Dua orang yang tersisa dalam ruangan meeting itu masih tampak mematung.
Merasa bersalah, Adit mendekati Ema. "An. Maafkan aku. Tapi tadi-"
Tidak mau menatap pria itu, Ema duduk di salah satu kursi yang sedikit jauh. Wanita itu mengeluarkan tab yang tadi dibawanya dari ruangannya.
"Lebih baik kita langsung ke pokok masalahnya. Bisa Anda jelaskan lagi rencana kerja Anda tahun ini?"
"Andie... Aku-"
Penuh kemarahan, Ema menggebrak meja di depannya sangat kencang. Membuat Adit terlonjak.
Wanita itu menatap pria di depannya penuh permusuhan. Mulutnya terkatup rapat.
"Saya tidak mau mendengar pemintaan maaf Anda! Saya juga tidak punya waktu mengelus ego Anda yang terluka, pak Aditya! Saya dibayar untuk bekerja dan sebaiknya, Anda juga fokus saja di situ!"
Mencoba menata emosinya kembali, Ema konsentrasi pada tab yang masih di tangannya.
"Sekarang, saya ingin mendengar lagi rencana kerja Anda tadi. Silahkan pak Aditya."
Jakun Adit naik turun menatap wanita yang sedang duduk itu. Kali ini ia benar-benar sadar, wanita yang dulu dikenalnya itu sudah banyak berubah. Dulu kekasihnya ini sangat jarang marah. Bahkan saat ditinggalkan dulu, Ema hanya menatapnya penuh kesedihan dan berlinang air mata.
'Kalau itu yang kamu mau, Dit. Silahkan saja. Aku tidak akan menghalangi kamu untuk mencapai cita-citamu. Kamu memang berhak mendapat yang lebih baik. Kamu dan keluargamu berhak untuk itu.'
Berusaha menahan air yang mengancam keluar dari bola matanya, pria itu berbalik dan mulai menjelaskan.
Dalam hatinya, Adit tahu dia telah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan, yang akan selalu disesalinya.
Ia telah meninggalkan seseorang berharga yang telah mendukungnya tahunan, untuk seorang wanita yang hanya menjadi trophy untuk keluarganya saja. Pajangan dalam hal materi dan juga gelar tidak berguna.
Melihat tidak ada lagi rasa cinta dalam bola mata wanita itu yang bulat, ia tahu telah kehilangan kekasihnya.
Beberapa jam kemudian, tampak Ema masih sibuk berkutat dengan laptop-nya.
Ia harus mencari cara untuk menyeimbangkan biaya pengeluaran karena permintaan dadakan dari Aditya. Kalau mengambil budget dari satu tempat, maka akan ada yang dikorbankan. Sepertinya, dia harus menunda pembaharuan untuk sistem online di area rekrutmen.
Jari-jarinya sibuk mengotak-atik keyboard saat terdengar ketukan pelan di salah satu meja.
Wanita itu menengadah dan tersenyum. "Mau pulang, Yu?"
"Iya. Ibu tidak pulang? Sudah malam, bu."
Melirik jam di laptop-nya, Ema kembali tersenyum. "Sebentar lagi. Paling jam 8 nanti saya pulang."
Tangan Ayu mengulurkan sekotak s**u dan meletakkannya ke atas meja.
"Untuk ibu. Jangan lupa makan malam, bu. Saya pulang duluan."
Mengambil s**u itu, Ema memberikan senyuman terbaiknya.
"Aku akan meminumnya. Terima kasih."
Setelah kepergian anak buahnya, wanita itu menyender di kursi dan meminum s**u-nya. Ia juga mengambil salah satu berkas yang sore tadi baru diterimanya dari atasannya.
Surat Peringatan ke-2: Kelalaian dalam bekerja. Berlaku 6 bulan.
Sambil mendengus, Ema melemparkan lagi berkas itu ke mejanya.
Pertemuannya dengan Aditya tadi berlangsung cukup alot. Pria itu masih seperti dulu. Tidak tahu apa yang diinginkannya. Belum lagi, dia juga tidak familiar dengan sistem bisnis di perusahaan teknologi dan membuat Ema harus menjelaskan berkali-kali hingga mulut wanita itu mengering.
Ia masih merasa kesal karena para direksi memutuskan meng-hire orang tidak kompeten seperti itu.
Meminum s**u-nya hingga tandas, Ema meremukkan kotak itu dan membuangnya ke tong sampah.
Selama beberapa waktu ke depan, ia meneruskan pekerjaannya dan baru berhenti saat merasakan perutnya mulai bergejolak tidak enak.
"Ehm..."
Salah satu tangannya menutup mulut saat ia bersendawa cukup keras. Bulir-bulir keringat mulai muncul di keningnya dan badannya terasa mendingin.
Tahu ada yang tidak beres, Ema segera membereskan barang-barangnya dan memutuskan pulang. Ia baru menekan tombol lift, saat dorongan memuakkan membuat wanita itu langsung lari ke toilet terdekat.
Berjongkok di salah satu kloset, ia memuntahkan isi perutnya beberapa kali.
Wanita itu tidak sanggup berdiri. Punggungnya menyender ke dinding dan tubuhnya basah dengan keringat dingin. Matanya mulai berkunang-kunang.
Apa aku akan mati?
Telinganya yang berdenging masih mendengar suara seseorang memanggil, tapi semua menjadi gelap.
Bau obat yang cukup tajam akhirnya membangunkan wanita yang tadinya masih terlelap itu. Sudut matanya melihat selang infus di satu tangannya yang mengalir dari beberapa kantong cairan di atas kepalanya.
Ia menarik nafas dalam dan saat menoleh ke arah lain, wanita itu sangat terkejut.
Kepala Ilyas bersandar di bahunya dan tangannya memeluk erat lengan Ema. Pria itu tampak tertidur.
Pak Ilyas? Kapan-
Suara gorden yang terbuka pelan membuat Ema menoleh.
Terlihat seseorang berpakaian dokter menyapanya ramah, "Selamat pagi."
"Selamat pagi, dok."
Menyadari ada yang masih tertidur, dokter itu menurunkan volume suaranya.
"Bagaimana perasaanmu? Tadi malam, kamu mengalami dehidrasi dan asam lambung-mu naik."
"Sudah lebih baik, dok. Jam berapa sekarang?"
"Jam 3 pagi. Pacar kamu baru tidur beberapa menit lalu. Dia panik waktu badan kamu masih dingin."
"Pacar...?" Baru sadar yang dimaksud dokter itu, Ema langsung menutup mulutnya.
Dokter jaga itu memeriksa kondisi pasien-nya dan peralatan infus-nya. Ia kembali tersenyum.
"Sebaiknya kamu istirahat sampai cairan infus ini habis. Pacar kamu juga masih tidur. Kasihan dia, sepertinya sangat kecapean. Cepat sembuh ya."
"Terima kasih, dok."
Ditinggal sendirian, pandangan Ema mengarah ke langit-langit. Tampak merenung.
Tidak sampai 1 jam kemudian, kepala Ilyas bergerak dan ia bangun mendadak dari tidurnya. Pria itu langsung menatap wanita di depannya dan tersenyum cerah.
"Ema? Kamu sudah sadar?"
Perhatian dari pria itu membuat mata Ema sedikit panas.
"Pagi pak Ilyas."
Telapakan Ilyas yang hangat menelusuri kening dan juga leher Ema. Tampak kelegaan di wajah pria itu yang kusut karena baru bangun tidur.
"Syukurlah. Kamu sudah tidak dingin lagi. Aku khawatir sekali tadi."
"Bapak yang bawa saya ke IGD? Bagaimana bapak tahu..."
"Kamu pingsan di toilet. Jangan sakit lagi ya, Em. Aku benar-benar khawatir."
Lagi-lagi, perhatian pria itu membuat Ema menelan ludahnya seret. Sudah sangat lama tidak ada orang yang memberi perhatian padanya seperti ini. Wanita itu tiba-tiba teringat ibunya yang sudah berpulang.
"Iya... Terima kasih banyak, pak."
Tangan pria itu mengusap-usap pelan rambut Ema dan keduanya terdiam lama.
"Saya minta maaf, pak Ilyas. Waktu itu menampar bapak. Saya... terbawa emosi."
"Sudahlah. Kita sama-sama terpancing waktu itu. Aku juga minta maaf sudah menuduhmu sekeji itu."
Usapan lelaki itu terhenti. Pria itu tampak ragu-ragu, tapi akhirnya menatap wanita itu lebih serius.
"Aku tahu tidak sopan menanyakan ini, tapi terus terang aku penasaran. Sebenarnya, ada apa antara kamu dan Aditya? Kamu sepertinya tidak suka membicarakan dia. Dan dalam pertemuan siang tadi, jelas-jelas dia menyerangmu. Dia melempar kesalahannya pada orang lain, dan kebetulan orang itu kamu."
Helaan nafas berat terdengar dari hidung Ema. Wanita itu menunduk dan alisnya berkerut. Kedua tangannya mencabuti benang lepas di selimut.
Melihat wanita di depannya masih diam, Ilyas mer*mas tangan Ema lembut.
Suara seraknya bernada membujuk, "Em? Benar kalau Aditya itu mantan-mu dulu?"
Akhirnya Ema mengangguk, tapi dia masih menunduk.
"Kami pernah pacaran. Waktu masih kuliah. Tapi akhirnya putus dan dia menikah dengan wanita lain."
Tahu masih ada yang disembunyikan, Ilyas kembali memberi tekanan pada tangan Ema.
Pria itu bertanya hati-hati, "Dia menyakitimu, Em?"
Wajah Ema makin berkerut dan mulai menggigiti bibirnya sendiri.
Refleks, tangan Ilyas menyentuh bibir wanita itu dan membuat Ema kaget.
Mata keduanya terkunci lama, tapi wanita itu kemudian berpaling. Ia membaringkan tubuhnya ke arah lain. Membelakangi Ilyas.
"Maaf. Tapi saya tidak mau cerita lebih banyak."
Terasa pergerakan di belakang Ema saat pria itu merapihkan selimutnya. Tangannya yang hangat mengusap-usap bahu wanita itu yang tertutup selimut.
"Aku mengerti, Em. Tidurlah lagi. Kamu butuh banyak istirahat."
Semakin meringkuk, wanita itu menutup matanya erat. Setetes air matanya jatuh ke bantal
Orang yang justru menemaninya di saat dia jatuh, ternyata adalah orang yang sama sekali asing baginya.
Sungguh ironis sekali.
Ema semakin disadarkan, kalau dia memang benar-benar sebatang kara di dunia ini.