Dalam Bahaya

891 Words
Lika hampir stres selama seminggu ini. Jay menghubunginya setiap hari. Menanyakan hal yang sama. Apakah Lika mau kembali berpacaran dengannya. Lika yang berniat untuk memikirkan segalanya dengan matang, malah tak bisa berpikir dengan tenang. Terlebih Jamy selalu mengawasinya. Satu minggu ini, Lika rajin keluar masuk akun fanbasenya, walau hanya untuk memantau followers. Jamy yang mengetahui hal tersebut jadi curiga, bahwa Lika masih berhubungan dengan Jay. Lika tak ingin Jamy tahu yang sebenarnya. Karena laki-laki itu pasti akan mengomel sepanjang hari, jika mengetahui Jay berusaha mendekatinya lagi. "Ncel. Gua pinjem kamera Lu, ya?" Jamy yang sudah selesai menandatangani berkas di mejanya, berjalan menghampiri Lika yang terlihat seperti penunggu sofa, karena dia tak beranjak dari sofa tersebut mulai pukul sepuluh tadi pagi, hingga dipukul tiga sore saat ini, "Ncel, Lu denger Gua, gak?" Jamy melempar bantal sofa kearah Lika, dan benda tersebut mendarat mulus ke wajah Lika. "Jamy! gangguin aja sih ..." Lika menyingkirkan bantal tersebut dengan kesal. "Lu ngelamunin apaan? kesambet baru tau rasa." "Mana ada Gua ngelamun," "Itu tadi Gua nanya Lu gak ngeh," "Lu nanya? nanya apa?" "Gua mau pinjem kamera." "Arai! (apa)," Lika terdiam sejenak, "Ngapain Lu mau minjem kamera segala? gak ada, gak boleh, gak bisa!" "Pelit banget sih, cuman minjem bentar aja," "Lu kan punya kamera. Baru Lu beli enam bulan lalu," "Udah Gua kasih sepupu Gua," "Ya udah, beli baru aja. Elu kan banyak duet." "Yaelah, pelit banget sih. Ngapain Gua beli baru segala? Gua cuman mau minjem buat motoin Bang Doni nikahan." "Lah kan sepupu Lu ada. Kamera Lu ama sepupu Lu, kan?" "Iye, dia bawa kamera juga, Gua juga mau bawa kamera. Sehari doank elah. Pelit," "Kamera Gua khusus. Gak bisa motoin orang lain selain Khun Jay." "Wah parah Lu, Bang Doni kan ude anggap Elu adek sendiri." "Bang Doni kan sepupu tertua Elu. Lu korban dikitlah beli kamera. Lagian gak mungkin yang lain gak bawa kamera. Kalian kan sultan semua," "Ye, kan Gua juga pengen bawa," "Hengpon Lu noh kualitasnya hampir sama ama kamera. Pake hengpon Lu aja." "Gak bisa, hengpon Gua gak boleh diisi apa-apa. Gak boleh ada poto-potonya," "Lu kok ribet banget, anjiir," "Ye, pinjemin napa sih, Nanti di nikahan Bang Doni, Lu boleh bungkus makanan." Lika melirik Jamy, lalu berpikirs dengan serius, "Beneran? bisa bungkus apa aja?" "Iye, apa aja. Semua dah Lu bungkusin." "Tapi kan ... itu kamera khusus Khun Jay," "Lu masih demen ye, ama Jay?" Jamy mulai mengorek informasi. "G-Gak kok, mana ada." "Trus, itu Khun Jay, Khun Jay mulu. Jadi kesel Gua dengernya." "Ya udah iya, Gua pinjamin. Tapi hati-hati ya makenya." "Gak usah, gak ikhlas banget kayaknya." "Ih apaan, sih. Iya iya, ikhlas. Tapi Lu hati-hati, jangan ampe lecet. Apalagi lensanya. Gua nabung lama tuh buat beli," "Iya, tau. Kasih Gua lensa yang panjang yak." "Enak aja. Gak bisa, pake yang medium aja." "Biar keliatan gagah gitu." "Budu. Pake yang medium. Besok Gua bawain," LikaLika beranjak dari sofanya, lalu melangkah keluar. "Mau kemana!" seru Jamy. "Ke ruangan Gua lah. Mau kerja!" Lika menghilang dengan cepat. "Buset. Pelit banget cuman minjam kamera doank padahal. Kamera khusus Jay pala Lu." *** Pukul lima lewat lima belas menit. Lika keluar dari kantornya. Dia sebenarnya ingin pulang bersama Jamy. Untuk menghemat ongkos ojek. Namun, mengingat Jamy bakal banyak tanya, dan takut keceplosan, Lika mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk pulang naik ojek online saja seperti biasa. Ketika Lika tengah membuka aplikasi di gawainya untuk memesan ojek, tiba-tiba seseorang berdiri di depan Lika. Tubuh tinggi yang gagah itu melindungi Lika dari sinar matahari sore. Cahaya keemasan tersebut menyentuh wajah laki-laki itu. Menghasilkan efek samping yang berdampak tinggi. Dia tampak begitu mempesona dan anggun dalam waktu yang bersamaan. "K-Khun Jay ..." Lika mendongak. Tanpa sadar dia menelan ludahnya, melihat ketampanan Jay yang tak ada akhlak. "Udah mau pulang? yuk Aku antar." "G-Gak perlu. Aku naik ojek aja," Lika dengan gugup mencoba fokus pada gawainya, untuk memesan ojek online. "Gak perlu. Kan ada Aku," Jay langsung menarik tangan Lika. Lika tersentak. Mau tak mau dia terpaksa mengikuti Jay. Begitu tiba di dalam mobil, Lika terdiam. Tubuhnya menjadi kaku, bahkan dia tak bergerak sedikitpun. "Kok bengong? sabuk pengamannya pake," ucap Jay, membuat Lika kelabakan, "Mau Aku pakein?" "Gak! Aku bisa kok," tangan Lika gemetar, dia bahkan meleset mengunci sabuk pengamannya beberapa kali. Membuat Jay tersenyum, karena merasa hal tersebut lucu baginya. Jay menaruh tangannya ke kursi tempat Lika duduk. Dia memundurkan mobilnya sambil melihat ke belakang. Adegan norak yang sering dilihat di drama ini, ternyata masih berhasil membuat kaum hawa dengan jantung lemah seperti Lika hampir senewen. Lika tanpa sadar menatap Leher Jay. Adam apple (jakun) yang begitu sempurna, dengan leher jenjang yang tak kalah sempurna. Lika hampir terkena serangan panik. Dia cepat-cepat menutup matanya, lalu memukul kepalanya beberapa kali. Mengutuk dirinya sendiri. "Kamu gak papa?" tanya Jay saat melihat Lika yang tampak gelisah. Mereka sudah meninggalkan kantor selama sepuluh menit. Lika menatap lurus ke depan. Kemacetan tak ada akhirnya. Lika sekali lagi mengutuk keadaan. Dia harus bertahan dengan laki-laki di sebelahnya lebih lama lagi. Jantungnya hampir tak dapat dikendalikan. Lika berpikir, bagaimana jika dia tiba-tiba pingsan? "Lika ..." Lika terbelalak, suara lembut Jay yang memanggil namanya begitu merdu. Nada yang begitu indah, merasuk ke telinganya dan menghajar hatinya yang semakin lemah. "Apa-apaan ini ya lord. Tolong selamatkan jantung bucin Gua. Gua dalam bahaya!" TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD