Suara Siapa?

1379 Words
“Saya lihat-lihat, beberapa hari terakir kinerja kamu menurun. Kamu baik-baik saja, Ayna?” Suara berat nan lebut itu membuat Ayna kikuk. Selama ini Varrel terkenal dengan kedinginannya, tetapi sekali saja pria itu menunjukkan sisi baiknya, mungkin hampir semua wanita pingsan di tempat. Ayna yang sudah mempunyai kekasih saja terkadang terbawa arus. Itulah mengapa pentingnya dia selalu memikirkan Wildan agar tidak baper. “Ay?” panggil Varrel karena sejak tadi dia bicara gadis di depannya tidak kunjung merespon. Kesal, Varrel mengambil secarik kertas, meremas sampai membentuk bola, lalu tanpa berfikir panjang Varrel melemparnya kea rah Ayna membuat gadis itu tersentak kaget. Varrel diam, menunggu drama apa yang akan sekretaris ekstrovertnya itu layangkan. Tatapan keduanya beradu beberapa detik sebelum akhirnya Ayna menunduk seraya menjawab, “apa ada yang salah sama pekerjaan saya, Pak? Semua sudah saya kerjakan dengan benar tanpa ada salah. Sekalipun salah, itu menunjukkan kalau saya betul-betul manusia. Bapak lupa, ya? Manusia itu tidak luput dari salah dan lupa.” Apa Varrel bilang, jawaban Ayna akan melenceng sesuka hatinya. Ting! Suara notifikasi serta getaran dari ponsel Ayna rasakan dari dalam saku. Akan tetapi dia berusaha acuh karena ini sudah memasuki jam kerja. Ditambah … ada Varrel di depan mata. “Bukan perkara benar atau salah, Ay, tapi kualitas pekerjaanmu menurun. Kasarnya kamu semakin lemot. Sudahlah, lupakan. Jadi, mana yang harus saya tanda tangani?” tanya Varrel mengubah topik pembicaraan. Tanpa perintah kedua kali Ayna menyerahkan beberapa dokumen serta menjelaskannya secara singkat. Beberapa hari kedepan jadwal bosnya memang agak padat, beruntung Varrel tidak bertanya perihal jadwal kepergiannya ke Swiss. Jujur saja, sampai detik ini Ayna belum menyelesaikannya karena semalam pekerjaannya double. “Untuk jadwal besok malam, ada undangan dari Pak Andreas hotel Aeron. Undangan ini disampaikan langsung oleh beliau melalui saya. Bagaimana, Pak? Bapak bersedia hadir?” Wajah yang sejak tadi menunduk membaca berkas kembali terangkat menatap Ayna. “Undangan dalam rangka apa, Ay? Jam berapa dan di mana?” Sebelum menjawab Ayna mengeluarkan buku kecil bawaannya. Walaupun bentuknya kecil, kalau hilang bisa dipastikan Ayna nangis guling-guling atau parahnya terkena SP. “Acara pertemuan, Pak, karna Pak Andreas baru saja pulang ke Indonesia. Selain itu beliau ingin membahas soal kerjasama.” “Besok malam, ya?” Ayna mengangguk mengiyakan. “ACC. Tapi saya minta besok kamu ikut, Ay.” *** “Baik, nanti akan saya sampaikan pada beliau. Ada lagi yang ingin disampaikan, Pak?” ‘….’ “Baik kalau begitu, terima kasih kembali.” Tut! “Huuhh!” Ayna membuang kasar napasnya sambil menghempas punggung pegalnya ke sanggahan kursi. Belum ada setengah hari menjalankan aktivitas, tetapi rasanya tubuh Ayna sudah remuk dan meminta diistirahatkan. Bukan hanya tubuh yang lelah, mata pun ikut mengantuk. Sejenak Ayna memejamkan mata, melepaskan rasa perih karena sejak tadi menghadap ke laptop. Sambil memejamkan mata Ayna memikirkan kembali maksud pesan Wildan tadi pagi. Setelah pesan itu dihapus, Wildan tidak menghubungi atau berusaha untuk klarifikasi. Awalnya tadi Ayna kira Wildan mengirim pesan, ternyata pesan itu dari Anggun—bundanya. Entah mau apa lagi wanita itu, yang jelas Anggun menyuruh Ayna datang ke rumahnya. Permintaan itu belum Ayna jawab, bahkan rasanya enggan membalas. Berdamai dengan keadaan memang sangat sulit. Selain itu, Ayna sedang pusing karena besok malam Varrel meminta ditemani. Bukan tidak mau, hanya saja besok adalah hari spesial Ayna, dan dia sudah merencanakan dinner dengan Wildan. Tempat sudah reservasi, masa harus batal? Ayna juga takut kekasihnya itu berfikir yang tidak-tidak. Kedua mata sipit Ayna terbuka, diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu dengan lincah jari-jari Ayna mencari kontak sang kekasih. Tidak ada kata gengsi bagi Ayna, dia pun menelepon dengan harapan langsung diangkat. Percobaan pertama gagal, dipercobaan ketiga baru pria itu mengangkat. “Kamu dari mana aja, Dan?” ‘Aku lagi ada pemotretan, sayang. Maaf tadi angkatnya lama, benar-benar ga bisa dialihkan.’ “Sesibuk itu ya, Dan?” Raut wajah Ayna kembali murung, bahkan dia tidak bisa mengontrol nada bicaranya agar tidak terdengar kecewa. Tapi Ayna tidak bisa! Hampir dua minggu pria itu seakan menjauh walaupun terkadang Ayna masih bisa merasakan manis dari perlakuannya. ‘Aku selesaikan ini supaya besok kita bisa jalan-jalan, Na. besok kamu free, ‘kan? Katanya kita mau dinner?’ Dinner. Ayna sedikit bingug menjawab karena dua agenda itu sama-sama penting. Terlebih untuk masa depannya. ‘Ayna? Kamu masih dengar aku?’ “kita bicarakan nanti ya? Selepas aku pulang kantor. Kal—” ‘Dan, kamu juga harus tang—’ Tut! Suara siapa tadi? Kening mulus Ayna menyerit, rasa bingung semakin hinggap di dalam hatinya. Yang semakin membuat Ayna bingung, kenapa harus Wildan matikan sambungannya? Apa pria itu sedang menutupi sesuatu? Ayna tidak menelepon ulang, untuk saat ini juga dia belum mau bertanya lebih lanjut. Bukan mau menutup mata, hanya saja Ayna mencari waktu pas. Tidak ingin kembali overtinking yang membuat kepalanya sakit Ayna kembali memfokuskan dirinya dengan deretan pekerjaan yang ada. Sebelum itu dia merenggangkan kedua tangan serta badan yang sudah lumayan enak. “Ayo kita kerja, Ayna! Ingat, mobil baru menanti.” *** “Ini maksudnya apa, Mah? Mama juga tumben ke sini, biasanya ngga mau.” “Mata kamu bisa melihat, kenapa harus bertanya lagi? Wanita itu namanya Laura, yang Mama sering ceritain. Minggu depan dia akan ke sini dan menetap. Mama harap kalian bisa menjalin hubungan baik. Sebelah alis Varrel terangkat menatap wanita setengah paruh baya di depannya. Menjalin hubungan lebih baik? Sejak tadi perkataan wanita di depannya sangat ambigu. Varrel belum menjawab, akan tetapi tatapan matanya masih tertuju kepada Salwa—ibunya. Kedatangan Salwa di luar prediksi, andai Varrel tahu wanita itu akan datang, mungkin dia sudah mengindar daripada membahas hal unfaedah seperti ini. “Laura itu anaknya baik, Rel, berpendidikan, pintar, karir bagus. Mama juga udah rekomdasiin dia untuk jadi Brand Ambassador. Gimana? Kamu setuju, ya?” “Kok Mama main ambil keputusan sepihak, sih? Semua ngga semudah itu, Mama. Cantika Clinic masih ada kontrak kerjasama dengan dua BA terdahulu, dan kontrak itu ngga bisa diputuskan sepihak,” sahut Varrel tak terima. Persetan wanita di depannya adalah ibunya. Kerjaan tetaplah kerjaan, professional harga mati! Tubuh Salwa sedikit maju, membuat dia dengan lekat menatap wajah sang putra. “Yang suruh kamu putusin kontrak sepihak siapa, Varrel? Ditambah Laura, bukan mengurangi.” Keras kepala. Kalau sudah seperti ini rasanya Varrel butuh sosok Pradipta—ayahnya. Mau bagaimanapun pawang Salwa tetap Pradipta! Tok! Tok! Suara ketukan yang disusul terbukanya pintu membuat ibu dan anak yang sedang berdebat kompak menoleh ke pintu. Ayna yang berada di ambang pintu terdiam sesaat. Sungguh, dia tidak tahu jika di dalam ruangan Varrel ada Salwa. “Masuk, Ayna,” titah Varrel. Awalnya Ayna ingin undur diri karena takut mengganggu, tetapi belum sempat dia bicara Varrel sudah menyuruhnya masuk. Kalau sudah begini, mau tidak mau Ayna tetap masuk untuk mengambil berkas yang sudah pria itu tanda tangani. “Besok malam kamu fix temani saya ya, Ay?” Ayna masih diam. Rasa kikuk kini semakin menjadi saat kedua orang dihadapannya kompak menatap. Setelah berfikir singkat Ayna menganggukan kepala. "Saya bersedia, Pak." Senyum puas terpancar di bibir Varrel. Melalui ekor mata di melirik Salwa, wanita itu masih saja menatap Ayna. Entah apa yang ada di dalam otak wanita itu, Varrel sendiri tidak bisa membacanya dari raut wajah. "Maaf kalau saya menganggu, saya hanya ingin memberikan berkas yang Bapak minta. Ini salinan kontrak atas nama Frishly, Brand Ambassador Cantika Clinic." Satu berkas Ayna letakkan di dekat laptop, setelah itu dia mundur satu langkah. "Ada lagi, Ay?" Buru-buru Ayna mengeluarkan notes yang berada di sakunya. Sesaat Ayna mencari di mana catatan yang tadi sempat dia buat. "Ah, iya, Pak. Tadi sekretaris Pak Julian dari PT Folixs Group menghubungi saya. Beliau mengatakan jika pak Julian ingin bertemu. Saya sudah atur jadwalnya, lusa besok. Beliau bersedia, bagaimana dengan Bapak?" "Pak Julian?" Ayna mengangguk-anggukan kepalanya. Ditutup kembali buku kecil itu, lalu Ayna masukan ke dalam saku blezer berwarna abu-abu yang dia kenakan. Sambil menunggu keputusan yang bosnya katakan Ayna terus memperhatikan gerak-gerik pria di sampingnya. "Noted, Ay. Saya infoin nanti keputusannya. Ada lagi?" "Tidak ada, Pak. Kalau begitu saya permisi ke luar ya, Pak, Bu," pamit Ayna sopan. Setelah Ayna pergi, Salwa menatap Varrel. "Itu Ayna sekretaris kamu, 'kan? Makin cantik ya? Tapi kenapa harus ditemani dia? Sama Laura aja." Lagi-lagi Laura. "Kata Mama dia ke sini minggu depan? Tapi sekalipun dia ada, aku mau tetap sama Ayna." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD