dan orang tuanya masih harmonis, mungkin saat ini Ayna sedang hidup damai.
‘Bunda sama ayah ngga bisa datang, Na, hari ini sidang pertama perceraian kami.’
Kalimat itu … amat sangat membekas di dalam ingatan Ayna. Rasa gembira di hari wisuda seketika lenyap, bahkan Ayna orang paling menyedihkan saat itu sampai menangis. Kurang lebih satu tahun berlalu, tetapi tidak bisa menghapus rasa sakit itu.
Dreet..dreet..dreet.
Pak Varrel Fahlevy calling..
Kening Ayna menyerit menatap nama yang tertera di layarnya. Bukan Wildan, tetapi bosnya. Entahlah, tapi Ayna merasa Wildan kalah dalam komunikasi hari ini oleh Varrel. Tidak apa, Ayna memaklumkan. Sebelum mendapat semprotan maut Ayna buru-buru mengangkat video call tersebut.
‘Kamu sudah rapih, Ay? Lekas turun, saya sudah di lobby.’
“Hah? Bapak yang jemput saya? Kat—”
‘lekas turun, Ayna!’
Tut!
Panggilan video call terputus sepihak, Ayna berdecak kesal. Apa semua orang yang mempunyai jabatan tinggi seperti itu?! masih dalam hati kesal Ayna bangkit berdiri. Sesaat dia kembali meyakinkan diri kalau penampilannya tidak salah. Dirasa cukup Ayna mengambil tas serta paper bag yang berisi baju untuk dinner bersama Wildan. Karena kalau harus pulang sangat buang-buang waktu.
Tepat di depan apartemen Varrel tengah berdiri. Perlahan namun pasti Ayna mendekat. Menyadari ada seseorang menghampiri tubuh tegap Varrel menghadap ke belakang. Kini tepat di depannya berdiri seorang wanita cantik berbalut dress panjang berwarna abu-abu yang senada dengan jasnya.
"Apa ada yang salah sama penampilan saya, Pak? Saya perlu ubah?" tanya Ayna karena sejak tadi Varrel terus menatapnya lekat. Boleh saja di depan cermin terlihat sempurna, tapi belum tentu kalau secara langsung.
"Cantik," puji Varrel.
Pujian simple, namun sukses membuat Ayna salah tingkah. Kapan lagi coba pria kulkas seperti Varrel memuji orang? Terlebih selama ini yang selalu memuji Ayna cantik hanyalah Wildan seorang.
Tidak ingin memperpanjang obrolan Varrel mengajak Ayna untuk segera masuk ke dalam mobil. Bukan apa-apa, Varrel hanya takut telat karena jalanan sedikit macet.
Selama diperjalanan keduanya kompak terdiam. Tepat di lampu merah mobil yang Varrel kendarai berhenti. Selagi menunggu lampu berubah hijau Varrel menoleh ke arah Ayna. Tidak munafik memang kalau wanita di sampingnya sangat cantik malam ini.
"Kamu bawa paper bag isi apa, Ay? Cadangan baju? Kita bukan mau renang kok," kata Varrel memecah keheningan.
Mendengar pertanyaan itu Ayna ikut menoleh, keningnya menyerit. "Fikiran Bapak jauh banget, ya? Saya aja ngga kefikiran renang. Itu memang isinya baju, karna setelah ini saya mau ada acara lagi jadi langsung."
"Acara? Jadi maksudnya saya ganggu acara kamu? Atau kamu mau batal ikut saya aja?"
Ayna menggelengkan kepala seraya menjawab, "ngga apa, Pak. Ini hari anniversary saya. Nah, malam ini saya mau dinner sama rayain bareng calon tunangan saya."
Ah, anniversary.
Varrel hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanpa menjawab apapun. Ada rasa tidak enak sebetulnya, tapi apa boleh buat. Dalam pertemuan nanti dia juga ingin membahas kerjasama. Dan Varrel butuh Ayna untuk membantu.
"Oh, iya, Ay, saya hampir lupa. Bulan depan kalau saya ke Swiss, apa kamu bersedia ikut?" Varrel menoleh sekilas ke arah Ayna. Hanya beberapa detik, karena setelahnya Varrel kembali fokus menyetir.
Kedua mata Ayna menerjap. Ke Swiss?
Tawaran menarik.
Menarik memang, tetapi Ayna tidak langsung mengiyakan mengingat dia harus membicarakan ini dengan Wildan. Ayna tidak mau kalau kekasihnya itu berfikir yang tidak-tidak. Akan tetapi, Ayna juga tidak bisa menjawab ngamblang alasannya belum mengiyakan kepada Varrel.
"Saya paham profesional, Pak. Tapi ... apa boleh saya beri jawaban besok?" tanya Ayna hati-hati. Tatapannya kini tertuju pada pria di sampingnya. Jantung Ayna sempat melompat, tetapi mereda saat sudut pria itu tertarik disusul anggukan kepalanya.
Ternyata bos kulkasnya tidak seseram bayangannya selama ini.
***
"Aku ga bisa terus begini, Sa, ini udah salah banget. Kalau Ayna sampai tau gimana?"
"Maksudnya kamu nyalahin aku sepihak? Cuma aku yang salah? Kamu fikir aku ga mikirin Ayna? Aku juga sekarang nyesel, ngerasa bersalah."
Wildan Rizky Firmansyah. Atau yang akrab dipanggil Wildan mengusap wajahnya frustasi. Rasa pusing dan penat kini menghantui tanpa bisa dia hilangkan. Kesalahan-kesalahan yang sudah dia perbuat kini membuat hatinya berkecamuk. Berawal dari kesalah pahaman dan coba-coba, dirinya kini terjebak permainan sendiri.
"Allysa?"
"Tapi aku terlanjur nyaman sama kamu, Wil."
Lagi-lagi Wildan terdiam setelah mendengar pengakuan wanita di sampingnya. Malam ini seharusnya Wildan sudah bergegas ke restoran untuk menemui sang kekasih lalu merayakan aniversary. Akan tetapi, dia harus mampir demi menyelesaikan masalah yang entah bisa diselesaikan apa tidak.
"Gimana kalau kamu putus sama Ayna aja, Wil?"
"Gila!"
Berbeda dengan kepusingan Wildan, sedangkan di tempat lain Ayna dan juga Varrel baru saja sampai tempat tujuan. Sesampainya di sana mereka langsung mendapat sambutan hangat. Ayna yang paham posisi memilih mundur membuat jarak bosnya agar bebas bertegur sapa dengan para koleganya.
Selagi membiarkan bosnya bertegur sapa Ayna melihat sekeliling. Mendapati meja berisi kue dan minuman Ayna pun langsung melipir ke sana. Bukankah semua makanan disediakan untuk makan? Bak anak TK dibelikan gulali, Ayna tersenyum lebar. Sesampainya di meja tujuan dia mengambil gelas berisi jus orange.
Ah, seketika tenggorokannya lega ketika jus dingin itu lewat untuk masuk ke dalam lambung. Dirasa cukup membasahi tenggorokan Ayna mengambil satu potong kue bolu yang menarik perhatiannya sejak tadi. Matanya memang tidak salah, bolu yang baru saja dia makan memang benar-benar enak. Sambil makan Ayna terus memperhatikan gerak-gerik Varrel.
Kata karyawan di kantor Varrel amat sangat jarang tersenyum apalagi tertawa. Tapi lihatlah sekarang, pria itu tertawa layaknya tanpa beban. Andai Ayna berani,mungkin sak tadi sudah dia rekam lalu beri unjuk kepada teman-temannya. Selain itu Ayna juga kagum dengan sosok Varrel. Kurang sempurna apa pria itu? Dari segi mana saja sangat sempurna tanpa cacat.
Sangat beruntung wanita yang akan mendapatkan hati pria dingin itu. Selain beruntung, Ayna juga yakin wanita calon masa depan bosnya pasti setara dengannya.
"Ayna!"
Lamunan Ayna buyar, matanya menerjap beberapa kali. Melihat tangan bosnya melambai buru-buru dia menghampiri.
"Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa tolong ambilkan ponsel saya? Sepertinya ketinggalan di mobil. Ini kuncinya, dan jangan lama-lama ya." Varrel mengambil kunci mobil di saku celana, lalu memberikannya pada Ayna.
Seperti biasa.
Ayna hapal. Saking hapalnya dia sudah malas untuk kesal.
'Sabar, Ayna, abis ini happy-happy sama Wildan,' batin Ayna.
***