"Bu An?"
"Ya?"
Ragu-ragu, Ayu duduk di depan atasannya itu.
"Ibu tidak apa-apa? Sudah beberapa hari ini ibu kelihatan tidak sehat. Tidak mau cuti saja, bu?"
Memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat, Ema menggeleng.
"Saya baik-baik saja, Yu. Hanya kurang tidur dan minum vitamin. Itu saja."
"Tapi-"
Deringan telepon di meja Ema membuat wanita itu sigap mengangkatnya.
"Halo?"
Perkataan seseorang di seberang, membuat wajah pucat Ema semakin memutih.
"Baik. Saya akan segera ke sana."
Menutup telepon, sedikit panik wanita itu menoleh pada bawahannya.
"Ayu. Segera print kebutuhan MPP bagian Marketing dan pemenuhannya selama 6 bulan ini. Sekarang!"
Tidak sampai 10 menit, wanita itu telah berdiri di depan salah satu ruangan meeting dan mengetuk pintunya.
"Masuk."
Suara serak yang teredam itu membuat Ema memejamkan matanya sebentar. Kejadian itu sudah beberapa hari yang lalu, tapi ia masih belum melupakannya. Sadar, dia harus minta maaf pada pria itu.
Masuk ke ruangan, tampak para direksi dan beberapa manager dari masing-masing departemen. Terlihat juga Adit sedang berdiri di depan layar proyektor. Tubuhnya kaku dan tegang.
"Tutup pintunya, Andromeda."
Kembali suara Ilyas terdengar dan wajah pria itu dingin. Matanya menatap pria di depan.
"Aditya. Coba kamu ulangi lagi pernyataanmu barusan. Mengenai SDM?"
Menghindari tatapan bertanya Ema, Adit menatap para peserta yang hadir di sana.
"Seperti yang saya jelaskan tadi. Rencana kerja saya sedikit terhambat karena pemenuhan karyawan yang masih kurang di bagian product development. Permintaan pak Ilyas waktu itu untuk menganalisa target market secara lebih mendalam, akan sulit saya lakukan kalau saya kekurangan orang yang kompeten."
Pandangan Ilyas beralih ke Ema yang masih berdiri di dekat pintu masuk.
"Andromeda. Tanggapanmu?"
Semua pasang mata kecuali satu orang, otomatis terarah pada wanita itu.
Pikiran Ema buntu. Ia tidak mengingat sama sekali mengenai permintaan tambahan orang di Marketing.
"Andromeda?" Terdengar lagi Ilyas bertanya. Kali ini, suaranya lebih berat dan tajam.
Gugup, wanita itu meletakkan beberapa berkas ke atas meja meeting dan menatap langsung ke Ilyas.
"Saya membawa MPP yang disusun dari bulan November tahun kemarin. Tidak ada permintaan mengenai tambahan orang, khususnya di bagian Marketing. Permintaan ini baru saya dengar sekarang, pak Ilyas."
Perhatian Ilyas beralih ke Adit. "Itu jawaban Andromeda. Apa tanggapanmu, Aditya?"
Tenggorokan Adit naik turun tapi ia memandang Ema tajam.
"Saya pernah mempresentasikan rencana kerja ini saat dalam proses rekrutmen. Kalau Ibu Andromeda saat itu meng-interview saya langsung, maka seharusnya dia tahu kalau saya akan mengimplementasikannya bila diterima di perusahaan. Bukannya begitu?"
Pria bermata kelabu itu menutup matanya dan bergumam rendah, "Stanley. Kau tahu mengenai ini?"
Kepala Stanley meneleng dan pria itu tersenyum miring. Satu tangannya menopang dagunya.
"Ya. Aku pernah mendengarnya. Saat itu aku cukup setuju dengan Aditya. Aku juga pernah membicarakan dengan Herman mengenai kemungkinan adanya tambahan orang di kuartal pertama."
"Herman? Apa kau pernah mendapat informasi dari Andromeda mengenai tambahan ini?"
Pria yang dimaksud menatap Ema tanpa ekspresi, dan ia menggeleng kaku.
"Tidak ada update mengenai perubahan rencana MPP tahun ini."
Kedua alis Ilyas sedikit terangkat dan pria itu tampak menggaruk kepalanya.
"Saya tidak tahu apa masalah kalian berdua. Tapi miskomunikasi seperti ini, sama sekali tidak diperlukan dalam perusahaan. Kalau tidak bisa bekerja sama, mungkin kalian bisa mempertimbangkan kemungkinan resign sebelum diberhentikan secara tidak hormat oleh perusahaan."
Kata-kata itu diucapkan datar, tapi efeknya membuat semua orang terdiam.
"Stanley. Mungkin kau bisa mem-brief Aditya lagi mengenai struktur organisasi kita. Dan Herman, kau juga bisa mengingatkan bawahanmu untuk melakukan tanggungjawab-nya sepenuh hati. Dia tidak bisa memilih-milih pekerjaan hanya karena suka atau tidak suka."
Tidak ada satu pun dari kedua direksi itu tersinggung. Mereka berdua hanya mengangguk.
Pria tinggi itu akhirnya berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat capek.
"Alex. Daniel. Kembali ke ruangan. Masih banyak pekerjaan yang lebih penting untuk diselesaikan. Kita hanya buang-buang waktu di sini."
Ia menatap Adit yang masih mematung di depan. "Lebih baik kalian berdua selesaikan dulu masalah internal ini, sebelum kita bicara lebih jauh mengenai strategi bisnis. Selamat siang semuanya."
Menurut, kedua bawahan pria itu berdiri dan langsung mengikuti atasan mereka keluar ruangan.
Direksi yang tersisa pun akhirnya ikut berdiri bersama dengan beberapa manager lain.
Terlihat Stanley menatap Adit dan salah satu sudut mulutnya tertarik ke atas.
"Saya harus memberikan jempol padamu, Dit. Kau berhasil menghindari bola panas dari Ilyas."
Wajah Adit pias. Kata-kata itu mengandung banyak arti. Ia akan menjawab saat terdengar suara Herman.
"Kau bisa mendiskusikan mengenai permintaan tambahan MPP di tahun ini bersama Andromeda, Aditya. Pertimbangkan juga kemungkinan budget yang harus dikeluarkan. Jangan sampai melebihi apa yang sudah disepakati di akhir tahun. Perusahaan sudah cukup banyak pengeluaran untuk biaya Marketing tahun ini."
Kelopak mata Adit bergetar mendengarnya. "Baik, pak Herman. Terima kasih untuk support-nya."
Saat melewati bawahannya, tampak kilasan kasihan di mata Herman.
"Selesai meeting dengan Aditya, langsung ke ruanganku. Mengerti?"
Leher Ema terasa tegang tapi wanita itu tetap menundukkan pandangannya. "Baik pak Herman."
Rombongan itu keluar dari ruangan meeting dan berpisah di lorong.
Dalam lift yang menuju ke lantai teratas, tampak Herman menatap Stanley serius.
"Kau yakin akan mempertahankan orang itu, Stan? Dia seperti serigala berbulu domba."
Mendengar itu, Stanley malah terkekeh.
"Justru menariknya di situ. Aku ingin melihat, seberapa jauh dia mau melakukan cara itu sampai akhirnya terjatuh sendiri. Cara licik seperti itu tidak akan bertahan lama, Man."
Melipat tangan di depan d*danya, Herman menghela nafas.
"Susah juga kalau melepasnya sekarang. Beberapa barang-barang kita masih dalam proses di pelabuhan. Kalau sampai terjadi sesuatu pada orang itu, orangtuanya akan lebih mempersulit kita."
"Makanya itu. Sebaiknya orang seperti itu jatuh karena kesalahannya sendiri. Biar dia merasa malu saat tidak bisa membuktikan bualannya. Pada akhirnya, orang itu akan keluar sendiri dan Ilyas bisa memasukkannya dalam daftar hitam. Tinggal tunggu waktu saja."
"Tapi korbannya anak buahku, Stan! Aku terpaksa memberi hukuman padanya! Karena ini juga aku terpaksa menunda usulan promosinya! Menjengkelkan sekali!"
Tersenyum miris, Stanley menepuk bahu Herman. Sangat tahu rekannya ini kesal.
"Sayangnya Andromeda memang melakukan kesalahan itu, Man. Dia sedang sial saja."
Dua orang itu terdiam. Tampak Stanley mengetuk-ngetuk dagunya dan menoleh pada Herman.
"Mengenai Ilyas. Dia tadi seperti tidak biasanya ya?"
"Maksudmu?"
"Biasanya orang itu akan memborbardir bawahanmu kalau ada kejadian seperti ini, kan? Tapi dia tadi hanya bertanya dan membiarkan mereka menjawab."
Berfikir sejenak, Herman akhirnya mengangguk menyetujui.
"Kau benar juga. Aku baru sadar sekarang."
Dengan tangan masih di bawah dagu, Stanley menatap Herman dengan pandangan jenaka.
"Apa mungkin dia naksir anak buahmu?"
"Andromeda maksudmu?"
Antusias, kepala Stanley mengangguk-angguk penuh semangat.
"Mereka cukup serasi. Apa kita jodohkan saja?"
Lift ternyata sudah sampai ke lantai yang mereka tuju.
Sebelum keduanya keluar, Herman memandang Stanley dan tatapannya serius.
"Aku sarankan jangan mengusulkan ini pada Ilyas, Stan kalau tidak mau menghadapi kemarahannya. Orang itu masih belum bisa move on dari masa lalunya."