Zefanya benar-benar tak menyangka kalau manajer baru yang sekarang akan menjadi atasannya langsung adalah lelaki yang sama yang telah membuatnya dikejar-kejar lintah darat hingga diambang kehilangan rumah peninggalan ibunya.
‘Brengsekkk! Bajingann sialan ini akan menjadi atasanku? Kegilaan apa ini! Aku ingin sekali mencekik wajah sok tampannya itu! Lelaki pengecut menghilang hampir setahun dan sekarang tiba-tiba muncul di kantor sebagai atasanku?’
‘Ini gila! Aku ... fuuck!’ jerit Zefanya dalam hati. Ia terengah dan tak bisa melepas pandangannya dari sang lelaki.
Yang ditatap justru tersenyum penuh makna, “Kamu bagian dari divisi sales marketing juga? Siapa namamu?” tanya lelaki bernama Fieso Mayaxla tersebut.
‘Jahanaam! Sekarang dia pura-pura tidak kenal siapa aku? Brengseek!’ Zefanya masih terus memaki dalam hati.
Seorang wanita yang bertindak sebagai supervisor segera menjawab, “Namanya Zefanya Anelda. Dia adalah salah satu marketing terbaik kami. Biasanya dia selalu datang sebelum jam kerja. Hari ini, mungkin ada sedikit masalah.”
Zefanya mengangguk, lalu tersenyum menyindir. “Terima kasih atas perkenalannya untukku, Mrs. Serena. Dan, yah ... memang benar, aku ada sedikit masalah di rumah tadi.”
“You see, rumah peninggalan ibuku adalah rumah tua. Pintunya sering rusak. Dulu, aku mau memperbaikinya, tetapi sayang sekali ... uang untuk merenovasi rumahku hilang tak berbekas,” sindir Zefanya dengan telak.
Fieso tertawa renyah, seakan tak mempedulikan sindiran tersebut. “Baiklah, karena ini adalah hari pertama, maka aku tidak akan mempermasalahkan keterlambatan siapa pun. Akan tetapi, disiplin adalah kunci sukses. Jadi, mulai besok jangan ada yang terlambat atau poin kinerja kalian akan berkurang.”
Zefanya kembali memaki dalam hati, ‘Disiplin adalah kunci sukses? Maling sepertimu mana mengerti disiplin? Yang kamu tahu hanya membawa kabur uangku, j*****m sialan!’
“Dan, uhm ... namamu adalah ... siapa tadi, Stephanie?” panggil Fieso tersenyum angkuh.
“Ze-fa-nya! Namaku Zefanya!” sahut Zefanya sampai mengeja nama depannya. Ia benar-benar geram. Ingin sekali mengambil Glock 42 dari dalam tas dan menodongkannya di dahi lelaki itu.
“Ah, iya, Ze-fa-nya!” tiru Fieso mengulang gaya mengeja sang wanita. “Tolong ikut ke ruanganku. Karena kamu tadi terlambat dan tidak mendengar kata sambutan serta visi dan misi dariku, maka aku akan menyampaikannya secara pribadi kepadamu.”
Dad4 Nyonya Besar Lycus kembang kempis menerima perintah tersebut. Antara menolak untuk menuruti perintah Fieso, tetapi lelaki itu sekarang adalah bosnya.
Tak ada pilihan, Zefanya akhirnya menuruti perintah mantan jahan4mnya tersebut.
Masuk ke dalam ruang kerja Fieso, pintu langsung ditutup dan dikunci oleh sang manajer. Ia menyandarkan punggung di pintu, lalu menatap lekat mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ck, ck, ck,” geleng Fieso. “Nyaris satu tahun tak bertemu, ternyata kamu semakin cantik, Zefa.”
“Bajingaan! Kembalikan uang rumah ibuku, sialan!” serbu Zefanya berlari dan langsung menghantam kepala Fieso dengan tas kerjanya. “Manusia laknat! Aku dikejar rentenir sekarang karena ulahmu!” Lagi, lagi, dan lagi tas kerja itu melayang ke kepala manajer barunya.
“Hey! Hey! Kendalikan dirimu!” teriak Fieso sontak menutupi kepalanya dari serangan sang wanita. Ia mendorong Zefanya hingga mundur beberapa langkah. “Jangan macam-macam denganku di sini, karena aku bisa membuat pekerjaanmu hilang dalam sehari!”
Zefanya tertawa sombong, “Heh, apa kamu tidak dengar kata supervisor-ku tadi? Aku adalah salah satu marketing terbaik di sini! Kamu mau mengeluarkan aku? Coba saja kalau bisa!” desisnya mencibir.
Fieso tertawa pelan, “Sejak dulu kamu memang selalu berapi-api! Jujur, aku sudah lupa kamu bekerja di mana. Saat aku ditawari masuk sebagai manajer di sini, tentu saja aku terima.”
“Aku tidak peduli meski kamu ditawari jadi presiden sekalipun! Kembalikan uangku! Kamu membawa lari $100.000 milikku, sial4n! Pencuri! Maling kampungan!” Zefanya sampai terengah dan menunjuk-nunjuk wajah Fieso dari seberang meja.
Akan tetapi, lelaki itu tetap tenang. Parasnya tampan dengan mata biru indah, rambut pirang kecokelatan. Dagunya pun belah. Dari masalah wajah, Zefanya jelas memiliki selera yang bagus. Hanya saja, dari sisi kepribadian, jelas ia telah salah kaprah.
“Aku tidak menipumu. Kamu dengan sukarela mempercayakan uang itu kepadaku, bukan?” kekeh lelaki itu tetap culas, manipulatif!
“Untuk mendukung bisnismu, b******n! Bukan untuk kamu bawa kabur begitu saja! Aku tidak peduli! Karena sekarang kita sudah bertemu, kembalikan uangku atau kulaporkan kamu ke polisi!” ancam Zefanya tegas, dingin, dan ketus.
Lagi-lagi Fieso tertawa, “Atas dasar apa kamu melaporkan aku? Penipuan? Dari mananya aku menipumu? Apakah kita ada surat perjanjian?”
“Atau ... kamu mau melaporkan aku atas dasar penggelapan dana? Buktinya apa? You see, Zefanya yang cantik, kamu tidak ada bukti apa pun yang bisa memberatkanku. Silakan laporkan, aku akan bilang bahwa uang yang kamu kirim ke rekeningku adalah hadiah. Selesai sudah!”
Zefanya terengah, kali ini ia kehabisan kata-kata sebab mantan pacarnya itu memang benar. Ia begitu terbuai asmara saat itu hingga menjadi buta dan bodoh. Seumur hidup ia selalu takut berdekatan dengan lelaki akibat siksaan sang ayah sejak kecil. Namun, saat bersama Fieso, semua berubah.
Dan tolollnya, logika dia ikut berubah menjadi tumpul hingga mau saja diminta menggadaikan rumah untuk mendukung bisnis baru kekasihnya saat itu.
Namun, ia membalas dengan tersenyum sinis, “Lihat saja nanti, Fieso! Aku akan membuatmu menyesal karena telah membawa lari uangku! Aku akan bercerita kepada semua orang!”
“Silakan, lihat saja apa kata kepala HRD tentang itu. Jangan salah, kepala HRD kita adalah sahabatku. Coba saja kamu lakukan itu dan kita lihat siapa yang bertahan,” tanggap Fieso kembali melontarkan senyum liciknya.
Mati kutu, itu yang dirasakan oleh Zefanya saat ini. Ia terengah, d**a sungguh sesak! Kenapa hidupnya semakin hari semakin kacau? Apa yang telah ia perbuat hingga pantas menerima ini semua? Batinnya tidak mengerti dan terus menerus protes pada suratan takdir.
“Saranku, sebaiknya kamu tutup mulut dengan apa yang pernah terjadi di antara kita. Toh, menceritakan pada siapa pun tak akan membuat uangmu kembali, benar? Lebih baik pertahankan pekerjaan yang sudah ada karena mencari kerja di New York sangatlah susah!” desis Fieso dengan nada mengancam saat di akhir kalimat.
Ia terkekeh menang karena Zefanya hanya diam dan tak membalas. “Lebih baik kamu turuti semua keinginanku. Lebih baik lagi jika kamu bisa sering datang ke kantorku karena ... jujur saja, kamu semakin cantik, Darling.”
“Pergi saja ke neraka! Jangan pernah memanggilku Darling lagi! Kamu membuatku mual!” desis Zefanya dengan pundak naik turun.
Fieso menatap tajam dengan mata birunya, “Senangkan aku dan ... siapa tahu dalam beberapa bulan ke depan aku bisa memberimu kenaikan jabatan sebagai supervisor. Tapi, buat hari-hariku sulit, maka aku akan segera meminta kepala HRD untuk memindahmu sebagai office girl!”
Zefanya tersenyum sinis mendengarnya, lalu mengangkat jari tengahnya. “Ffuck you, Fieso!” Kemudian, ia melenggang keluar dari ruang kerja sang manajer.
Yang dimaki hanya tertawa santai, ia terus memperhatikan bagaimana b****g Zefanya bergerak dengan sintal. ‘Damn! Kamu masih saja cantik seperti dulu! Apa kamu juga masih perawan atau sudah ada yang menembus tubuh seksimu itu?’
***
Tidak langsung ke meja kerjanya, tetapi Zefanya pergi ke kamar mandi. Di sana, ia memercik wajah dengan air kran. Napas masih tersengal. Wajah Fieso mengikutinya seperti hantu.
“Apa aku keluar saja dari kantor? Tapi, bagaimana membayar hutangku kepada lintah darat b******k?” bingung sang wanita menekan tissue ke wajahnya supaya kering. “Apa aku berhenti kerja dan terima saja uan dari Sean?”
Namun, kening mengerut dengan sendirinya. “Berhenti bekerja dan menerima uang dari Sean? Apa kamu gila, Zefa? Kamu akan menyerahkan hidupmu kepadanya? Kepada bajingaan yang telah mengambil keperawananmu, menikahimu, membuatmu menjadi ibu dari dua anaknya, membuatmu kesal dengan kehadiran mantannya, dan terakhir ... menodongkan Revolver ke kepalamu?”
Ia menggeleng cepat, “Tidak! Tidak bisa, itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh, Zefa! Lelaki psycho itu tidak boleh kamu jadikan sandaran hidup!” larangnya pada diri sendiri.
“Aku pasti bisa melalui ini semua. Kehadiran Fieso tidak akan mengubah apa pun dalam karirku yang gemilang! Aku pasti bisa melalui ini semua!” yakinnya tersenyum, atau lebih tepatnya memaksa diri untuk tersenyum.
Ia mengambil ponsel, lalu mencoba menelepon Amanda. Tiga kali panggilan, tetap tidak ada jawaban. “Oh, iya, dia kemarin bilang bahwa nomornya tidak akan dipakai lagi, ‘kan?”
“Ini sudah hampir satu minggu berlalu dan dia belum juga mengirimkan uang sisanya kepadaku. Aku harap dia tidak ingkar janji,” keluh Zefanya memasukkan kembali ponsel ke dalam tas kerjanya.
Ia mengambil napas panjang, menahan beberapa detik, lalu mengembus panjang. “You can do this, Zefanya! Kamu pasti bisa!”
Melangkah keluar kamar mandi, duduk di meja kerja, hal pertama yang dilakukan saat bekerja adalah membuka surat elektronik. Ada sebuah pesan masuk ke sana dari akun yang tidak dia ketahui.
Bibirnya bergerak-gerak saat membaca isi email itu di dalam hati. ‘Ini aku Amanda adik tirimu. Aku minta maaf, Zefa. Tapi, aku tidak bisa mengirimi sisa uang $50.000 sesuai perjanjian. Ayah membekukan rekening bank yang aku miliki.’
‘Dan uang cash yang sekarang ada padaku adalah modal bagiku dan Armand memulai hidup baru. Minta tolong saja pada suami barumu, ya. Aku yakin uang $50.000 adalah hal yang sangat remeh baginya.'
'Sekali lagi, aku minta maaf. Semoga kamu berbahagia selalu. Bye.’
Beku sudah dunia Zefanya, ia seakan tak bisa merasakan denyut nadinya sendiri. ‘Hutangku $70.000 di lintah darat dan Amanda mengingkari perjanjian? Aku ... aku akan kehilangan rumah ibuku?'