Part 12 - About Riyan

2128 Words
Part 12 - About Riyan Riyan baru saja sampai di rumahnya. Aliya langsung menghampiri Riyan. Aliya sangat cemas, karena Riyan belum juga pulang setelah lewat jam dua belas malam. Sebelumnya Riyan tidak pernah pulang larut malam. Paling malam juga paling jam sepuluh. Ini sekarang udah jam dua. Aliya jadi tambah khawatir sama kakanya. Apalagi Riyan itu sakit. "Kakak dari mana? Kok jam segini baru pulang? Ini jam dua loh!" todong Aliya. Belum sempat Riyan duduk, sudah di suguhkan pertanyaan oleh Aliya. "Kakak tadi neduh dulu di apotek," jawab Riyan singkat. "Apotek mana? Apotek di Papua sampe jam segini baru pulang?" tanya Aliya mulai dongkol. Aliya cemas setengah mati menunggu kepulangan Riyan. Ia sampai ketiduran di ruang tamu. Saat dengar suara mobil Riyan, Aliya langsung bangun. "Apotek Medical Sehat, Al. Yang biasa kakak tebus resep disana," sahut Riyan. "Terus kenapa jam segini baru nyampe? Apotek itu mah, kalo pake mobil. Engga sampe lima menit udah nyampe, kak. Kakak tau, Aliya khawatir banget. Mana hape kaka mati. Kakakan pake mobil. Ngapain neduh?" rempet Aliya terus mencecar Riyan dengan pertanya. Riyan menekan mulutnya sendiri menggunakan telunjuknya. "Stttt.. Kamu tenang dulu, Al. Oke kakak ceritain semua. Jadi tadi itu kakak niatnya neduh di apotek. Karena hujannya deras kakak jadi engga konsen nyetir. Kalo di paksain bisa bahaya. Nah pas nunggu di apotek. Rencananya kakak mau nongkrong di caffe pelangi. Sayangnya semua itu batal. Karena ada ibu muda mau melahirkan. Kakak ga tega liatnya. Jadi kakak ikut bantuin ibu itu. Tadinya kakak mau pulang. Berhubung kakak penasaran sama hasil persalinanya. Jadi kakak nunggu di apotek sampai selesai," cerita Riyan pada Aliya panjang lebar. Biar tidak ada kesalahfahaman lagi. "Sengganya kabarin orang rumah, kalo kakak ada di sana. Aku sampe mikir yang macem-macem. Karena kakak belum pulang. Dan engga ada kabar pula. Aku takut kakak kenapa-napa. Takut kakak kambuh terus pingsan. Harusnya kakak kabarin Aliya. Gimanapun caranya," omel sambil menangis. Riyan memeluk Aliya adik kesayangannya. Rasa bersalah mulai menyelusup hatinya. Mana sempat dia kabarin Aliya. Tadi hapenya batrenya habis pula. Riyan mengerti sekali kekhawatiran Aliya. Riyan jadi merasa bersalah karena membuat Aliya cemas. Tanpa kabar. Aliya sampe nangis seperti ini. "Maaf, Al. Maafin kakak," sesal Riyan. Namun Riyan tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Jantungnya berdegup tak karuan. Perlahan Riyan melepaskan pelukannya dari Aliya. Riyan meremas dadanya. Nafasnya mulai putus-putus. Melihat kondisi Riyan, Aliya kembali panik. "Kakak kambuh lagi yah? Tuh kan ini karena kakak kecapean. Aku ambilin obat dulu," Aliya langsung membantu Riyan duduk di sofa ruang tamu. Setelah itu ia berlari mencari obat untuk kakanya. Di kamar Riyan. Setelah ia temukan, Aliya kembali ke ruang tamu. Aliya memberikan obat pada Riyan. Harap-harap cemas Aliya menunggu reaksi dari obatnya. Lama kelamaan, Riyan berangsur membaik. Keringat Riyan bercuran. Seperti sudah mandi keringat. Aliya juga salah. Seharusnya jangan memarahi Riyan seperti itu. Tau, Aliya khawatir pada Riyan. Tapi seengganya biarkan Riyan beristitahat dulu. Ini langsung di omelin. Stress sedikit saja, akan membuat jantung Riyan berdegup kencang. Dan itu terasa sangat sakit. "Maafin, Aliya kak," sesal Aliya. Riyan yang tadinya terpejam menahan sakit. Kembali terbuka. "Ini bukan salah kamu kok. Kakak baik-baik aja sekarang," Riyan tidak mau karena kejadian kambuh sekarang ini. Membuat Aliya jadi sedih. Karena merasa menjadi pemicu Riyan kambuh. Aliya itu adik kesayangan Riyan. Selain Aliya, keluarganya hanya adiknya yang paling mengerti Riyan. Cuma Aliya di keluarganya yang tau tentang penyakitnya. Terkadang, Riyan merindukan kasih sayang seorang ibu dan ayah. Itu semua tak bisa ia dapatkan sejak kecil. Saat orang lain bermanja-manja di depan orang tuanya. Saat itu Riyan hanya bisa menonton dengan tatapan iri. Untungnya sejak Aliya lahir. Harinya tak begitu sepi. Karena ada Aliya yang selalu jadi tempat curhatnya. Saat Riyan lahir, Riyan memang lahir prematur. Katanya jantungnya tidak terbentuk dengan sempurna. Makannya salah satu katup di jantung Riyan saling menempel. Orang yang pertama kali tau hal ini adalah bik Sumi. Saat tau kabar itu ingin sekali bik Sumi memberi tahu Diandra. Tapi Diandra malah di sibukkan oleh pekerjaannya. Sampai tak sempat bertemu. Kalaupun pulang ke rumah. Hanya sebentar saja. Jadi bik Sumi belum sempat memberitahukan prihal Rian sampai sekarang. Saat Riyan mulai mengerti tentang penyakitnya. Riyan meminta bik Sumi untuk merahasiakannya. Tadinya juga Aliya tidak tau. Karena kepergok kambuh. Akhirnya Aliya tau. Riyan juga meminta Aliya merahasiakan penyakitnya ini. Dari mama papahnya. Riyan tidak mau di anggap lemah. Ia tidak suka di kasihani. Jadi lebih baik, mereka semua menganggap. Kalau Riyan ini sehat. Riyan ini manusia normal, seperti yang lainnya. Raffa saja yang, sebagai sahabatnya dari kecil saja tidak tau soal ini. Riyan menyembunyikannya dengan rapih. Riyan hanya beralibi. Kalau dia punya imun yang lemah. Jadi gampang sakit. Sampai-sampai dalam satu tahun ini. Riyan sudah tiga kalo kena typus. Hal itu memang benar. Tapi penyakit fatal yang Riyan derita. Tidak ia beritahukan. "Kakak udah engga apa-apa?" tanya Aliya. Namun Riyan tidak menjawabnya. Riyan menjawabnya dengan suara dengkurannya yang sedikit terdengar keras. Aliya tersenyum melihat kakaknya yang sudah tertidur pulas. Tidak mungkin Aliya membangunkan Riyan juga. Riyan nampak lelah sekali. Aliya membenarkan posisi tidur Riyan. Yang tadinya terduduk. Sekarang Aliya benarkan jadi berbaring. Saking lelahnya, sampai-sampai Riyan tidak sadar. Kalau Aliya mengubah posisi tidurnya. Aliya ke kamar untuk mengambil selimut. Ia mengambil dua selimut. Yang satu ia selimutkan pada Riyan. Yang satunya Aliya pakai untuk dirinya. Aliya juga mau tidur di sofa sebelah Riyan. Aliya melihat wajah pucatnya Riyan. "Pasti sakit banget yah kak? Kakak harus kuat yah. Aliya yakin kakak bisa sembuh kok. Aliya yakin kalo nanti kakak sembuh. Kakak engga akan ngerasain rasa sakit ini. Semoga ada jalan, supaya kakak sembuh. Kakak harus tetep semangat yah," Aliya berbicara sendiri. Yang sudah jelas Riyan tidak akan mendengarnya. Aliya mulai tertidur. Karena waktu menujukan pukul tiga dini hari. Perlahan dengkuran Riyan hilang. Ia membuka sedikit matanya. Riyan melihat Aliya tidur di sofa yang satunya. Riyan memperhatikan baik-baik Aliya. Makasih sayang. Terimakasih karena kamu udah jadi adik terbaik, untuk kakak kamu yang lemah ini. Kakak harap, kamu engga akan pernah bosan. Untuk selalu ada di sini kakak. Kakak butuh kamu di saat seperti ini. Kakak janji akan cari cara untuk sembuh. Agar kakak bisa melindungi kamu. Seperti sekarang kamu lindungi kakak. Kakak merasa malu. Harusnya kakak yang melindungi kamu. Ini malah sebaliknya. Tenang Al, kakak pasti sembuh, tekad Riyan dalam hati. ******** Minggu yang cerah di pagi ini. Burung kembali berkicau merdu. Udara pagi ini sangat sejuk. Mungkin karena kemarin hujan sampai malam. Terhirup bau tanah yang baru saja tersiram. Akhirnya setelah kemarau berkepanjangan. Semalam hujan sangat deras. Rintik hujan kadang memang selalu di rindukan. Apalagi saat kemarau yang panjang. Rintik hujan selalu menyimpan cerita manis di dalamnya. Kesejukannya meresap kedalam kalbu. Riyan bangun dengan mengulet. Mulutnya terbuka selebar gua. Rasanya lelah sekali tubuhnya ini. Riyan melihat sofa di mana Aliya tidur semalam. Tapi Aliya sudah tidak ada di tempatnya. Mungkin Aliya sudah bangun terlebih dahulu. Lau kenapa Aliya tidak membangunkan Riyan? Ia melirik jam dinding. Waktu telah menunjukan pukul sembilan pagi. "Ya ampun gue kesiangan!" buru-buru Riyan bangun. Riyan lansung masuk kamar mandi. Riyan mandi dengan buru-buru. Ia sudah seperti kebakaran jenggot. Setelah mandi. Ia cepat-cepat mengenakan baju. Setelah siap ia keluar kamar. Riyan melihat Aliya yang sedang ngemil di ruang keluarga. "Al, kenapa kamu engga bangunin kakak sih! Kakak kan jadi telat kuliah. Mana kakak semalam lupa ngerjain tugas. Kamu lagi, kenapa malah ngemil santai di sini. Kamu engga sekolah. Udah belajar bolos yah," rempet Riyan, ngoceh engga jelas. "Kakak emang mau kemana?" tanya Aliya santai. "Mau ke kampus lah. Kuliah," jawab Riyan. "Ahahahahaha," Aliya malah mentertawakan Riyan. Rasanya seperti puas sekali. "Kamu kok malah ketawa. Ayo cepet ganti baju kamu pake seragam. Kita udah telat banget. Hari ini kita minta anter pak Maman aja," perintah Riyan. Aliya masih saja tertawa. Sebetulnya apa yang ia tertawakan. Ia sampai tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu kenapa sih? Ada yang lucu?" tanya Riyan heran melihat adiknya berprilaku aneh hari ini. "Kakak, sekarang itu hari minggu. Hahaha masa minggu mau ke kampus. Masa juga minggu Aliya harus ke sekolah. Kakak ngelindur yah?"Aliya kembali tertawa terbahak-bahak. Riyan baru sadar kalau hari ini adalah hari minggu. Riyan merasa bodoh seperti keledai. Pantas saja sedari tadi Aliya mentertawakannya. Jadi ini alasan, kenapa adiknya dari tadi tertawa. Ya, jelas menertawakan kebodohan kakaknya yang heboh sendiri. "Udah puas ketawanya?" tanya Riyan sebal. Saat Aliya berhenti ketawa. "Abis kakak lucu sih. Ini bukan yang pertama kalinya loh. Kakak sering banget siap-siap kuliah di hari minggu. Malah dulu sempet kakak sampai kampus, ya? Dan ternyata kosong. Ya, iyalah kak. Hari minggu mana ada yang ngampus. Hahahaha," Aliya masih terus mentertawakan kebodohannya. "Terus aja ketawa!" Riyan mulai dongkol. "Iya, iya maaf. Ya udah gih sarapan dulu. Tadi pas kakak mandi. Bik Sumi udah siapin sarapan sama jus alpukat kesukaan kakak," ujar Aliya. "Hari ini kamu engga ada acara?" tanya Riyan. Riyan ternyata engga marah, karena sudah di tertawakan Aliya tadi. Riyan memang engga gampang marah. "Engga, emang kenapa kak?" tanya Aliya. "Ya, kali aja kamu jalan sama si Digo. Gimana dia udah nembak kamu belum?" tanya Riyan kepo. Riyan yang tadinya sudah siap berangkat kuliah. Sekarang ikut santai di ruang keluarga bersama Aliya. "Ah kakak engga usah bahas itu. Aliya sama Digo itu cuma sahabatan. Engga lebih dari itu. Lagian Digo kayanya engga suka sama Aliya," ucap Aliya sambil cemberut. Terlihat sekali Aliya kecewa. "Ah! Si Digo ini malah ngegantungin terus adiknya kakak nih. Dia engga gentle. Dia engga berani kali nembak kamu. Dia terus bersembunyi di atas persahabatan kalian. Padahal kakak liat. Dia juga kayanya suka kok sama kamu. Dia terlalu pengecut. Ya, udah kamu aja yang nembak dia," nasihat Riyan dan memberikan usul pada Aliya. "Kakak gila apa. Masa iya, cewek nembak cowok duluan!" protes Aliya. Tidak setuju dengan usulan kakanya. Itu terdengar sangat bodoh bagi Aliya. "Kamu itu gengsi, Al. Buat sementara singkirin dulu ego kamu. Beraniin diri buat nembak Digo. Sekarang banyak kok cewek yang nembak duluan," Riyan terus meracuni pikiran Aliya. "Iya, kaya kak Kamila nembak kakak. Engga semudah itu kak," kilah Aliya. Ia bersi kukuh dengan egonya. Merasa gengsi, kalau cewek yang nembak cowok duluan. "Dari pada kamu harus nunggu terus. Engga enak kali. Kali aja kalo kamu yang nembak duluan. Dia malah kaya kakak nerima cinta kamu. Siapa tau dia mempunyai perasaan yang sama. Dari pada nantinya Digo jadi milik orang lain. Hayo! Auto nangis deh kamu," saran Riyan. Lagi-lagi Riyan mencoba meracuni pikiran Aliya. Iya, juga. Aliya memang sudah lama menyimpan perasaan suka pada Digo. Status mereka yang bersahabatan. Menjadi penghalang cinta di antara mereka. Dulu Kamila memang yang mengutarakan isi hatinya pada Riyan. Kamila nembak Riyan saat mereka mulai dekat. Tadinya Riyan tidak mau menerimanya. Karena Riyan takut. Riyan merasa tidak bisa melindungi Kamila. Apalagi kalau sampai Kamila tau, Riyan sakit parah. Ia pasti akan meninggalkan Riyan. Sesuai ucapanya waktu itu. Tapi Riyan mencoba untuk menjalin hubungan dengan Kamila. Seiring jalannya waktu, Riyan malah jatuh cinta pada Kamila. Meskipun saat itu, sahabat-sahabat Riyan. Melarang Riyan pacaran dengan Kamila. Mereka terus menghasud Riyan agar tidak menerima Kamila sebagai pacarnya. Dari dulu Kamila memang sudah di cap sebagai cewek matre. Entah kenapa Riyan malah senang di manfaatin sama Kamila. Malah mereka pacaran sampai sekarang. Sampai Riyan jadi bucinnya Kamila. "Udah deh kak. Jangan pengaruhin aku lagi. Aku jadi mikir yang macem-macem tau. Biarin aja sekarang bersahabat dulu. Siapa tau nantinya, Digo nembak aku. Mungkin dia lagi cari waktu yang tepat. Jadi santai aja kak," ternyata gengsi Aliya terlalu besar. Ia lebih mementingkan egonya di banding perasaannya sendiri. "Al, kamu itu terlalu naif. Cinta itu perlu di perjuangkan. Kalo kakak yang jadi Digo. Kakak langsung nembak kamu. Buat apa lagi ngulur-ngulur waktu. Orang semuanya udah jelas banget. Udah jelas kalian saling suka. Eh masih bertahan aja gitu sama status persahabatan kalian. Al, engga ada salahnya. Kalo kamu yang maju duluan," Riyan gas pol banget nih menasehati Aliya. Kaya yang dia pernah nemak orang aja. Riyan aja di tembak sama Kamila. Pake sok sokan memberi semangat pada Aliya buat nemnak. "Kaya yang pernah nembak aja," sindir Aliya. "Ya, belum sih. Tapi kalo di posisi nanggung kaya kamu gini. Kakak jadi geregetan. Apa perlu kakak yang bilang sama Digo. Biar sekalian nyuruh nembak kamu," ujar Riyan mulai nekad. "E.. E eh jangan. Nantinya aku engga enak sama Digo. Pake ngelibatin kakak ke masalah ini. Udah deh kak. Biar itu jadi urusan aku. Cepat atau lambat. Digo bakalan nyatain perasaannya ke aku. Kita tunggu aja. Sampai dia benar-benar siap," ucap Aliya lirih. Padahal sebetulnya Aliya juga sama geregetnya seperti Riyan. "Betah banget sih buat nunggu," celetuk Riyan. Aliya memang sudah terlalu lama menunggu. Menunggu Digo menyatakan perasaannya. Aliya juga terlalu pengecut buat nembak duluan. Aliya selalu membiarkan sang waktu memakan dirinya dalam pentian. Dan entah kapan penantian panjang Aliya akan berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD