Ch.09 Pusing di Antara Dua Wanita

2111 Words
Hari Minggu, Zefanya kembali ke rumah peninggalan ibunya untuk mengepak berbagai barang. Sepupu yang biasa tinggal di sana sedang tidak ada. Hanya ada dia dan dua orang bodyguard yang ditugasi Sean untuk mengawal. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, dia akan tinggal di rumah Sean selama pernikahan mereka berlangsung. Oleh karena itu, berbagai barang akan diangkut ke sana, khususnya pakaian kerja. “Aku benar-benar akan merindukan kamar ini. Suasananya, nuansanya, bahkan bau cat usang yang terus tercium saat hujan turun. Tapi, apa mau dikata?” senyum sang wanita lirih. Duduk di tepi ranjang, ia mengamati sebuah foto. Gambarnya sudah nampak usang karena diambil sekitar 15 tahun lalu. Saat di mana ibu dan kedua kakak lelakinya masih hidup. Sebelum kecelakaan maut merenggut nyawa orang-orang yang paling ia cintai. “Bu, aku sudah menikah. Bisakah kalian percaya itu?” tawanya mengusap satu butiran bening di pipi. “Dulu, aku pernah bersumpah tak mau memiliki suami seperti Ayah, ternyata aku termakan ocehanku sendiri! Apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?” “Iya, suamiku juga seorang mafia. Yang paling menyesakkan adalah dia masih mencintai mantan kekasihnya, Bu. Bukan berarti aku jatuh cinta padanya, hanya saja ... aku sama sekali tidak tahu akan dibawa ke mana kisah kami.” Zefanya mengusap kaca tipis di bingkai foto, “Seandainya Ibu masih hidup, mungkin Ibu akan menentang perjodohan kami. Aku juga tidak akan terlibat hutang pada lintah darat dan hidup penuh teror.” “Untung ibu adalah seorang warga New York. Saat Ayah membuangku untuk berkuliah di sini, paling tidak aku sudah memiliki tempat untuk berteduh. Rumah ini adalah hartaku yang paling berharga.” “Maafkan aku karena sudah terpedaya lelaki hingga menggadaikan rumah Ibu. Sekarang, aku yang kesulitan mempertahankannya.” Ia menghela napas panjang, “Tapi, beginilah takdirku, Bu. Tidak apa, semua akan kujalani dengan penuh perjuangan. Aku pasti bisa melaluinya. Rumah ini pasti bisa kuselamatkan!” Memasukkan bingkai foto tersebut ke dalam koper yang berisi baju-baju kerja, kemudian Zefanya membuka sebuah laci terkunci di meja kerjanya. Ada sebuah Glock 42 mungil berwarna hitam di sana. Senyum manis mengembang di bibir sang wanita, “Hai, Baby! Aku kemarin tidak membawamu ke Italia dan nyaris jatuh dalam pelukan dua lelaki m***m!” kekehnya mengecup pistol kecil. Sebagai putri seorang mafia, ia sudah paham bagaimana berbahayanya hidup seorang gadis cantik seperti dirinya. Glock 42 tersebut adalah salah satu mekanismenya dalam mempertahankan diri. Memasukkan senjata api ke dalam tas kecilnya, mengambil napas panjang, memandang sekeliling, dan berucap lirih, “Sampai jumpa kamar tidurku tersayang. Terima kasih karena telah menemaniku selama delapan tahun terakhir.” Ia melangkah keluar kamar, mendatangi bodyguard Sean, “Aku sudah siap. Mari kita kembali ke Lycus Mansion.” *** Saat Zefanya berada di rumahnya, seorang wanita mendatangi Lycus Mansion untuk berbicara dengan sang pemilik sekaligus menjemput putranya. Besok adalah hari Senin dan Reagan harus kembali bersama ibunya untuk mempersiapkan sekolah. “Selamat malam, Sean. Bisa kita berbicara?” ucap Ghea menyapa dengan lembut. Tuan Besar Lycus menoleh, “Kamu datang untuk menjemput Reagan?” “Ya, dan untuk berbicara denganmu juga,” angguk ibu satu anak tersebut. “Zefanya tidak di sini?” “Nope, dia sedang kembali ke rumahnya untuk mengambil berbagai barang. Dia akan tinggal selamanya di sini denganku, menjadi istriku. Kenapa kamu mencarinya?” “Aku tidak mencarinya, aku ingin berbicara tentang dia. Tapi, sebelum itu ... aku ingin berbicara tentang ... kita,” tandas Ghea tersenyum lirih. Sean mengepulkan asap putih dari bibir yang seksi itu. Ia tersenyum dingin, menutupi perih. “Kita? Apa lagi yang mau kamu bicarakan tentang kita?” Ghea menghela, “Aku ingin berterima kasih karena sudah membiarkan aku dan Evan bersama lagi. Dulu, aku pergi meninggalkanmu karena berpikir bahwa kamulah pembunuh orang tuaku. Saat itu, aku kabur bersama Evan.” “Sekian tahun bersama, aku jatuh cinta padanya hingga kami menikah. Aku pergi darimu dalam kondisi hamil Reagan. Membesarkannya bersama Evan tanpa kamu ketahui, hingga anak itu menganggap Evan adalah ayahnya. Meski kami terus diburu musuh, tetapi kami bahagia.” “Saat aku akhirnya diculik oleh musuh, Evan datang kepadamu untuk meminta bantuan. Kamu mau membantu dengan syarat Evan pergi dari hidupku. Lalu, kalian mengarang cerita bahwa Evan sudah meninggal, mati ditembak musuh,” ucap Ghea merangkum hal terakhir yang terjadi sebelum keberangkatan Sean ke Italia. Sean hanya diam, merokok sembari memandang lara pada mantan kekasihnya. Wanita pertama yang mengajarinya cinta, sekaligus wanita pertama yang juga mengajarinya arti kepedihan, remuk redam, serta kehilangan. “Apa yang membuatmu akhirnya memutuskan untuk mengembalikan Evan kepadaku? Bahkan, menjadikannya tangan kananmu? Itu ... itu adalah sebuah lompatan yang teramat besar. Aku tahu betapa kamu membenci Evan selama ini,” lirih Ghea membalas tatapan lara itu dengan sorot sendu. “Kamu nampak begitu terpukul saat aku menolak kebersamaan kita kembali. Kenapa sekarang kamu justru menjadikan Evan orang kepercayaanmu? Bahkan, kamu memberikan kami rumah mewah yang tidak jauh dari sini untuk ditinggali. Aku ... ada apa denganmu? Apa tujuanmu?” Sean tersenyum getir, “Kamu sakit, dokter mengatakan kamu depresi berat karena kehilangan Evan secara mendadak. Perasaan bersalah, bahwa Evan mati karena menyelamatkanmu.” “Aku berusaha memberikan apa yang kubisa, Kitty Cat,” pedih Sean memanggil dengan sebutannya yang khusus bagi Ghea, sang Kucing Kecil. “Tapi, kamu tidak mau membuka hatimu lagi untukku.” “Akhirnya, aku berpikir, untuk apa aku teruskan keadaan seperti ini. Melihatmu menangis setiap hari, menyebut dan mengingat Evan terus menerus ... itu juga menyiksa batinku. Membuatku merasa sangat ... tak berarti, hancur lebur. “Sean mengucap dengan menahan gemuruh tornado di dalam d**a. Berusaha terlihat tenang meski ingin berteriak. Ia menghisap dalam rokoknya, lalu mengembuskan asap sembari melanjutkan pembicaraan. “Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku bertemu dengan Evan. Aku memberinya penawaran, yaitu kembali padamu dan menjadi tangan kananku.” “Percayalah, kalau aku mau, dia sudah mati. Tapi, aku tidak bisa melihatmu sedih terus menerus, Kitty Cat. Aku melepaskanmu untuk berbahagia dengan Evan. Bagiku saat ini, yang penting Reagan sudah kembali bersamaku. Dia putra pertamaku, dia yang akan menjadi penerus tahta Lycus nantinya.” Ghea tersenyum ragu, “Iyakah begitu? Atau kamu menjadikan Evan tangan kananmu hanyalah cara agar kamu secara tidak langsung bisa terus melihatku, bersamaku seperti sekarang?” Sean tertawa pelan, “Kalau iya, lalu kenapa? Aku tahu batasanku, itu sudah cukup, bukan? Kamu juga sudah menutup semua pintu hati untukku. Lagipula, aku butuh orang seperti Evan untuk diandalkan mengurus semuanya.” “Ini seperti simbiosis mutualisme. Aku merelakanmu dengan dia, memberi kalian rumah untuk ditinggali, memasukkan Reagan ke sekolah terbaik, pokoknya semua yang terbaik untuk anak kita. Aku juga memberikan Evan gaji yang besar agar dia bisa memberikan kehidupan yang di atas kata layak bagi Reagan” “Sebagai imbalannya, Evan membuat bisnisku aman dari gangguan musuh. It’s just bussiness,” pungkas mafia berdada bidang tersebut menyorot dengan tajam. “Sama seperti perjodohanmu dengan Zefanya? Itu hanya bisnis?” tanya Ghea menatap tajam. “Kamu tidak mengenal siapa dia, tapi kamu menikahinya?” Sean kembali tertawa, “Kamu tahu definisi perjodohan, ‘kan? Tidak perlu mengenal siapa calonnya, tiba-tiba sudah menikah. Untuk apa kamu mengurusi pernikahanku dengan Zefanya? Kamu keberatan aku satu ranjang dengan wanita lain, hmm?” Ghea menghela panjang, “Jangan mulai, Sean. Kamu tahu kalau cintaku padamu telah berubah menjadi sebatas partner dalam membesarkan Reagan.” “Aku hanya khawatir dia bukan wanita yang baik. Terakhir aku ingat, kamu memperistri Abigail dan pernikahanmu berakhir seperti neraka. Aku hanya takut kamu salah memilih wanita lagi. Abigail bagaikan jelmaan setan, dan kamu justru menikahinya setelah aku pergi.” Sean mendengkus, “Tidak usah ungkit masa lalu. Abigail adalah sebuah kesalahan dalam hidupku. Tapi, dari dia, aku memiliki Tristan. Sama seperti darimu, aku memiliki Reagan. Dan Zefanya adalah urusanku. Kamu tidak perlu mengurusi dia.” Ghea tertawa ringan, “Kamu sepertinya memang selalu berjodoh dengan daun muda, Sean!” “Ada masalah bagimu? Tidak suka aku dengan daun muda, hah?” sahut Sean tersenyum smirk. “Dia sangat cantik, bukan? Rambut cokelatnya yang hitam panjang, kulitnya yang seputih s**u. Bukankah menurutmu begitu?” Sang mantan menggeleng cepat, “Uhm ... bagiku dia biasa saja. Namanya wanita pasti cantik, bukan?” Ghea kemudian tersenyum datar, “It’s just that ... aku tidak tahu dia siapa. Dan agak khawatir jika membiarkan Reagan bersamanya. Tolong selalu awasi anak kita, ya?” “Maksudmu, Zefanya bisa saja mencelakai Reagan? Buat apa?” hela Sean merasa jengah. Semalam Zefanya protes soal Ghea. Sekarang Ghea protes soal Zefanya. Kenapa mendadak kepalanya jadi pusing sendiri ditekan kanan-kiri? “Dia orang asing, Sean. Meskipun kamu berbisnis dengan keluarganya, tetapi kamu harus tetap berhati-hati. Kita tidak tahu masa lalunya, atau apa yang mungkin saja dia rencanakan.” “Aku hanya ingin anakku selalu aman meski sedang tidak bersamaku,” tukas Ghea tegas. “Kejadian dengan Abigail sudah cukup membuatku trauma. Kamu bisa begitu salah dalam memilih seorang wanita.” Saat mereka sedang berbincang, pintu ruang tamu terbuka. “Mommy sudah datang!” Reagan berlari dengan riang menyambut ibunya. Zefanya ikut memasuki ruang tamu, “Hai, Ghea,” sapanya datar. Rupanya ia baru saja datang dari rumahnya dengan membawa barang-barang dalam koper. “Hai, Zefanya,” balas Ghea, sama datar, melirik ke koper yang ada di samping istri Tuan Besar Lycus. Mereka saling pandang selama beberapa detik, kemudian mengalihkan sorot ke tempat lain. “Reagan sudah siap pulang? Besok kamu kembali bersekolah.” “Yes, Mommy! Aku siap pulang!” angguk bocah tampan yang mungil bergelayut manja di kaki ibunya. “Say goodbye to Daddy Sean,” senyum Ghea membelai pipi gemuk putranya. “Kamu bersenang-senang di sini, ‘kan?” “Hell yeah! Tadi pagi aku dan Reagan mengumpulkan kerang di pantai. Lalu, kita bermain di pinggir ombak, sungguh menyenangkan! Betul begitu, Jagoan?” seru Zefanya tertawa renyah. Reagan ikut tertawa, “Iya, Mommy Zefa! Tadi asyik sekali kita bermain di pantai!” Ghea kembali tersenyum datar mendengar Zefanya memanggil Reagan dengan kata Jagoan. “Ya, sudah. Weekend besok kita bermain ke pantai juga, ya? Mommy akan menemanimu mencari kerang dan bermain di tepi ombak.” Lalu, ia melirik pada Sean yang hanya membalas tatapan itu dengan senyuman dingin dan angkuh seperti biasa. “Ayo, pamit kepada Daddy Sean,” ucapnya sekali lagi pada sang putra. Reagan mengangguk, ia berlari kecil menuju ayah kandungnya, memeluk erat sang mafia, dan menciumi pipi Sean. “Love you, Daddy! Sampai jumpa lagi!” “Bye, Reagan. Daddy loves you too. Belajar yang rajin dan buatlah Daddy bangga, oke?” senyum Sean memeluk erat. Ia mengecup kening Reagan sedikit lebih lama. Rasa tak ingin berpisah menjalar kuat. Namun, ia baru akan mendapat kesempatan untuk bisa bersama putranya seperti ini sekitar dua minggu lagi. Perjanjiannya dengan Ghea adalah weekend minggu kesatu dan ketiga bersamanya. Selain hari itu, sang bocah akan tinggal di rumah ibunya. Reagan turun dari pangkuan sang mafia tampan, lalu berlari menuju Zefanya. “Bye, Mommy Zefa! See you!” Tertawa, Zefanya mengacak-acak lembut kepala berambut cokelat itu. “Bye, Reagan. Be a good boy and see you in two weeks!” “Ayo, Reagan! Kita pulang!” panggil Ghea pada putranya hingga Reagan langsung melepas pelukan pada Zefanya. Lalu, ia pamit untuk yang terakhir kali. “Selamat malam, semua. Sampai jumpa lagi.” “Bye!” senyum Zefanya secara lebar sembari melambaikan tangan. Setelah Ghea dan Reagan pergi, pintu tertutup, senyum itu tiba-tiba hilang. “Oke, fix, mantanmu itu tidak menyukaiku! Dia selalu menatapku tidak ramah.” “Next time dia kemari, aku lebih baik tidak menemuinya lagi, Sean!” desis Zefanya, kemudian ikut keluar dari ruangan tanpa menunggu jawaban apa pun dari sang suami. Yang diajak bicara hanya menggeleng sambil mengumpat, “Fuucking shiit! Dua wanita ini lama-lama akan membuatku mati muda!” *** Sementara itu, di sebuah lorong gelap kota New York yang tersembunyi, ada dua orang lelaki sedang bertemu secara rahasia. “Pengiriman pertama dari Massimo akan terjadi sebentar lagi. Aku tidak mau kita langsung menyerang. Biarkan saja berjalan sampai lima kali pengiriman dulu. Setelah itu, baru kita mulai kacau,” ucap seorang lelaki menghisap cerutu. Yang diajak berbicara mengangguk, “Oke, biarkan mereka mengira semua aman terkendali, ya? Kalau sekarang, pasti mereka sedang waspada. Aku dengar mantan agen CIA itu, yang bernama Evander Xu sekarang jadi tangan kanannya Sean Lycus. Dia yang sekarang mengatur seluruh keamanan jalur transportasi barang.” .“Yeah, aku juga mendengarnya! Tenang saja, kita akan bisa mengalahkan mereka. Satu hal yang pasti, aku tidak akan beristirahat dengan tenang sampai Sean Lycus dikubur dalam tanah!” kekeh lelaki pertama sambil mengepulkan asap rokoknya. Lelaki kedua menjulurkan tangan, hendak berjabat, “Senang bisa bekerja sama denganmu. Untuk kehancuran Sean Lycus.” Tangan itu dijabat erat, “Untuk kematian Sean Lycus dan juga ... seluruh keluarganya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD