Vin Mau Ikut

2086 Words
"Phi Jay. Dia tadi berbalik, trus hoodie-nya tersangkut di wadah kaca, kaca dan berliannya jadi jatuh," ucap Vina sambil menatap Lika tajam. "G-Gua? kapan Gua ..." "s**t!" Lika terdiam begitu mendengar Jay mengumpat. Wajah Jay memerah, jelas sekali dia tampak marah, "Lu kebiasaan ya, ceroboh banget. Lain kali hati-hati!" "Eh, Lu kok jadi bentak Lika sih, dia kan gak sengaja," Jamy ikut kesal lalu berdiri di depan Lika. "Phi Jay ..." Vina hendak beranjak. Jay kemudian menarik Vina ke sampingnya, "Hati-hati. Banyak pecahan kaca. Mawes! urus kekacauan ini!" "B-Baik Tuan." Jay segera berlalu pergi keluar pabrik. Diikuti Vina di belakangnya. Lika menatap Jay, dia merasa sedih. Namun, dia tak bisa berkata apa-apa. "Udah Gua bilang kita mending pulang aja. Lu sih ngebet banget pengen kesini." "Gua gak sadar kalo Gua nyenggol tuh tempat berlian. Perasaan, Gua jaga jarak de ama tuh wadah, takot jatoh." "Udah, kita balik ke kantor aja, ayok." Jamy berjalan beberapa langkah. Namun Lika masih berdiri di tempatnya. Matanya memerah, berkaca-kaca, lalu sebulir air mata jatuh di pipinya. Jamy berbalik, lalu menatap Lika. "Lu kenapa lagi?" Lika hanya diam dan menunduk. Melihat ada yang tidak beres, Jamy segera mendekati Lika, "Lu nangis? anjir cengeng banget, kenapa pake nangis segala?" Lika tersedu lalu mengusap air matanya, "Hiks, G-Gua lapar. Huwaa ... m-makan di tempat nasi padang biasa. Gua gak mau makan bareng ama Khun Thivat, Hiks ... Hiks ..." "Sstt, udah donk. Malu nih diliatin orang-orang. Ya udah kita balik. Gua juga gak mau makan siang bareng mereka." "Hiks, m-minta tisu." "Gak ada tisu. Mawes, kamu punya tisu?" "Gak ada, Tuan," jawab Mawes yang masih membereskan pecahan kaca bersama beberapa orang lainnya. "Huwaa ... jadi gimana, hiks. Gua mau buang ingus, hiks ... hiks," Lika masih tersedu-sedu. "Astagfirullah, nih cewe," Jamy lalu membuka kemeja luarannya, kemeja denim berbahan lembut tersebut diserahkan ke Lika. Untung saja Jamy selalu memakai kaus dalam setiap memakai kemeja casual, "Nih," Lika mengambil kemeja tersebut, lalu menghembuskan ingusnya. Jamy menyipitkan matanya, merasa geli. Tapi dia bisa menerima kelakuan Lika. Karena dari dulu Lika memang sangat merepotkan jika sedang menangis. "Ancor dah, kemeja Gua. Baru juga dipake sekali," "Besok Gua cuci. Perhitungan banget sih!" Lika berjalan dengan kesal sambil mengusap air matanya. Jamy menghela nafas, lalu segera mengikuti Lika. Sementara itu, Mawes yang dari tadi memperhatikan mereka tiba-tiba mengangguk mantap, seolah dia telah memecahkan rumus mate-mateka yang sangat sulit. "Jadi ini maksudnya, Si A, B dan C?" *** "Jay, Ayah dengar di pabrik tadi ada kekacauan?" "Paman ... tadi Karyawannya J ..." "Bukan masalah besar. Cuman wadah aja yang jatoh udah diberesin kok ama Mawes," Jay memotong Vina. "Kenapa bisa jatuh?" "Kesenggol ..." "Penempatannya kurang benar, tapi gak ada berlian yang rusak," Jay kembali memotong Vina. Vina terdiam, sementara Khun Thivat memeriksa pesan masuk di gawainya. "Jamy sudah pulang. Padahal Ayah mau bawa dia makan siang. Ya udah, kalau gitu kalian berdua ikut Ayah makan siang." "Vin, ikut Ayah ke bawah. Nanti Phi nyusul, Phi mau beresin sesuatu." "Okhe Kha Phi. Paman, ayo," Vina merangkul tangan Khun Thivat lalu mereka berdua pergi menuju lantai dasar. "Aish, Stalker apa-apaan sih? ceroboh banget. Kalau kacanya ngelukain dia gimana coba?" Jay mengambil gawainya lalu menekan nomer Lika, setelah hampir satu menit, telepon tersebut tak juga diangkat. "Kemana nih, kok gak diangkat," Jay menelepon sekali lagi. Masih belum ada jawaban. "Aih, apa dia pergi main-main ama si tukang bedak?" Jay akhirnya mengetik pesan untuk Lika. "Kamu gak kenapa-napa? gak ada yang luka, kan?" Setelah mengirim pesan, Jay langsung pergi turun untuk menyusul Ayahnya dan Vina. Sementara itu, Jamy yang melihat gawai Lika berbunyi memilih untuk mengabaikannya. Kebiasaan buruk Lika kumat. Dia makan sambil menangis, dan setelah lelah, dia tertidur begitu saja. Jamy yang mengemudi di samping menatap Lika sambil menggelengkan kepalanya. "Belum juga makan nasi, udah makan cemilan sebanyak ini." Jamy mengemudi dengan santai, sambil tersenyum menatap Lika yang memiliki kebiasaan aneh. 20 menit kemudian mereka tiba di rumah makan tak jauh dari kantor Jamy. Jamy memarkir mobilnya, mematikan mesin, dan membuka sabuk pengamannya. "Ka, bangun. Udah nyampe nih." Lika mengacak-acak rambutnya, lalu merubah posisi kepalanya menjadi ke samping. Rambut Lika berantakan menutupi wajah. Jamy menghela nafas lalu menyingkirkan rambut di wajah Lika, menyelipkan rambut hitam itu ke telinga Lika. Jamy terdiam sejenak. Tatapannya begitu lekat, untuk beberapa menit Jamy hampir melupakan dirinya sendiri. Pemandangan di depannya yang begitu akrab, detakan jantungnya yang tak pernah berubah selama bertahun-tahun, dan perasaan sekarat yang tak pernah dia pedulikan. Jamy hanya menatap Lika tanpa bertindak sedikitpun. Itu yang dia lakukan selama bertahun-tahun, dan sepertinya dia mulai terbiasa mengubur semuanya. Jamy menghela nafas lalu tersenyum. Beberapa detik kemudian, tak! Jamy memukul kening Lika. Membuat wanita itu terbangun sambil mengomel. "Jamy! dasar kutu beras, sakit tau gak!" "Gak tau, week," Jamy menjulurkan lidahnya. Lika lalu memukul d**a Jamy, dan berusaha duduk dengan normal. "Bau nasi padang yak?" "Anjir, bangun-bangun yang dicium bau makanan. Sekali-kali cium Gua kek!" "Gila Lu. Sini Gua cium pake sepatu Gua nih!" Jamy terkekeh melihat Lika yang emosian, "Udah jam setengah dua belas nih, makan siang gak? tapi Elu kan tadi banyak makan cemilan. Sampe tepar noh." "Gua gak nafsu makan," ucap Lika sambil memonyongkan bibirnya. "Hilih, tadi juga Lu bilang gak nafsu makan, tapi makan cemilan ampir seplastik." "Kali ini Gua serius, Gua gak nafsu makan! tapi ... karena ude nyampe ya udah de, terpaksa turun." "Gua kan bisa balik lagi, gak perlu maksa kalau gak selera makan." Lika turun dari mobil lalu segera berlari ke dalam rumah makan di depannya. "Hilih, alesan gayanya doank gak nafsu makan. Malah dia duluan yang nyelonong," Jamy mencabut kunci mobilnya lalu turun menyusul Lika. "Udah pesen?" tanya Jamy begitu tiba di meja tempat Lika duduk. "Udah, sup tunjang ama jus jeruk." "Tumben makan sup doank." "Kan Gua lagi gak nafsu makan." "Iya, de iya. Serah Elu." Jamy ikut memesan sup tunjang. Begitu makanan disajikan Lika langsung menyantap makanan tersebut. Dia menghabiskan satu mangkuk sup tunjang dengan nasi dua kali tambah, lalu lima buah kerupuk dan es jeruk. "Katanya gak nafsu makan," ucap Jamy dengan senyumnya yang meledek. "Kan Gua gak makan nasi padang, gak pake pergedel ama telur dadar." "Iya, iya, Gua percaya." Jamy berdiri lalu membayar makanan di kasir. Sementara Lika sudah nyelonong menunggu di depan mobil. "Jam, Gua izin setengah hari yak. Males kerja," rengek Lika begitu mobil mereka melaju. "Gak masalah, kan potong gaji," jawab Jamy cuek. "Ih, jangan dipotong donk," "Kalau gak mau dipotong, ya udah masuk." "Dasar pelit!" "Bodo." Lika cemberut. Dia mengomel dalam hati karena Jamy terkesan sangat pelit dan perhitungan. Padahal Jamy hampir setiap hari membayar makanan untuk Lika. Membiarkan Lika bolos kerja dan malah memotong sedikit gaji Lika dari yang seharusnya. Jamy juga hanya mencatat hutang Lika, tanpa menagihnya selama ini. Hidup memang begitu, karena terbiasa dengan seribu kebaikan yang kita lakukan, sedikit saja kebaikan itu bergeser, maka yang diingat hanya jeleknya saja. Tapi, sebanyak apapun kejelekan yang kita lakukan. Ketika sekali saja berbuat baik maka itu akan terus dibicarakan. Begitu cara Lika melihat Jamy dan Jay saat ini. Jamy hanya maklum. Dia terlihat selalu semena-mena dan selalu menjahili Lika. Padahal dia adalah orang baik yang sebenarnya. Lika memeriksa gawainya, lalu mendapati dua panggilan tak terjawab dan sebuah pesan masuk. "Ha, kapan hengpon Gua bunyi?" "Pas Elu tidur." "Kok gak bangunin Gua sih ..." "Buat apa?" "Jamy jelek! ngeselin, nyebelin, gak setia kawan!" "Bodo." Lika makin cemberut. Dia membuka pesan yang dikirimkan Jay, lalu berniat hendak menelepon Jay. "Jangan ditelpn," ucap Jamy lalu merebut gawai Lika. "Apaan sih Jam, balikin!" "Lu mau kita nabrak? nabrak nih, nih," Jamy menambah kecepatan mobilnya ketika melewati U-Turn. Lika terpaksa diam di tempatnya, karena panik. "Gua mau nelpn Khun Jay," "Iya Gua tau, makanya Gua larang." "Kenapa?" "Biar dia tau rasa. Pesannya juga jangan dibalas. Kalau mau balas nanti malam aja." "Kok gitu sih, nanti dia marah loh," "Eh, tulul. Yang harus marah itu sebenarnya Elu. Kan tadi dia udah bentak Elu." "Tapi kan karena Gua jatuhin wadah berlian." "Tapi Lu kan gak sengaja. Lagian Lu bilang Lu gak ngerasa jatuhin tu benda, kan?" "Iya sih ..." "Makanya jangan dijawab telp si Songong. Balas pesannya nanti malam aja. And balasnya harus singkat. Jangan banyak pake kata mutiara." "Ih, nanti kalau Gua dijauhin gimana?" "Dia kan pacar Elu, santai aja. Kalau berantem ama Gua aja Lu heboh gak mau kalah, sama si Songong jadi lemah kayak gini. Begok." "Ngapain Lu begok-begok-in Gua!" "Nah, gitu donk. Harusnya tadi ama Jay marahnya begitu." "Mana bisa marah ama Khun Jay." "Ya udah, kalau gitu siap-siap aja, Elu bakal di sisihkan. Bentar lagi juga bakal ditinggal." "Jamy!" "Makanya dengerin Gua!" "Tapi kalau Gua cuekin Khun Jay. Trus dia ninggalin Gua gimana?" "Gak bakal." "Beneran?" "Iye, tenang aja. Kalau dia ninggalin Elu kan, Gua masih ada." "Beh, Gua tabok juga Lu." Lika kesal dan cemas. Tapi dia masih menuruti Jamy. Dia bertahan untuk tidak menelepon dan membalas pesan dari Jay. Hingga dalam jangka waktu yang tak ditentukan. *** Pukul 7 malam, Jay memeriksa gawainya. Tak ada telepon maupun balasan pesan dari Lika. Jay gelisah lalu mondar-mandir tak karuan di kamarnya. "Kok chat Gua cuman dibaca doank, sih? kemana coba nih anak," Jay kembali mondar-mandir, lalu kembali menatap gawainya, "Apa dia marah ya? gara-gara tadi Gua ngebentak dia. Tapi kan Gua kesel, dia sih gak hati-hati." Jay akhirnya memutuskan untuk menelepon Lika. Dia menunggu beberapa detik. "Nomer yang ada tuju, sedang sibuk. Silahkan tinggalkan pesan ..." suara operator wanita itu membuat dara Jay mendidih. "Kok, bisa sibuk sih? telponan ama siapa coba dia!" Jay jengkel. Sementara itu, di rumahnya Lika terdiam. Dia menatap gawainya yang menampilkan nama Jay sebagai panggilan keluar, "Kok hengpon Sayang aku sibuk ya? apa lagi telponan ama orang lain." Lika menunggu satu menit. Lalu kembali menelepon lagi. "Nomer yang anda tuju, sedang sibuk ..." "Kok masih sibuk sih?" Jay mengacak rambutnya kesal, "Pasti dia lagi telponan ama si Tukang Bedak, nih!" "Pasti Khun Jay telponan ama si sepupu itu! huwaa, anjir gak bisa dibiarin." "Kok nomernya sibuk!" Sebuah pesan masuk ke gawainya Lika. Ajaibnya Lika juga mengirim pesan yang sama satu detik yang lalu. Lika menatap gawainya keheranan. "Aku dari tadi nelpon Sayang, gak masuk-masuk." Begitu Lika mengirim pesan tersebut, pesan serupa masuk ke gawainya. "Aku nelponin kamu." "Loh jadi kami berdua sama-sama nelpon? Ih kok bisa sama gitu sih, aduh jodoh emank always samaan." Jiwa Bucin Lika kembali. Dia benar-benar hampir menyerah dan ingin segera menghubungi Jay dari siang. Namun, Jamy mengawasinya dan mengomelinya hingga pulang jam pulang kantor. Lika akhirnya bisa melarikan diri dari Jamy dan menghubungi Jay. "Jangan otak-atik hengpon kamu, Aku mau nelpon." Lika membaca pesan Jay, lalu berguling di tempat tidurnya. Dia sangat gembira membaca hal sepele tersebut. Tiga detik nada dering Lika berbunyi. Lika langsung menyambar gawainya dan menjawab telepon dari Jay. "Halo Sayang," jawabnya penuh semangat. "Sayang, Sayang. Kemana aja Lu! dari telepon Gua gak diangkat, chat Gua gak dibales!" "Waduh, pake Lu, Gua ini. Marah ya sayang?" "Siapa yang marah!? Gua cuman nanya!" "Tadi aku tidur siang. Jadi gak bisa angkat talipun. Masa angkat talipun sambil ngorok. Belum dapet konsepnye." "Trus kenapa gak telpon Gua balik? chat juga kenapa gak dibalas." "Oh, lupa." "L-lupa? Lu ngelupain Gua?" "Tadi kerjaan banyak. Jadinya lupa." "Ngeles aja bisanya, bilang aja Lu sengaja gak balas chat Gua!" "Loh, kok tau?" "Oh, jadi beneran? Lu sengaja?" "Gak! gak kok, gak sengaja. Beneran deh, suer," "Lu dimana sekarang?" "Ya di rumah dunk. Kenapa tuh mau ajak makan malam ya, hihihi." "Iya, tunggu disana. Bentar lagi Gua jalan." "Hah! beneran?" "Tunggu! awas kalo Lu kemana-mana." Jay menutup teleponnya. Lika tertawa cekikikan. Lalu menatap potret Jay yang dibingkai rapi di samping tempat tidurnya. "Adoh, kamu kalau marah imut banget sih sayang, gimana gak Bucin coba akuh tuh." *** Sepuluh menit kemudian, Jay turun dari kamarnya. Mengenakan T-shirt polos berwarna putih yang agak longgar, dan jeans berwarna biru tua. "Phi Jay," Entah sejak kapan Vina berada di rumah Jay. Dia sebenarnya punya rumah sendiri. Tapi, selama dia di Jakarta, hampir sebagian harinya dihabiskan di rumah Jay atau berjalan-jalan dengan Jay. "Vin, kapan nyampe?" tanya Jay sambil memasang arloji ke tangannya. "Baru aja. Phi mau kemana? mau ajak Vin jalan-jalan, ya?" "Phi ada urusan. Kamu kalau bosan panggil Pak Pras aja. Biar diajak jalan-jalan." "Jadi, Vin ditinggal?" Vina menunduk lalu membuat wajah cemberut. Jay mendekat kearah Vina, lalu mengelus kepala gadis itu, "Phi ada urusan. Vin mau apa? nanti Phi beliin." "Vin mau ikut." TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD