bc

The Mafia Sugar Daddy

book_age18+
17.6K
FOLLOW
231.0K
READ
HE
forced
arrogant
mafia
drama
bxg
substitute
like
intro-logo
Blurb

“Aku mengijinkanmu tidur denganku asal membayar sebanyak $100.000, cash!”

“Sure, tidak masalah! Untuk wanita secantik kamu, berapa pun akan kukeluarkan!”

***

Zefanya Anelda Giovanny sedang mabuk berat dan berakhir di sebuah kamar hotel dengan sosok asing bernama Sean Lycus. Terjerat dalam hutang kepada lintah darat membuat ia menerima sebuah perjodohan yang diatur oleh keluarganya. Siapa sangka ketika berjalan menuju altar, pria asing di hotel itu adalah lelaki yang harus ia nikahi.

Sama-sama tak memiliki cinta, Sean dan Zefanya membuat perjanjian khusus. Lelaki itu berucap, “Jangan pernah jatuh cinta padaku! Karena aku tak akan bisa jatuh cinta padamu!”

***

Ternyata, saat kembali ke New York, berbagai kejutan menghantam Zefanya. Tidak hanya ia bertemu langsung dengan mantan terindah Sean, tetapi juga fakta lain bahwa ada cinta yang belum padam untuk wanita tersebut. Kini, ia paham kenapa Sean melarang dirinya untuk jatuh cinta.

Tak cukup dengan lilitan lintah darat dan pernikahan tak bahagia, Zefanya ternyata harus menemukan masalah lain di tempat kerja. Atasan yang baru terus menekan dan mencoba menyingkirkan dia akibat sebuah peristiwa buruk di masa lalu antara mereka berdua.

Berbagai tekanan hidup membuat Zefanya harus berusaha bertahan. Dalam situasi penuh gejolak, apakah hadirnya Sean akan membuatnya terlepas dari berbagai masalah?

Atau justru lelaki itu yang akan menjadikan hatinya paling terpuruk dalam kesedihan?

Benarkah mereka tidak akan saling mencampuri urusan satu sama lain? Benarkah mereka akan terus hidup bersama tanpa perasaan apa pun? Siapa yang perasaannya berubah, dan siapa yang menolak saat cinta itu datang?

Ingatlah … cinta bertepuk sebelah tangan itu rasanya sangat menyakitkan.

 *****

chap-preview
Free preview
Ch.01 Demi $100.000
“Kamu boleh tidur denganku, asal mampu memberikan uang $100.000 secara cash,” racau wanita cantik berambut panjang dengan aroma alkohol menyeruak kasar dari bibir merah muda. Lelaki tampan yang nampak matang dan gagah itu menatap dengan senyum nakal. Menikmati pemandangan teramat jelita di hadapan. Ia mendekatkan bibirnya di leher harum, lalu berbisik, “Mi Amor, jangankan $100.000, satu juta dollar pun akan kuberikan malam ini jika itu bisa membuatmu bercinta denganku.” “Kalau begitu, aku milikmu, wahai Tuan Tampan ....” Membuka jas, meletakkan pistol Revolver-nya di meja sebelah ranjang, bibir yang dikelilingi kumis tipis tercukur rapi berbentuk kotak mulai menjelajah tengkuk jenjang. Deru napas mereka memburu dan .... “Apa kamu yakin ingin melakukan ini? Yakin ingin bercinta denganku?” tanya lelaki itu sekali lagi. “Because ... when I f**k a woman, I fuckk her hard! Jangan sampai kamu menyesalinya.” *** --12 Jam Lalu di Milan, Italia.-- “Ayah, aku mohon, pinjami aku uang $100.000. Aku benar-benar membutuhkannya atau rumahku akan disita oleh lintah darat!” Seorang wanita muda nampak memelas dengan mata berkaca-kaca. Namanya Zefanya Anelda Giovanny. Masih muda belia, dengan rambut cokelat tua panjang tergerai. Parasnya sungguh cantik, memukau lelaki mana pun yang menatap. Akan tetapi, sungguh sayang ada satu lelaki yang tidak peduli, yaitu ayah kandungnya sendiri. Ia kembali memohon, “Tolonglah, Ayah. Aku tidak pernah meminta banyak kepadamu, hanya kali ini saja. Saat aku kuliah di New York, aku sampai harus bekerja di sana untuk membiayai hidupku sendiri karena Ayah tidak pernah mengirimkan uang jajan yang cukup. Aku mohon, sekali ini saja, kasihanilah aku ... berikan aku pinjaman $100.000.” Pedro Giovanny, itu nama ayahnya. Lelaki tua yang kemudian menggeleng, tersenyum sinis, “Salahmu sendiri berhutang kepada lintah darat. Kamu tidak ubahnya seperti ibu kandungmu! Tidak berguna dan hanya bisa mengeluh!” “Aku ditipu, Ayah! Aku mencoba berbisnis, ternyata partner kerjaku membawa kabur uang itu! Sekarang, aku yang menanggung akibatnya! Aku mohon, aku bersumpah akan membayarnya kembali. Aku adalah anak kandungmu, tolong bantu aku,” pinta Zefanya hingga kini satu butir bening turun di pipi putih mulus. Ia benar-benar kebingungan. Suara langkah kaki terdengar memasuki ruang tamu. Seorang wanita muncul tidak dengan wajah ramah. “Mau apa anak pembawa sial ini datang ke rumah kita?” tanya Lilith Giovanny, istri Pedro, atau ibu angkat Zefanya. “Dia hendak meminjam uang $100.000 kepada kita untuk membayar lintah darat. Kalau tidak, dia akan kehilangan rumah dan terpaksa hidup di pinggir jalan,” tawa Pedro justru senang melihat kesusahan anak kandungnya sendiri. Lilith ikut tertawa penuh ejekan. “Kamu pikir kita ini ATM berjalan, Zefa? Perempuan tidak tahu malu! Pergi dari sini! Tidak ada satu sen pun yang bisa kami berikan untukmu!” “Aku mohon, Bibi Lilith. Aku akan membayarnya kembali, aku bersumpah! Aku jauh-jauh terbang dari New York ke Italia karena hanya Ayah satu-satunya harapanku.” “Please ... kasihanilah aku, tolong pinjami uang itu kepadaku!” Dan kali ini, Zefanya sampai benar-benar memelas. Ia menangkupkan kedua tangan di depan d**a, sungguh memohon. “Hutangmu bukan urusan kami! Pergi dari sini!” usir Lilith dengan satu bentakan kencang. “Ayah, aku anak kandungmu! Bantulah aku!” seru Zefanya. Namun, Pedro hanya mengendikkan bahu. “Seperti kata Lilith, hutangmu bukan urusanku. Sudah baik aku menyekolahkanmu di New York. Sudah baik aku masih mau membiayainya. Tugasku mengurusmu sudah selesai semenjak kamu lulus kuliah.” “Jika kamu bangkrut, ditipu, itu semua kesalahanmu sendiri. Meski aku memiliki uang jutaan dollar sekalipun, aku tak akan membantumu. Sekarang, pergilah dari rumahku!” desisnya ketus. Zefanya menggeleng, air matanya turun di pipi cukup deras. Hati merasa sangat sakit, Pedro begitu membenci dia yang tak pernah ada salah apa pun. Hanya karena ia memiliki wajah sangat mirip dengan ibu kandungnya, hingga kini sang ayah terus membenci. Kata lelaki itu, paras cantiknya selalu mengingatkan pada sosok yang paling dibenci. “Keluar! Apa kamu tuli, hah! Keluar!” bentak Lilith menarik lengan Zefanya dan mendorongnya kasar. “Keluar, atau aku suruh pengawal yang menyeretmu pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi di rumah ini! Pergi! Dasar, tidak tahu malu!” “Jangan sentuh aku! Kamu yang tidak tahu malu! Kamu perusak rumah tangga ayah dan ibuku! Kalau bukan karena kamu, semua ini tak akan terjadi!” bentak Zefanya mendorong balik. Lilith hilang kesabaran, ia tampar wajah anak tirinya sangat kencang hingga terdapat bekas telapak tangan merah di pipi. Dua wanita sama-sama terengah dan menatap penuh benci. “Tutup mulutmu!” Bukannya membela sang putri, Pedro justru ikut geram. “Sekali lagi kamu menghina istriku, akan kucoret namamu dari keluarga ini, Zefa! Pergi dari sini, anak b******k!” Zefanya terisak, sakit rasa di hati, “Ingat kata-kataku! Suatu hari nanti, kalian akan menyesal telah menghina dan menyakitiku seperti ini!” desisnya sembari menatap sinis. Menyambar tas kecil miliknya dari atas sofa, ia segera meninggalkan rumah yang dulu ia tinggali sampai berusia 17 tahun. Hingga waktunya masuk universitas tiba, dan ia dikirim ke New York untuk kuliah, jauh dari rumah. Semua orang percaya bahwa itu hanyalah cara Pedro menyingkirkannya. Semua orang, termasuk gadis yang dulu masih sangat belia itu. Percaya bahwa ia dibuang ke luar negeri karena sudah tidak ada yang menginginkannya lagi. ‘Aku pasti menemukan cara untuk membayar hutang! Aku tidak bisa kehilangan rumah! Itu adalah peninggalan Ibu! Satu-satunya warisan yang aku miliki!’ Zefanya menangis, menjerit, tetapi di dalam hati. ‘Aku harus berjuang! Aku selalu mampu untuk melewati berbagai rintangan! Aku pasti bisa melewati ini semua! Iya, aku hanya harus berjuang lebih keras!’ Sebelum menaiki mobil sewaannya, ia menatap sekali lagi pada rumah yang dulu menjadi tempat ternyaman sedunia. Yaitu, sebelum ibu kandungnya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika ia masih berusia 10 tahun. ‘Lihat saja! Aku akan menjadi wanita sukses! Dan saat itu terjadi, kalian akan menyesal telah menyia-nyiakan aku!’ *** Sementara itu, di sebuah rumah bergaya mediternian yang mewah di pinggiran kota Milan, seorang lelaki bernama Sean Maximilian Lycus duduk berhadapan dengan satu lelaki tua. “Apa kamu pikir aku ini anak remaja yang bisa kamu jodoh-jodohkan? Aku tidak mau!” “Ah, ayolah, Sean! Katamu, kamu mau berkorban apa saja untuk memastikan kerjasama bisnis kita dengan keluarga Giovanny lancar? Aku dan Pedro Giovanny setuju untuk menikahkan kamu dengan putrinya. Dengan demikian, kita menjadi keluarga dan segalanya semakin lancar.” Namun, Sean tetap menolak. d**a bidangnya yang dihiasi rambut kecokelatan kembang kempis. “Ini gila! Aku tidak tahu, I mean ... dijodohkan? s**t! Jaman sudah sedemikian canggih dan kamu mau masih percaya dengan perjodohan?” “Tidak, aku tidak mau dijodohkan dengan siapa pun, terutama dengan wanita muda yang isi otaknya hanya bersenang-senang saja! Aku tidak mau! Titik!” tegasnya menggeleng sembari mengepulkan asap putih dari bibirnya. Uh, Sean Lycus yang sedang merokok adalah definisi kejantanan seorang pria. Ia nampak begitu menawan dengan asap di sekeliling wajahnya. “Well, kalau kamu menolak perjodohan ini tidak masalah. Aku akan mengatakan pada para tetua yang lain bahwa kamu tidak setuju. Dan ... semoga saja mereka tidak bertanya apa kamu masih layak menjadi pemimpin organisasi kita di New York atau tidak,” kekeh lelaki tua itu mengendikkan bahu. Sean terdiam, dia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menerima perjodohan, harga dirinya merasa diinjak. Menolak perjodohan, kekuasaannya di New York akan digoyang, dan bisa saja dia diganti. “f**k, aku butuh waktu untuk memikirkannya!” engah lelaki itu. “Sure, kuberi waktu satu malam. Besok siang, kembalilah kemari dan aku harap jawabanmu adalah jawaban yang menguntungkan kita semua. Lagipula, wanita Giovanny semuanya sangat cantik!” Senyum dingin dan sinis terlukis di wajah tampan nan garang milik Sean. “Secantik apa pun seorang wanita, mereka tetaplah mawar berduri yang bisa mengoyak hatimu hingga berdarah ....” Ia berdiri dan melangkahkan tubuh maskulinnya keluar ruangan. “Aku akan kembali besok siang dengan keputusanku. Sampai jumpa!” *** Di sisi lain kota Milan, situasi hati yang sedang tidak baik-baik saja membawa Zefanya mengiyakan ajakan teman sekolah untuk bersenang-senang di sebuah klub malam. Berpikir tak ada salahnya mengenang masa lalu dengan iringan musik disko menghentak, bukan? “Jadi, pacarmu yang dulu membawa kabur uangmu?” tanya Beatrice, sahabat Zefanya sejak masih duduk di bangku junior highschool. “Kenapa kamu bisa begitu bodoh, Zefa?” Menenggak cocktail Dirty Martini sembari tersenyum, wanita yang sedang dililit hutang itu tertawa. “Aku rasa karena aku terlalu mencintainya! Kamu tahu apa kata pepatah? Love is blind!” “Aku mengambil pinjaman ke bank sebesar $150.000 dengan menggadaikan rumahku. Saat bisnis kami bangkrut dan dia membawa kabur uangku, bank nyaris menyita rumah karena aku tidak bisa membayar cicilan.” “Tak tahu harus bagaimana, aku akhirnya meminjam pada lintah darat. Pada waktu itu tak berpikir akan dicekik oleh bunga yang menggila. Dia hanya memberi waktu enam bulan untukku mencicil lunas. Dan sekarang sudah dua bulan aku menunggak.” Beatrice menghela, ia mengusap pundak sahabatnya. “Apa kamu sudah menceritakan ini ke ayahmu?” “Yeah, aku sudah meminta tolong kepadanya. Dan seperti yang kuceritakan kepadamu di taksi tadi, dia menolak untuk membantu. Kebencian pada mendiang Ibu membuatnya senang melihatku menderita.” “That bastard! Kalau saja dia bukan ayahku, ingin sekali kuludahi mukanya!” kekeh Zefanya mengaduk minuman beralkohol di gelas. “Apa lagi yang kamu berikan ke mantan pacar brengsekmu itu? Apa kamu juga membelikan dia barang-barang mahal dan sejenisnya?” tanya Beatrice. Zefanya mengangguk, lalu tertawa miris. “Well, aku pernah memberikan dia jam tangan seharga $8.000. Uangnya aku ambil dari tabunganku semasa masih tinggal dengan Ayah. Saat jam itu kuminta balik, dia tidak mau menyerahkannya! Manusia b******k itu benar-benar b***t!” Lalu, ia meneruskan ucapannya sebelum tertawa, “Tapi, ada satu harta berharga yang tidak aku berikan kepadanya!” “Apa itu!” Beatrice ikut tertawa meski tidak tahu apa yang lucu. “Keperawananku!” gelak Zefanya menggeleng. “Ya, ampun! Kamu masih perawan sampai sekarang? Kamu sudah 25 tahun, Zefa! Oh, My God!” Beatrice berseru kencang sambil tertawa. Zefanya hanya mengangguk sambil terus tergelak. Di balik bibir merah muda basah yang sejak tadi nampak tertawa dan ceria, ada kisah hidup teramat pilu terpendam. Di mana ia terus berkata seolah tidak ada masalah, seolah hidupnya baik-baik saja. “Ya, sudah! Yang penting, malam ini kita bersenang-senang! Siapa tahu kamu bertemu dengan jodohmu malam ini!” seru Beatrice mengangkat gelasnya tinggi. “Toast untuk kebahagiaan kita!” Zefanya mengangguk, ia angkat juga gelasnya, “Toast untuk aku yang bebas hutang entah bagaimana caranya! Hahaha!” “Aku akan menraktirmu malam ini, Zefa! Minumlah sepuasmu! Jangan khawatir, toh, kita pulang dengan taksi!” Beatrice memanggil pelayan bar. “Satu Manhattan, dan satu Dry Martini!” “Yes, Ma’am!” sahut bartender mengacungkan ibu jari. Keduanya larut dalam gelak tawa hingga mendadak ponsel Beatrice berbunyi. “Aku akan menerimanya di luar!” seru wanita muda berambut hitam sebahu itu, lalu berlari keluar. Saat Zefanya duduk sendiri di bar, dari kejauhan ada dua lelaki yang terus mengamatinya sambil tersenyum. Salah satu dari mereka memanggil bartender, lalu berbisik sesuatu. Tak lama, bartender datang sambil membawa satu gelas Dry Martini lagi untuk Zefanya. “Compliment dari Tuan yang duduk di ujung sana. Dia bilang, kamu sangat cantik seperti malaikat yang turun ke bumi.” Terkejut karena dibelikan minuman, Zefanya menoleh pada dua lelaki tersebut dan mengucap terima kasih tanpa suara. Sudah lumrah di klub malam begini untuk seorang gadis menerima minuman dari pria yang kagum kepadanya. Melihat minumannya diterima dan diteguk oleh Zefanya, dua lelaki itu bangkit dari kursi, lalu mulai berjalan mendekat. Keduanya berwajah cukup tampan. Dari dandanannya juga terlihat seperti orang berduit. “Hai, aku Jacob, dan ini temanku, Raul,” ucap salah satu dari mereka memperkenalkan diri. “Hai, Jacob. Hai, Raul, aku Zefanya, terima kasih untuk minumannya,” angguk Zefanya menjabat tangan kedua pemuda tersebut. Beatrice kembali dari luar dengan tergopoh. Ia menghampiri sekaligus mengambil tasnya. “Zefa, aku sungguh minta maaf, tapi aku terpaksa pulang!” “Ada apa?” tanya Zefanya melihat wajah sahabatnya seperti panik. “Nenekku meninggal. Barusan ini adalah ibuku yang menelepon. Aku harus pulang sekarang juga. Maafkan aku, ya? Kita bertemu lagi besok?” ucap Beatrice memeluk. Sebelum berangkat, ia menoleh pada dua lelaki. “Siapa kalian?” “Aku Jacob dan ini Raul. Kami baru saja berkenalan,” jawab lelaki jangkung tersenyum, mengulurkan tangan. “Oh, begitu,” angguk Beatrice. Ia memeluk Zefanya sekali lagi sambil berbisik, “Hati-hati, kamu sudah mulai mabuk. Sebaiknya segera pulang saja.” “Aku masih ingin di sini dan bersenang-senang. Aku akan baik-baik saja. Kamu pulanglah duluan, keluargamu pasti sudah menunggu di rumah.” Menghela panjang, khawatir, Beatrice kembali berucap, “Ingat! Kamu masih perawan! Jangan sampai keperawananmu hilang di tangan lelaki asing! Ingat itu!” Zefanya terkekeh, “Iya, Bu! Aku akan mengingatnya!” candanya memeluk sang sahabat. Beatrice tersenyum, menatap sendu pada sahabatnya. Ia merasa kasihan dengan beban hidup Zefanya. Akan tetapi, ia sendiri tak punya uang sebanyak itu untuk membantu. “Aku pulang, ya? Stay safe. Ada apa-apa, telepon aku, oke?” Maka, berpisahlah dua sahabat tersebut dalam satu lambaian tangan. Dua lelaki mulai bercakap dengan Zefanya. Sekitar setengah jam berlalu, obrolan banyak diwarnai tawa dan canda. Sepertinya mereka tidak ada niat jahat. Namun, segala sesuatu mulai berubah saat yang bernama Jacob bertanya, “Kamu mau mengobrol di suatu tempat yang lebih sepi dari ini?” “Lebih sepi?” ulang Zefanya dengan mata yang terasa agak berat akibat pengaruh alkohol. “Well, you know ... tempat yang lebih tenang, di mana kita bisa lebih mendapatkan privacy,” sahut Raul menambahi tawaran temannya. Zefanya terkesiap, menarik kepalanya ke belakang, lalu mengulang kembali ucapan teman barunya. “Tempat di mana kita bisa lebih mendapatkan privacy?” “Yes, betul,” angguk Jacob. “Contohnya di mana?” “I don’t know. Bagaimana kalau kita ke hotel? Kita bisa mengobrol di sana dan lebih menge—“ Zefanya tertawa malas, “Oke! Senang berkenalan dengan kalian, terima kasih untuk traktiran minumnya, tapi aku harus pulang! Bye! Carilah wanita lain untuk dibawa ke hotel!” Ia bangkit dari kursi, membawa gelas yang masih berisi setengah minuman, dan merasa sedikit limbung. “Aaargh, Beatrice benar. Aku sudah mabuk! Aku mau pulang saja!” engahnya berbicara pada diri sendiri. Jacob menjejeri, “Kamu sudah terlalu mabuk. Biarkan kami mengajakmu pergi. Kita bisa beristirahat di penthouse milikku. Tempatnya tidak jauh dari sini,” rayu sang lelaki merengkuh lengan Zefanya. Seringainya menyeramkan, membuat bulu roma berdiri. Apalagi ketika mengucap, “Jadilah gadis kecil yang menurut, maka semua akan baik-baik saja.” Lalu, ia mendekat sembari berbisik, “Ayahku adalah orang penting dan berkuasa. Jika kamu menolak, maka aku bisa membuat hidupmu menderita, Zefanya.” “Ayahku juga orang penting dan berkuasa, Bodoh! Bukan ayahmu saja yang penting dan berkuasa!” kesal Zefanya. “Lepaskan aku! Kamu pikir aku w************n?” Wanita berambut cokelat tidak peduli akan ancaman tersebut. Meski dikejar dua pemuda, ia terus berjalan cepat hingga menubruk seorang lelaki tinggi gagah dan menumpahkan cocktail di jas yang nampak sangat mahal. “Oh, no!” desisnya terkejut. Seorang pengawal segera menghadang langkah Zefanya. Ia menoleh ke belakang, lalu berbisik, “Anda baik-baik saja, Tuan Sean Lycus?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
148.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
145.9K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
282.3K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
3.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
204.8K
bc

TERNODA

read
190.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
221.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook