Vina Maakrakorm

1523 Words
Jay yang menyetir, melirik Lika yang duduk di sebelahnya. Sejak keluar dari restoran, mereka berdua diam. Saking diamnya mereka, suara menarik nafas saja terdengar begitu berisik. Sepertinya Lika ngambek disebabkan perkara panggilan sayang tadi. Jay meninggikan suaranya karena Lika maksa memanggilnya Phi Jay. Biasanya Lika tak mudah tersinggung. Sepertinya efek pacaran mulai mengacaukan mereka berdua. Padahal sebelum jadian, mereka bebas mau bicara apa saja.Tak pernah tersinggung sedikitpun. "Kenapa dari tadi diem aja?" akhirnya Jay buka suara. "Gak kenapa-napa," jawab Lika sambil melihat keluar jendela mobil. "Ngambek ya?" "Gak, siapa yang ngambek." "Trus kok mukanya gitu?" "Gitu gimana, muka aku baik-baik aja." Jay menepikan mobilnya, dia berhenti lalu menatap Lika, "Kalau ngambek bilang aja." "Siapa yang ngambek! ini kenapa berhenti? aku mau cepet pulang!" Jay menghela nafas, lalu membuka sabuk pengamannya. Jay menangkupkan kedua tangannya ke wajah Lika, lalu memaksa Lika untuk menatapnya, "Maaf," ucap Jay lembut. Lika terdiam, siapa orang yang tak terpana mendengar kata maaf dari manusia tampan bersuara lembut tersebut? dengan mata jernihnya yang tak berkedip menatap Lika, dan tangannya yang hangat di pipi Lika. Membuat Lika hampir tumbang. "K-Kenapa minta maaf segala?" Lika salah tingkah.Dia menurunkan tangan Jay dari wajahnya, dan segera mengalihkan pandangan dari Jay, untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah seperti udang rebus. "Kamu ngambek, kan? karena tadi aku ngomong pake nada tinggi?" "N-Ngak kok," Lika masih menutupi pipinya dengan tangan. Jay tersenyum, lalu kembali menangkupkan tangannya ke wajah Lika. Lika kini tak berkedip menatap Jay, "Ya udah, kalau gitu bikin satu nama panggilan untuk aku, tapi jangan pake Phi." "Kenapa gak boleh pake itu?" "Pokoknya gak boleh, cari yang lain aja." Lika berpikir sejenak. Dia kemudian kembali menurunkan tangan Jay dari pipinya dan mulai tersenyum, "Kalau gitu ... aku panggil Thiirak (sayang) aja." "Gak terlalu norak?" "Ya udah kalau gitu Sayang bahasa Indonesia aja, gimana? okhe kha?" "Hm, Arai kedai (apa aja/terserah)," Jay tersenyum, Lika tampak ceria kembali. "Ya udah, kita jalan lagi, let's go!" ucap Lika sambil mengangkat tangannya. Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan rumah Lika. "T-Tunggu dulu!" Jay tiba-tiba menghentikan Lika ketika hendak turun dari mobil. "Hm, ada apaan?" tanya Lika dengan ekspresinya yang random. "Besok pagi ... ke kantor mau dijemput?" tanya Jay ragu-ragu. "Oh, gak papa Sayang, besok aku pergi sendiri aja. Kan kamu sibuk kalau pagi," Lika menggunakan hak panggilannya untuk pertama kali. Sepertinya dia sangat gembira bisa memanggil Jay dengan sebutan sayang. "Kalau gitu ... siangnya mau makan bareng? nanti aku jemput ke kantor kamu." "Tapi biasanya Jamy sama aku ..." "Gak boleh makan ama Jamy!" Jay sedikit meninggikan suaranya. Menyadari perbuatannya, Jay segera menepuk mulutnya, "Maksudnya, siang besok makan sama aku aja, sekali-sekali. Masa tiap hari ama Jamy." Lika menyipitkan matanya, lalu mulai terkekeh, "Oo, cemburu ya? aduh ... sayangnya akuh, imut banget sih, cemburu gitu." "Idih, siapa yang cemburu? gak ada tuh," "Pake ngeles, ya udah iya, besok aku makan bareng kamu," Lika tersenyum lalu memutar-mutar ujung rambutnya sok imut. "Ya udah, besok aku jemput pas makan siang." Lika mengangguk, kemudian bergerak hendak membuka pintu. "Bentar!" Jay menahan Lika lagi. "Waduh, jangan-jangan ... Sayang akuh yang imut, ganteng, kaya raya dan mempesona ini, mau minta jatah ciuman. Wanjay, Gua tadi makan apaan yak. Tadi pagi Gua gak makan jengkol, kan?" Jay agak mendekat. Lika bersiap lahir batin, lalu memejamkan mata serta memonyongkan bibirnya. Lika menunggu hampir satu menit, namun Jay masih tak beraksi juga, "Anjir, kok gak pake disosor sih? lagi ngapain tuh Sultan?" Lika agak mengintip, tampak Jay sedang meraih sesuatu di kursi belakang, "Ho, pasti mau ambil penyegar mulut nih. Idih sayang akuh perhatian banget," Lika kembali memejamkan matanya. Setelah beberapa detik, tiba-tiba sesuatu menyentuh bibir Lika. Lika merasakan ada yang tak beres, "Waduh, kok bibir sayang Gua baunya kayak kresek pasar gini?" "Nih, buat kamu." Mendengar suara Jay, Lika lalu membuka mata. Ternyata Jay memegang sekantong besar cemilan di depan Lika. Dia lalu mengintip dari balik bungkusan tersebut. "Kenapa tutup mata? ngantuk?" tanya Jay dengan tampangnya yang innocent. "Huwa, apa-apaan ini, pantes baunya kek kresek pasar. Tenyata ... anjir malu-maluin aja." "Oy, kenapa bengong?" Lika segera mengambil kantong dari tangan Jay, lalu menutup mukanya, "Gak kenapa-napa. Aku masuk dulu ya," Lika membuka pintu lalu akhirnya keluar. "Jangan tidur malam-malam. Tapi kalau gak ngantuk boleh kok telepon aku," ucap Jay sambil melambaikan tangannya kearah Lika. "Aduh, kata-katanya bikin bengek, romantis banget ternyata bule Thailand satu ini," Lika menurunkan kantong plastik dari wajahnya, lalu balas melambaikan tangan, "Hati-hati ya sayang pulangnya." Jay mengangguk, lalu perlahan berlalu meninggalkan Lika. Setelah Jay menjauh, Lika berlonjak seperti orang gila di depan rumahnya, "Wuaa! Gila. Mimpi apa Gua bisa dapat pacar kayak begitu? Lika. Gak ada cewe gang seberuntung Elu di dunia. Gak ada pokoknya. Hidup Bucin!" *** "Jam. Ada kerjaan gak?" Lika kelayaban ke ruangan Jamy. Karena dia tak punya kerjaan lain. Saking semangatnya dia ingin makan siang bersama Jay hari ini. Dia datang pagi-pagi sekali, dan menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum jam sembilan pagi. Lika melihat Jamy yang sedang duduk memutar-mutar kursi, sambil sibuk mengutak-atik gawainya. "Jam! ada kerjaan kagak?" tanya Lika dengan volume suara dinaikkan satu oktaf. "Gak ada." "Serius? ada yang mau difotokopi, gak?" "Gak ada." "Yang mau disusun-susun juga gak ada?" "Lu kenapa sih, berisik amat. Gak ada Gua bilang, gak ada. Udah pergi sana! ngrusuh aja Lu disini." Lika cemberut. Dia menghela nafas lalu duduk di sofa beludru berwarna abu-abu yang terletak di depan meja kerja Jamy. "Lah, ngapain Lu disini? yang suruh Lu masuk siapa?" "Kan Gua bilang, gak ada kerjaan." "Cari kerja sana. Apa kek, jangan ngrusuh disini." "Idih, kok belakangan ini Lu makin nyebelin sih, Jam?" "Bodo." Lika berdiri dari duduknya lalu mendatangi Jamy. Dia mengintip ke layar gawai Jamy, "Lu ngapain sih?" Jamy langsung memasukkan gawainya ke dalam saku, "Lu kenapa elah, kepo banget jadi orang." "Lu ngliat apa? serius banget." "Gak ada. Bukan urusan Lu." "Jamy! wah mode preman Lu balik ya? Lu ngeliat vidio ngerakit bom? atau vidio orang tawuran?" Jamy, berdiri kemudian mendorong Lika untuk keluar dari ruangannya, " Keluar Lu, keluar!" Bum. Jamy langsung menutup pintu begitu Lika sudah di luar ruangan. "Woy,l Jam! Lu berantem ama Bokap Lu lagi? Lu jangan sampe ngrakit bom molotov ye. Lu ude janji ama Gua gak bakal jadi preman lagi. Jam!" Lika memutar-mutar gagang pintu, percuma saja, pintu tersebut tak terbuka karena Jamy menguncinya dari dalam, "Jam! anjir kok pake kunci pintu segala? buka oy, buka!" "Berisik!" Terdengar teriakan Jamy dari dalam. Lika akhirnya berhenti lalu membuat wajah cemberut, "Kenapa sih tu anak? bodo ah, ngeselin banget," Lika menatap pintu sekali lagi, "Kalau dia ikut anak-anak SMA tawuran gimana? atau, dia nyelinap masuk kelompok Mahasiswa trus ikut demo kayak dulu, gimana?" Lika mengacak-acak rambutnya, "Ah, bodo. Mending nungguin waktu makan siang bareng pacar Gua." Lika akhirnya pergi masuk ke ruangannya. Sementara itu, di dalam Jamy kembali menatap gawainya. Dia tersenyum tipis, "Dasar. Dari dulu tetap aja makannya banyak," Jamy menghela nafas. Tampak dia tengah melihat vidio. Seorang gadis dengan mukanya yang cemong, sibuk memakan ubi rambat rebus. Gadis di vidio itu adalah Lika. Dia memakai baju olahraga dengan rambut kepang dua. Mukanya dicoret arang demi mendapatkan ubi rebus dari senior. Yah, ini adalah vidio ospek saat mereka masih SMA. Seorang senior khusus dibayar Ibu Jamy untuk memfilmkan anaknya sebagai kenang-kenangan. Namun, tanpa diduga. Kebanyakan ada Lika di vidio tersebut. Karena Jamy sering bersama Lika. Lika melindunginya dan memperhatikannya. Jamy anak orang kaya yang lebih memilih mengambil tes di sekolah negeri, daripada di sekolah swasta milik salah satu kenalan Ayahnya. Tuan Muda yang tak pernah berkotor-kotoran sebelumnya. Namun, di dalam vidio tersebut tampak dia begitu kumal. Saat itu Lika memaksanya untuk ikut melakukan misi ubi rebus. Jamy disuruh bernyanyi, dan wajahnya dicoret beberapa kali karena salah mengambil nada. Akhirnya dia memenangkan ubi rebus tersebut. Dia menyerahkan ubi itu ke Lika, dan hanya menatap Lika yang menggenggam dua ubi di tangan kiri dan kanannya. Dia tersenyum tatkala melihat Lika makan begitu lahap. Dari sanalah awal mula persahabatan mereka. "Kalau dipikir-pikir ... waktu itu kok Gua lemah banget yak? trus mau-maunya lagi disuruh-suruh ama Lika." Jamy tertawa, namun ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia melemparkan gawainya ke meja, "Tapi sekarang dia lagi gila-gilanya sama si Songong itu. Emank sih gilanya ude dari tahun-tahun lalu. Tapi bisa-bisanya dia ... bisa-bisanya dia pacaran ama si Jay," Jamy mengusap wajahnya lalu memijat kepalanya yang agak sedikit pusing, "Terserahlah. Gua gak peduli." *** Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Jay tak melupakan janji makan siangnya bersama Lika. Dia membereskan semua dokumennya lalu menelepon Mawes. "Wes, batalin semua janji hari ini. Gua mau keluar kantor." Jay lalu menutup teleponnya, dan memeriksa penampilannya di cermin, "Gak ada yang kurang, Gua emank ganteng. Valid no debat," ucapnya membanggakan diri. Tiba-tiba pintu ruangan Jay terbuka. Terdengar suara langkah kaki yang elegan memenuhi ruangan. Jay berbalik lalu tertegun. Sosok tersebut berjalan anggun lalu berhenti tepat di depan Jay. Jay tak bisa bergerak dari tempatnya. Dia terbelalak, dan mulutnya kaku. "Swadi kha Phi Jay, sabai dimai kha?" (Halo Kak Jay, gimana kabarnya?). "Vina? Vina Maakrakorm!?" TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD