Dia Hanya Laki-Laki Biasa.

1133 Words
Vina Maakrakorm, duduk manis sambil menenteng jus di tangannya. Sesekali dia tersenyum, karena membaca artikel tentangnya dan Jay. Vina menghela nafas ringan, memejamkan matanya, sambil berdiri di jendela, menikmati udara pagi yang sejuk. "Hah, Aku sama Phi Jay cocok banget di foto ini," ucap Vina sambil mengusap layar gawainya. Vina kemudian duduk di sofa, menaruh jus di meja depannya, kemudian membaca majalah mode, "Pakaian ini keluaran terbaru, Aku harus minta Phi Jay nemenin Aku buat beli ini." Vina menaruh majalah ke meja, lalu mengambil gawainya untuk menghubungi Jay. Beberapa detik sebelum dia menelepon, tiba-tiba bell apartment nya berbunyi. Vina mengurungkan niatnya untuk menelepon Jay, dan segera berjalan menuju pintu. Vina memeriksa siapa yang datang melalui lubang kecil di depan pintunya, "Dia? kenapa dia datang kemari?" Vina berpikir sejenak, dia lalu menangkat bahunya lalu membuka pintu. "Hai, Vina," sapa orang di depan pintu tersebut. "Kamu ngapain kemari? tau dari mana alamat apartment Aku?" "Boleh Gua masuk?" Vina kaget karena laki-laki itu tiba-tiba saja langsung menerobos ke dalam apartment nya, lalu duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. "Jamy Baskara! kenapa kamu main masuk aja ke rumah orang? Aku belum mengizinkan kamu masuk!" Orang yang ternyata Jamy itu, hanya menyeringai. Dia melihat kesekitar, tanpa mempedulikan Vina. "Kamu mau apa!?" tanya Vina lagi, dengan geram. "Duduk dulu," jawab Jamy santai. Vina mau tak mau duduk, sambil menyilangkan tangannya, "Dari mana kamu tau alamat apartment Aku?" "C'mon Vin. Kita ini rekan kerja. Tentu mudah banget nyari alamat Elu" "Kamu kerjasamanya sama Methanan Group, bukan sama Aku!" "Tapi kan, Elu antusias banget waktu jadi model perusahaan. Oh iya, makasih ya, berkat Elu acara perusahaan jadi lancar. Walau Lu pakai cara busukk sih, tapi Gua tetap apresiasi kok," "C-Cara busukk? maksud kamu apa?" "Menurut Lu?" "Aku gak ada make cara apapun!" "Harusnya gitu sih, Gua awalnya mikir, apa coba kekurangan Elu, sampe harus pake cara licik buat nyingkirin Lika dari panggung. Tapi sekarang Gua baru sadar. Elu ... kurang dalam segala hal," "Kamu ngomong apa sih? keluar dari apartment Aku sekarang! Atau aku panggil satpam buat ngusir kamu!" "Idih, dia yang salah dia yang galak, ngomong-ngomong Lu bayar tuh orang berapa? itu loh orang yang ngasih obat bius ke Lika, penasaran banget Gua. Kok mau-maunya dia ngerjain hal tulul kek gitu," "Jamy!" Vina berteriak. Tangannya mengepal dan tubuhnya menggigil karena menahan amarahnya. Jamy menyipitkan mata, sambil menutup kupingnya. "Ngapain sih Lu teriak-teriak? Gua gak budeg tau ..." "Keluar dari tempat Gua sekarang, keluar!" Vina menarik tangan Jamy. Namun Jamy mendorong Vina hingga Vina terjatuh ke sofa. "Gua sebenarnya gak mau kasar ama cewe. Tapi, Lu udah nyakitin Lika. Kali ini Gua maafin. Tapi, kalau ketahuan Lu buat kek gitu lagi ... awas aja Lu," "Aku gak lakuin apa-apa!" "Orang suruhan Lu udah ngaku!" Vina terbelalak mendengar ucapan Jamy. Jamy menarik nafas dalam, lalu merapikan rambutnya yang agak berantakan. "Jangan sampe Lu lakuin kayak gini lagi. Gua gak bakal tinggal diam kalo Lu nyakitin Lika." "Mana buktinya? bisa aja kan, dia cuman ngaku-ngaku," "Eh cewe manja siialann, Gua gak butuh bukti. Gua udah curiga ama Lu dari awal. Lu harusnya bersyukur, Gua gak cari bukti yang konkrit, karena kalau Gua udah lakuin itu, siap-siap aja Lu berurusan sama polisi." Jamy melangkah meninggalkan Vina yang terduduk di sofa. Setibanya di depan pintu, Jamy kemudian berbalik, "Insiden wadah pecah di pabrik. Lu pikir Gua gak lihat? waktu itu Lu sengaja jatuhin tuh wadah pas Lika berbalik. Udah keliatan banget Lu cewe kayak apa. Gua ingetin sekali lagi, jangan macam-macam lagi ama Lika. Atau Lu terima akibatnya." Jamy keluar lalu membanting pintu. Vina mengepalkan tangannya, lalu berteriak histeris. "Siialannn!" prang! Vina membanting gelas jusnya ke lantai. Sambil mengumpat tiada henti. *** "Jamy ... gimana? ude ketemu siapa yang jahatin Gua?" tanya Lika begitu melihat Jamy masuk ke ruangannya. "Lu ngapain sih, di ruangan Gua mulu. Lu kan punya ruangan sendiri," "Ye, kan Gua nungguin kabar dari Elu." "Gak ada kabar." "Jadi, gak ketemu?" "Hmm, udah de. Kan Elu yang bilang sendiri. Gak usah diperpanjang." "Tapi kan Gua penasaran," "Gak guna penasaran. Mending nih, urusin, foto kopi delapan rangkap," ucap Jamy sambil menaruh tumpukan dokumen di depan Lika. "Anjir. Apaan nih, tebel amat." "Daftar harga terbaru. Urusin gih, trus susun di ruangan Elu. Jangan masuk ruangan Gua lagi, bikin sakit mata aja." "Sakit mata pala Lu, pake kacamata sana! hu nyebelin." Lika mengangkat dokumen di depannya, lalu keluar dengan tergopoh-gopoh. Jamy menatap Lika, hingga punggung wanita itu menghilang di balik pintu, "Mending dia gak usah tau de. Nanti dia makin sedih," gumam Jamy sambil menghela nafas. *** Pukul delapan malam. Lika berdandan dengan rapi, kali ini dia tidak memakai hoodie. Dia mengenakan kemeja berwarna salem polos, dan celana jeans dengan potongan agak lebar di ujung kakinya. Penampilannya dilengkapi dengan sepatu kets. Dan tas selempang yang imut berwarna abu-abu. Sekitar pukul enam sore tadi, Jay mengiriminya pesan agar mereka bisa bertemu. Lika begitu bersemangat. Akhirnya dia bisa berduaan bersama Jay lagi. Lika keluar dari rumahnya lalu menaiki busway untuk sampai di tempat yang dijanjikan. Tempat itu berupa taman di dekat rumah Jay. Lika duduk di sebuah bangku taman, sambil memainkan permainan pertanian di gawainya. "Yuhu, tomatnya udah bisa panen," ucap Lika dengan ceria. Dia memainkan permainan itu sekitar sepuluh menit, hingga dia bosan. Lika memeriksa jam di gawainya. Pukul delapan lewat tiga puluh lima menit. Jay masih belum terlihat. Lika memutuskan menunggu sedikit lebih lama lagi. Sepuluh menit berlalu dari jam delapan tiga puluh lima menit menjadi lewat empat puluh lima menit. Jay tak terlihat batang hidungnya. Lika berdiri dan meregangkan otot-ototnya. Lika menelepon Jay beberapa kali, namun tak ada jawaban. Karena taman itu dekat dengan rumah Jay, akhirnya Lika memutuskan untuk menunggu Jay di depan rumahnya saja. Sekitar lima belas menit berjalan kaki, Lika hampir tiba di rumah Jay. Lika kembali menelepon Jay dengan gawainya. "Ayo Sayang, diangkat. Aku udah mau nyampe nih. Entar Aku terobos masuk loh, buat minta restu ama Papa kamu, hihihi." Lika tersenyum sambil cekikikan. Walau Jay tak mengangkat teleponnya, Lika tetap masih sumringah. Beberapa menit kemudian. Lika terhenti, pemandangan yang sangat tak terduga terjadi di depannya. Lika terdiam, tangannya melemah lalu jatuh ke samping. Matanya berkaca-kaca, dia lalu bersembunyi di balik tiang listrik dan menyandar ke tembok sambil menutup mulutnya. "K-Khun Jay ...", Lika terisak. Hatinya hancur berkeping-keping. Yang dilihat Lika tak lain adalah Jay dan Vina. Mereka berdiri di depan mobil dan berciuman. Tak pernah terbayangkan bahwa Lika akan melihat hal seperti itu dalam hidupnya. Ciuman yang mereka lakukan merobek-robek perasaan Lika. Menyakitinya begitu parah. Lika memukul-mukul dadanya, sambil menangis. Jay Suppasit Methanan sang idola kebanggaan Lika, ternyata tidak sempurna. Dia bukan serbuk berlian, bukan pula peranakan Manusia-Surga, dia hanyalah laki-laki biasa, yang dengan tega menyakiti perasaan orang yang mencintainya, demi kepuasan dirinya sendiri. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD