Semua akan baik-baik aja.

1348 Words
Tiga puluh lima menit sebelum Lika tiba di rumah Jay. Jay hampir melupakan janjinya. Dia segera bergegas memakai kemeja lengan pendek berwarna putih, mengambil dompetnya di atas meja, lalu bergegas pergi keluar rumah. Begitu Jay hendak menghidupkan mobil, Jay merasakan sesuatu yang aneh. Benar saja, Jay melihat salah satu ban mobilnya kempes, Jay menghelas nafas, lalu masuk ke rumah untuk mengambil kunci mobil lainnya. Dua puluh lima menit sebelum Lika tiba di rumah Jay. Jay akhirnya kembali ke garasi setelah membawa kunci mobil yang lain. Dia meraba-raba kantungnya, perasaannya terasa aneh lagi. Ternyata gawainya tertinggal di dalam rumah, Jay menghela nafas, setelah berpikir sejenak, akhirnya dia tidak jadi mengambil gawainya. Dia terus menghidupkan mobil, dan mengemudi pelan keluar pagar. Sepuluh menit sebelum Lika tiba di rumah Jay. Jay begitu kaget. Karena tiba-tiba Vina berdiri di luar pagar. Jay turun dari mobil lalu menghampiri Vina yang tampak kurang sehat. "Vin, kamu kenapa?" tanya Jay, lalu menyentuh dahi Vina untuk memeriksa suhunya. "Gak kenapa-napa Phi, Phi mau kemana?" "Kamu kesini pakai apa?" "Naik taksi. Aku gak bisa tidur Phi, malam ini Aku tidur di rumah Phi, na?" "Ya sudah, kamu masuk. Kalau perlu apa-apa minta sama Bibi, na." "Phi mau kemana? aku boleh ikut?" "Kamu itu lagi gak enak badan, masuk aja, nanti sakit kamu makin parah." "Tapi Phi mau kemana?" "Phi ... mau nemuin Lika." "Kenapa?" "Kenapa? ya karena Phi mau ketemu." "Phi belum mutusin Lika? masih ... masih gantungin dia?" "Bukan gitu maksud Phi. Phi cuman butuh waktu buat berpikir, and sekarang Phi udah ngerti." "Ngerti apa? Phi beneran cinta ama dia?" "Vin ..." Vina menggenggam tangan Jay. Lalu menatap Jay lekat, "Lihat Aku Phi, Phi udah gak cinta Aku lagi?" "Jangan kayak gini, kamu masuk gih. Di luar dingin." Tiga menit sebelum Lika tiba, Vina melihat Lika dari kejauhan. Dia kemudian mendekati Jay, lalu mencium bibir Jay. Jay tercekat, dia menjadi linglung dan tak tau harus berbuat apa. Vina mengintip sejenak, jelas dia melihat Lika menangis dan berlari menjauh. Vina melepaskan ciumannya, lalu menangkupkan tangannya ke wajah Jay. "Phi Jay ... chan rak phi, chan rak phi maak maak (Aku mencintai Phi, Aku sangat mencintai Phi)." Jay menurunkan tangan Vina dari wajahnya, lalu memeluk Vina erat. "Kenapa kamu sampe lakuin ini? kamu bikin Phi jadi serba salah," "Hiks, Phi harus ninggalin Lika. Aku gak bisa liat Phi sama Lika! A-Aku ..." Vina menangis sesenggukan, Jay melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Vina. "Jangan nangis. Ayo kita masuk," "T-Tapi Phi mau nemuin Lika, hiks." "Phi bakal bilang kalau gak bisa pergi sekarang, dia bakal ngerti. Ayo masuk," Jay memundurkan mobilnya, lalu membawa Vina masuk ke dalam rumah. Jay memberikan air hangat untuk Vina. Dia kemudian masuk ke kamar untuk mengambil gawainya lalu menelepon Lika. "H-Halo ..." terdengar suara Lika yang agak serak. "Stalker, hari ini Aku gak bisa datang, maaf ya. Besok kita ketemu, Aku janji, besok Aku akan jemput kamu." "Hmm," ucap Lika singkat lalu mematikan teleponnya. Jay menghela nafas, lalu turun ke bawah untuk menemui Vina. Tangis Lika pecah lagi. Dia berlari sekuat tenaga untuk meredam tangisnya. Namun, tangisnya malah semakin menjadi-jadi. Lika berlari hingga kakinya lecet, dia terpincang-pincang menyeret kakinya yang kesakitan sambil terus sesenggukan. "Kenapa Gua harus nangis? bukannya Gua udah siap-siap buat hal yang kayak gini? tulul!" Lika memukul kepalanya sendiri. "Huwaa! tapi ini beneran sakit banget. Kalau tau gini, Gua gak bakal mau pacaran ama Khun Jay, hiks." Lika mengusap air matanya beberapa kali. Sambil terus berjalan tanpa tujuan. Beberapa menit kemudian, gawainya berbunyi. Lika langsung mengangkat telepon tersebut, lalu makin meraung. "Jamy ... huwaaa J-Jamy ... hiks," "Ncel, Lu kenapa?" "K-Kaki Gua saket, haaa ..." "Lu gila ya? dimana Lu sekarang!" "G-Gak tau ... Jam, rasanya sakit banget, heee huwee ..." "Lika! diam!" Mendengar bentakan Jamy, Lika langsung berusaka menghentikan tangisnya, dia tersedu beberapa kali, menghembuskan ingus dari hidungnya ke sapu tangan yang dia bawa. "Liat sekitar Lu, sekarang Lu dimana?" tanya Jamy lagi. Lika melihat sekeliling, "D-Di ..." Lika melihat gedung tinggi tak jauh dari tempatnya berdiri, "Ternyata di Methanan Group." "Tunggu disana, jangan kemana-mana!" Jamy mematikan teleponnya. Lika menatap gedung megah di depannya itu dengan matanya yang sembab. "Ternyata ini yang orang bilang, jangan nilai buku dari sampulnya," Lika sesenggukan beberapa kali, "Gua emank bukan jodoh Khun Jay. Isteri Sah apaan? belum jadi isteri aja Gua udah dibuang." Tak sampai dua puluh lima menit, Jamy tiba untuk menjemput Lika. Dia menancap mobilnya melewati jalan tikus yang dia tahu, agar bisa tiba secepatnya. "Ncel!" Jamy berlari begitu keluar dari mobil, "Lu gak papa?" tanya Jamy lalu melihat Lika dari ujung rambut hingga kaki, memastikan Lika baik-baik saja. "Gak papa ..." Jawab Lika sambil memonyongkan bibirnya. "Trus kenapa Lu pake nangis segala? liat tuh mata jadi bengkak begitu," "Ude dibilang, kaki Gua saket!" "Elu, bener-bener ... duduk!" "Gak mau!" "Duduk Gua bilang," Jamy menekan Lika agar duduk di samping trotoar lalu membuka sepatu Lika. "Lu abis ngapain, sampe lecet begini nih kaki?" "Abis lari," "Jangan becanda deh, Gua serius ini," "Iye, abis lari. Lari dari kenyataan." Jamy menghela nafas, lalu berjongkok membelakangi Lika, "Ayo naik," "Yaelah, mobil Lu deket noh, pake gendong segala." "Naek aja, kita ke toserba bentar." Lika kemudian naik ke punggung Jamy, "Beli sosis!" ucapnya dengan ketus. "Sosis, sosis, masih aja ingat perut. Kaki ude babak belur juga," Jamy berdiri lalu menggendong Lika dengan pelan menuju toserba yang tak jauh dari tempat mereka berada sekarang. "Ini sepatu agak longgar ya, pasti Lu make sering lepas-lepas, kan? makanya lecet tuh kaki." "Kan sepatu diluaran gak ada yang seukuran Gua." "Buang aja deh nih sepatu. Besok Gua cari yang baru." "Mana bisa! soalnya nih sepatu ..." Lika terdiam sejenak, "Nih sepatu dibeliin Khun Jay," batinnya. "Kenapa? nih sepatu kenapa?" "Gak kenapa-napa, Gua juga mau ganti kok." "Hmm, bagos dah." Jamy mendudukkan Lika ke kursi dengan hati-hati. Dia kemudian bergegas masuk ke toserba, membeli minuman, sosis, snack, obat luka dan plester untuk Lika. "Siniin kaki Lu, gua bersihin dulu," ucap Jamy begitu tiba di depan Lika. "Hmm ... gak pake alkohol, kan?" "Gak, ini air anget. Gua minta sama Mbak kasir tadi." Lika membuka sosis yang dibelikan Jamy, lalu memakan sosis tersebut dengan cepat, pikirannya kosong. Bahkan saat Jamy mengobati lecet di kakinya dia tak merasakan apa-apa. "Nah ude selesai," Jamy memasang plester di belakang kaki Lika lalu mencuci tangannya dan duduk menatap Lika. "Lu kenapa bisa keliaran malam-malam begini? sampe kaki lecet segala?" "Gak ada. Cuman bosan aja." "Trus Lu kenapa nangis, gak mungkin cuman karena sakit kaki." "Trus gara-gara apa lagi? kaki Gua sakit banget, jadinya gak tahan." "Lu berantem ama Jay?" "Gak, ketemu Khun Jay aja gak ada hari ini." "Beneran?" Lika mengangguk, lalu membuka snack di depannya. Dia mengambil segenggam penuh snack lalu memasukkan semua ke mulutnya hingga mulutnya menggembung. "Pelan-pelan makannnya," ucap Jamy lalu menggelengkan kepalanya. "Jam, besok Gua cuti ya?" "Enak banget minta cuti. Kerjaan banyak noh," "Gua capek, mau rebahan. Yah, yah?" "Tapi Lu beneran rebahan, jangan kemana-mana. Awas aja kalau Gua liat Lu ada di luar." "Beres. Gua di rumah aja kok." "Hmm, ya udah abisin snacknya, kita pulang, udah malam nih." "Iya, bentar." Di dalam mobil Lika tak seperti biasanya. Dia yang cerewet dan selalu saja nyinyir itu, kini hanya diam. Membuat Jamy makin yakin, bahwa Lika sedang bermasalah. Sesampainya di rumah Lika, Jamy turun dari mobil dan membuka pintu mobil untuk Lika. Dia kemudian berjongkok memberi kode agar Lika naik ke punggungnya. "Gak papa, Gua bisa jalan." "Nanti kaki Lu kegesek lagi, cepetan naik, pegel nih Gua," Lika akhirnya menaiki punggung Jamy. Sesampainya di beranda, Jamy lalu menurunkan Lika, dan mengambil sandal rumah untuk Lika. "Gua masuk dulu ya. Tengkyu ude ngaterin pulang," Lika tersenyum lalu melambaikan tangannya. "Ka ..." Jamy memanggil. Lika yang tadinya hendak masuk ke rumah, kemudian terhenti dan berbalik. "Kenapa?" "Semua bakal baik-baik aja. Jangan sedih, lakuin apapun yang menurut Lu baik." Lika terdiam. Jamy tersenyum lalu mengelus kepala Lika, "Gua pulang dulu. Langsung tidur ya, jangan begadang lagi." Jamy berlalu meninggalkan Lika. Lika merenung sejenak, lalu mengangguk, "Ya, semua bakal baik-baik aja," ucapnya meyakinkan diri TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD