bc

Apotek in Love

book_age16+
1.2K
FOLLOW
9.6K
READ
family
friends to lovers
CEO
doctor
drama
tragedy
sweet
friendship
professor
wife
like
intro-logo
Blurb

Raisa Chatarina Andara adalah seorang anak yatim piatu. Raisa di besarkan oleh dokter Rina. Raisa sudah lulus Smk Farmasi dan bekerja di Apotek Medical Sehat. Kali ini Raisa coba untuk mandiri. Raisa memutuskan untuk kos sendiri. Raisa juga seorang mahasisawa kedokteran di universitas Harapan Bangsa.

Riyan adalah anak orang kaya. Riyan kuliah mengambil fakultas arsitek. Hobinya melukis dan main musik. Riyan punya adik namanya Aliya. Ayah dan ibunya tidak punya waktu untuk mereka.

Mereka di pertemukan di apotek Medical Sehat. Saking sering mereka bertemu, membuat mereka saling nyaman. Apakah cinta mereka akan bersemi di apotek? Penasaran? Yuk baca selengkapnya dalam n****+ ini.

Cover by Ikhya Lil Husna

chap-preview
Free preview
Part 1 - Raisa
Apotek in Love Part 1 - Raisa Semilir angin berembus lembut di pagi ini. Semua orang mulai sibuk dengan aktivitas paginya. Sejak ayam berkokok mereka sudah bangun dan bersiap-siap menuju tempat kerjanya untuk mencari rezeki. Katanya, kalau kita bangun terlalu siang. Maka rezekinya akan di patok ayam. Sebagian orang mempercayai hal itu. Sebagian lainnya tidak percaya. Percaya atau tidak itu di kembalikan ke personal masing-masing. Apotek Medical Sehat. Raisa sedang sibuk pasien-pasiennya. Hari ini entah kenapa pasien datang lebih banyak dari biasanya. Selain apotek, di sini juga dokter carina buka klinik untuk pasien-pasiennya. Sepertinya mereka membutuhkan tambahan tenanga kerja. Raisa bisa pingsan, kalau di biarkan hanya sendiri melayani pasien apotek. "Pasien atas nama nona Miranda, ke poli gihi. Silahkan masuk," panggil Raisa. Pasienpun masuk. Pasien semakin hari semakin menumpuk. Mungkin karena pergobatan di klink ini sangat bagus. Obat dari apotek juga sangat berkualitas. Jadi lebih cepat dalam pemulihan pasiennya. Jadi tak salah, kalau pasien menjadi lebih banyak. Karena biasanya. Jika orang sudah berbicara bagus. Mengenai sesuatu hal. Cara mulut kemulut itu lebih cepat. Dan lebih di percaya. Raisa senang sekali dengan pekerjaan ini. Katanya Raisa bisa nolong orang dengan tenaga dan keahlian, yang dia punya. Sebenernya Raisa ingin sekali menjadi dokter. Jadi selain menajdi asisten apoteker di Apotek Medical Sehat. Raisa juga sambil kuliah, mengambil fakulkas kedokteran. Raisa bekerja di Apotek Medical Sehat itu, adalah tempat ibu angkatnya dokter Carina. "Pasien atas nama Nyonya Agustina ke poli kandungan. Silahkan masuk," panggil Raisa. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Untungnya itu adalah pasien terakhir. Akhirnya Raisa bisa menghempaskan tubuhnya di kursi. Harusnya ada Adit juga yang jaga. Sayangnya, Adit kebetulan bagian libur. Jadi Raisa terpaksa harus menjaga Apotek sendiri. Raisa mulai merekap dokumen pasien hari ini. Ia juga harus menuliskan obat-obatan yang habis, di buku defecta. Rasanya pekerjaannya cukup banyak sekali hari ini. "Hari ini banyak pasiennya Rai?" tanya dokter Rina. Dokter Rina juga sama-sama kewalahan, karena ikut membantu pasien yang berdatangan. "Banyak mah.. Buat besok aja, masih banyak yang daftar mah," jawab Raisa. Terlihat sekali wajah lelah, di paras cantiknya Raisa. Dokter Rina menangkap betul eksprsi itu. "Kasian banget kamu sayang. Besok kan kamu harus kuliah. Gimana kalau kamu, ga tinggal di rumah mama aja?" rayu dokter Rina. Dokter Rina masih saja terus membujuk Raisa, untuk tinggal bersamanya lagi. Bukannya Raisa tidak mau. Jelas Raisa sangat menginginkannya. Siapa yang tidak mau tinggal bersama dokter Rina. Dokter Rina adalah sosok ibu idaman semua anak. Dia sangat perhatian sekali pada anak-anaknya. Meski Raisa bukan anak kandungnya, ia selalu di perlakukan sama, seperti anak kandungnya. Hal itulah yang membuat Nadien, anak dokter Rina. Menjadi iri. Jadi Raisa sadar diri. Ia harus mengalah untuk pergi dari rumah. Raisa tidak mau, kalau harus bertengkar setiap hari dengan Nadien. Raisa memengang tangan dokter Rina. "Mah.. Apotek sama kampus kan deket kostan aku. Jadi mama jangan khawatir. Lagian aku seneng ko, bisa bantu mama. Aku ga tau. Kalo ga ada mama, mungkin aku ga akan bisa kaya gini," Yap benar. Belum tentu, jika Raisa di angkat oleh orang tua lain. Akan merasakan hal istimewa yang di berikan dokter Rina. "Udah ya sayang. Kamu ga pernah ko, mama anggap sebagai anak angkat mama. Kamu itu udah mama anggap, seperti anak kandung mama sendiri. Darah daging mama. Jadi, kalo kamu mau main ke rumah, atau butuh sesuatu bilang aja, ya. Pintu rumah mama, selalu terbuka buat kamu, sayang," ucap dokter Rina, bijaksana seperti biasa. "Makasih ya mah. Oh iya, besok ada pelajaran anatomi tubuh mah. Aku boleh kan, pinjem buku mama yang ada di apotek ini?" tanya Raisa sambil meminta izin. "Ambil aja sayang. Kalau kamu perlu buku apapun ambil aja, ga usah sungkan. Oh iya, besok mama ke kostan kamu, ya. Mama mau kasih diktat, sama buku-buku kedokteran yang kamu butuhkan kemarin," ujar dokter Rina. "Iya mah, boleh. Makasih mah. By the way apa kabar sama Nadien?" tanya Raisa ramah. "Nadien, dia baik-baik aja ko, Rai. Mama cuma ga ngerti aja. Ko bisa-bisanya nadien iri sama kamu. Sampai kamu harus keluar dari rumah. Kamu harus ngekos. Mama bener-bener ga mau hal ini terjadi. Mama ga nyaka kamu di usir sama Nadien. Harusnya kalian bisa akur. Kamu itu di urus dari kecil sama mama, Rai. Mana mungkin mama tega kamu di usir kaya gitu. Ayo, kembalilah ke rumah sayang. Soal Nadien. Biar mama yang bicarain lagi," dokter Rina memang selalu merayu Raisa untuk kembali ke rumahnya. Karena bagaimanapun, Raisa adalah anaknya. Anak angkat yang selama ini ia urus dari kecil. Sama saja rasanya seperti anak kandung. Berkat Raisa, dokter Rina bisa mempunyai anak. Raisa tersenyum, "Mah, it's oke. Aku engga apa-apa. Nadien lebih berhak kok dapet kasih sayang mama. Wajar aja, kalau dia merasa tersisihkan. Toh kan yang anak kandung itu Nadien. Bukan aku, jadi aku yang harus mengalah. "Mama tidak membeda-bedakan antara kamu dan Nadien, Rai. Kalaian berdua itu anak mama," "Raisa tau mah. Itulah yang membuat Nadien iri. Jadi mendingan Raisa yang ngalah yah, jangan di permasalahkan lagi hal itu. Biarkan Raisa mandiri di sini. Lagian, Raisa ga jauh-jauh kok dari mama. Mama masih bisa nengok Raisa ke kostan, kalo mama kangen. Raisa juga ga mau, kalau terus-terusan berantem sama Nadien. Ya mah, biarkan Raisa mandiri di sini," jelas Raisa panjang lebar. Semoga saja kali ini, dokter Rina tidak merayunya lagi. Untuk tinggal bersamanya. Semua yang Raisa lakukan adalah berdasarkan, pemikiran matang-matang. Dengan ini, pikirannya tidak akan terganggu. Ia harus lebih fokus pada kuliah dan apotek. "Ya sudah, terserah kamu aja. Tapi, kalo kamu berubah pikiran. Kembali ke rumah aja. Oke?" akhirnya dokter Rina menyerah. "Mah, aku boleh saran?" tanya Raisa mulai mengalihkan topik pembicaraan. "Saran apa Rai?" "Sekarang kan pasien apotek udah banyak. Di klinik juga udah banyak pasien. Kalau pegawainya cuma aku sama Adit aja. Kayanya kami bisa kewalahan. Apa engga sebaiknya kita tambah karyawan lagi. Jadi masing-masing poli dan apotek ke hendel. Engga rangkap kaya sekarang. Gimana?" saran Raisa. "Mama juga sebetulnya udah memikirkan hal ini. Mama setuju kok, kalo kita nambah karyawan baru. Coba kamu yang interview besok. Atau buka dulu lowongan kerja deh. Tempel aja di apotek lowongan kerjanya. Siapa tau ada yang berminat," "Oke deh mah, aku harap bisa lebih cepat dapetinnya. Biar kerjaan ga semakin menumpuk dan keteteran. Hehe," Raisa nyengir kuda. "Aamiin. Makasih yah sayang. Maaf jadi bikin kamu kewalahan terus," sesal dokter Rina. "Santai aja mah, aku seneng kok bisa kerja di sini. Sekalian nimba ilmu juga dari obat-obatan di sini," ucap Raisa santai. "Baiklah. Mama ikut seneng, kalo kamu seneng. Ya udah mamah pulang dulu yah. Eh sekalian aja bareng, gimana?" dokter Rina menawarkan tumpangan. "Boleh ma, tapi aku masih ada kerjaan sih. Kalo nunggu tiga puluh menit lagi gimana mah? Mama mau?" tanya Raisa. "Siap anakku," sahut dokter Rina. ******** Raisa baru saja sampai di kostan. Ia senang sekali bisa di antar lagi oleh dokter Rina. Rasa rindu pada mamanya, kembali menyelusup dalam hatinya. Raisa selalu bertanya-tanya. Apakah sosok ibu kandungnya sama seperti dokter Rina? Atau lebih baik? Atau bahkan jahat? Meski pikiran itu selalu di tepis. Tapi Raisa selalu kembali terpikirkan secara sendirinya. Raisa menghela nafasnya. Iya segera ke dapur untuk memasak air. Biasanya Raisa selalu mandi air hangat, setelah pulang kerja. Selelah apapun, Raisa harus sempatkan mandi. Sebagai bagian dari tenanga medis. Raisa menomor satukan kesehatan dan kebersihan. Jadi selelah apapun tidak boleh malas mandi. Yah minimal membersihkan diri, sehari dua kali juga cukup. Usai mandi. Raisa langsung buka laptopnya. Rutinitas ini biasa Raisa lakukan sebelum tidur. Rasanya belum afdol saja, kalau belum buka laptop. Dear diary.. Aku seneng banget hari ini. Hari ini satu bulannya, aku kerja di apotek mama. Ini yang sku impikan. Meskioun dua minggu ini sangat melelahkan. Soalnya pasien-pasien semakin bertambah. Mereka mulai percaya akan kualitas apotek dan klinik. Aku jadi makin semangat. Aku tadi minta mama nambah karyawan. Semoga saja cepat dapat. Biar ga terlalu keteteran. Soalnya aku harus fokus sama kuliah aku. Aku ingin sekali jadi dokter seperti mama. Smoga aku bisa jadi dokter seperti cita-citaku. Mah.. Pah.. Meskipun aku ga tau siapa kalian dan kalian ada di mana. Yang penting aku akan selalu berdo'a. Di mana kalian berada.. Kalian selalu dapat lindungan dari Allah. Semoga kalian selalu bahagia dan sehat. Aku di sini engga marah ko sama kalian. Aku tau, pasti kalian punya alasan tersendiri. Kenapa kalian membuang aku saat itu. Aku paham. Tidak mudah untuk membesarkan seorang anak. Aku berterimakasih pada mama kandungku. Karena mama aku bisa terlahir ke dunia ini. Karena mama bisa memberikan aku kehidupan, sebagai seorang gadis yang kuat. Aku yakin, suatu saat kita pasti akan bertemu. Aamiin. Dan mama Rina.. Makasih atas kehidupan yang mama kasih buat aku. Mama begitu tulus sayang sama aku. Bakahkan menyamaratakan, kasih sayang mama. Antara aku dan Nadien. Aku sangat berterimakasih sekali. Karena mama telah memberikan kehidupan yang layak untuk aku. Untuk ukuran anak angkat seperti aku. Aku bahagia karena mempunyai mama seperti mama Rina. Aku janji akan berjuang dengan beasiswa ini. Aku engga akan merepotkan mama lagi. Aku akan jadi dokter yang profesional. Dengan berusaha sekuat tenaga. Agar aku bisa membuktikan pada semua orang. Aku bisa seperti mama Rina. Raisa menutup laptopnya. Rasanya plong sekali sudaj curhat pada laptopnya. Beban di hidupnya seakan terangkat. Meski sebetulnya tidak terangkat sepenuhnya. Ponsel Raisa bergetar. Tanda telepon masuk. Raisa melihat nama Mama Rina di layar ponselnya. Raisa langsung mengangkatnya. "Hallo Assalamu'alaikum, Ma. Ada apa?" "Wa'alaikumussalam. Kamu sudah tidur?" tanya dokter Rina. Kalau sudah tidur mana bisa Raisa jawab telepon. Hihihi. Ada-ada aja nih dokter Rina. "Belum mah. Ada apa? Mama butuh bantuan Raisa?" tanya Raisa. Perasaan baru tadi bertemu. Kenapa dokter Rina telepon? Pasti ada hal penting, yang membuatnya menelepon Raisa. "Besok kamu bisa temenin mama ke rumah sakit? Mama butuh asisten. Kebetulan di rumah sakit juga sedang kekurangan tenaga kerja. Gimana?" tanya dokter Rina. Raisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mah, bukannya Raisa engga mau. Tapi mama tau sendiri kan, kalau di apotek sama klinik lagi rame. Engga mungkin aku ninggalin Adit sendiri. Bisa kewalahan dia. Raisa bisa aja mah ikut mama. Tapi pasien di klinik sama apotek gimana?" Betul juga kata Raisa. Dokter Rina jadi bingung. Pada siapa lagi ia harus meminta bantuan. Tidak mungkin pada Nadien anaknya. Boro-boro jadi asisten. Kerjaannya cuma main dan hura-hura saja. Mana bisa jadi asisten kepala dokter. Bukannya terbantu, dokter Rina malah akan kewalahan di buat Nadien. "Ya udah deh. Kamu di apotek aja. Kasian Adit. Moga aja segera ada pelamar untuk jadi karyawan. Soalnya mama juga butuh asisten di rumah sakit. Kemarin baru aja ngundurin diri asisten mama. Tadinya cuma cuti melahirkan. Tapi sayangnya suaminya minta dia ngundurin diri. Jadi aja mama kewalahan,"keluh dokter Rina. "Ya mah, maaf yah. Semoga aja ada pelamar secepetnya. Biar ga keteteran terus," "Ya udah. Kamu tidur sana. Besok kan kamu harus kuliah. Belum harus kerja di apotek. Jaga kesehatan terus yah sayang," ucap dokter Rina perhatian. "Iya mah. Mama juga jaga kesehatan yah. Jangan terlalu cape. Jangan berantem terus sama Nadien," nasihat Raisa pada dokter Rina. "Oke. Assalamu'alaikum," dokter Rina mengakhiri percakapannya di telepon. "Wa'alaikumussalam," balas Raisa. ******** Keesokan harinya. Di Universitas Harapan Bangsa. Hari ini kampus terlihat sepi. Mungkin memang kegiatan belajar mengajar sudah di mulai. Raisa berlari sekuat tenaga. Hari ini Raisa benar-benar terlambat. Mungkin karena lelah. Jadi Raisa bangun kesiangan. Semoga kelasnya belum di mulai. "Raisa sini!" panggil Dianti temannya Raisa. Sepertinya Dianti punya nasib sama seperti Raisa. Mereka berdua terlambat. Kalau Dianti memang sudah sering terlambat. Kalau Raisa, memang sudah beberapa kali ini terlambat. Itu di karenakan. Raisa akhir-akhir ini harus lembur terus di apotek. Pulang dari apotek, Raisa selalu mengerjakan tugas kuliah sampai larut malam. Kadang juga sampai shubuh. Pantas saja bangunnya suka terlambat. Rasanya lelah sekali. Tapi Raisa harus bisa melewati itu semua. "Eh Dianti.. Gimana dosennya udah ada?" tanya Raisa panik. Bisa-bisa di hukum lagi mereka, karena datang terlambat. "Gue ga tau. Gue juga telat," ujar Dianti sambil ngos-ngosan. Karena mereka terlambat. Mereka harus menerima konsekuensinya. Mau tidak mau mereka harus mehadapinya. Dengan ragu, mereka berjalan menuju kelas. Dan benar saja di kelas sudaj ada dosen. Pasti kelasnya sudah di mulai. Sudah pasti mereka akan mendapatkan hukuman. Perlahan-lahan Raisa dan Dianti masuk ke dalam kelas pak Yudo. "Raisa! Dianti! Lagi-lagi kalian terlambat! Gimana mau jadi dokter, kalo kerjaan kalian terlambat trus. Bagaimana nanti, klao ada pasien sekarat. Terus kalian terlambat menanganinya. Bisa-bisa pasien itu keburu mati!" omel pak Yudo. Nyerocos seperti kreta. Tanpa titik dan koma. Memang iya sih ada benarnya perkataan pak Yudo. Seorang dokter memang harus disiplin sejak dini. Kalau di biasakan terlambat. Bisa gawat. Karena mereka bermain dengan nyawa. Terlambat sedikit saja. Mereka akan melakukan hal yang fatal, di dunia kerja nantinya. "Maaf, pak," sesal Raisa dan Dianti. "Kalian di hukum! Biar sehat. Lari sepuluh keliling di lapangan kampus. Terus kalian hormat pada bendera. Sampai mata kuliah saya selesai," pak Yudo memberikan utimatum keras pada Dianti dan Raisa. Lagi-lagi mereka harus di hukum. Pak Yudo memang selalu tegas. Dia adalah dosen sekaligus profesor dokter, di bidang bedah. Dari dulu pak Yudo memang di latih disiplin. Jadi pak Yudo menerapkan kedisiplinannya pada mahasiswanya. Agar terbiasa disiplin. Karena menjadi dokter itu tanggung jawabnya itu, sangat besar. "Tapi pak, saya mau ikut mata kuliah bapak. Boleh kan pak?" rayu Raisa. Sudah terlambat, masih saja merayu pak Yudo. Sudah tau pak Yudo itu anti rayuan. Raisa tetep saja kukeh merayunya. "Lain kali, harus datang tepat waktu. Kalau kamu mau ikut kelas saya. Sudah kalian jalankan hukuman kalian. Sekarang!" perinta pak Yudo. Di ikuti mata yang mengekor dari para mahasiswa, yang berada di dalam kelas. Mereka merasa miris dengan Raisa dan Dianti. Seakan mereka tawanan, yang akan di hukum mati hari ini. Dengan lemas Raisa dan Dianti menjalankan hukuman mereka. Sesuai dengan permintaan pak Yudo. Raisa dan Dianti berlari sepuluh keliling di lapangan. Setelah itu mereka menghormat bendera di bawah matahari terik. Mereka harus rela kulitnya, terbakar matahari. Karena hari ini, panasnya cukup menyengat dan sangat mencubit. "Dasar dosen kiler!" dumal Dianti sambil menghormat di depan bendera. "Ini salah kita lagi, Dian. Pak Yudo itu memang disiplin banget," uajr Raisa. "Tapi ga kaya gini juga keles," ucap Dianti keki. Entah sudah ke sekian kalinya Dianti di hukum. Tapi tetap saja ia negdumal ga jelas, udah jelas Dianti yang salah. "Udah hormat. Tuh liat pak Yudo ngeliatin kita dari atas," ucap Raisa. Tadi tangan Dianti sempat turun. Makannya Raisa mengingatkannya. Pak Yudo memang selalu memantau mahasiswinya yang di hukum. Pak Yudo harus memastikan, kalau mahasiswinya menjalankan hukumannya. Sesuai dengan perintahnya. Hukuman pun berlalu. Raisa dan Dianti kembali ke dalam kelas. Mereka mengikuti kelas berikutnya. Tentunya bukan kelasnya pak Yudo. Tak terasa kelas kedua selesai. Mereka sekarang sedang beristirahat di cafetaria kampus. Tempat favorit mereka di saat melepaskan penat. Terutama melepaskan rasa lapar. Karena cafetaria ini langsung berhadapan dengan taman. Jadi pas sekali di jadikan tempat nongkrong. Plus ada wi-finya pula. Pas banget kan buat mahasiswa yang sedang irit. Mereka bisa numpang wi-fi gratis sepuasnya. Hanya bermodalkan pesan air minum saja. Mereka langsung bisa tau paswood wi-fi, cafetaria kampus. "Rai, kenapa lo telat? Udah ampir dua minggu ini. Lo selalu terlambat," tanya Husna mulai mengintrogasi sahabatnya itu. "Biasalah, Na. Gue begadang ngerjain tugas. Semalem gue pulang dari apotek jam sebelas malem. Lanjut kerjain tugas sampe jam tiga. Herannya gue engga denger alarm bunyi. Ga tau guenya yang budeg. Apa guenya yang terlalu cape," cerita Raisa. "Lagian udah tau apotek sama klinik makin rame. Kenapa engga nambah karyawan. Elo juga kan yang repot," selohor Dewanti. "Iya, Rai. Sebaiknya lo minta sama nyokap lo. Buat nambah karyawan baru. Ya, gue kasiam aja liat lo kaya gini. Kalo telat terus kan bisa mempengaruhi absen lo juga. Lo tau sendiri kan pak Yudo kaya gimana," tambah Husna. "Kalo memurut gue sih, Rai. Mendingan lo fokus kuliah aja dulu. Kan repot, kalo kuliah sambil kerja. Apalagi lo ngambilnya, fakultas kedokteran. Yang tugasnya seabrek. Gue aja yang cuma kuliah aja. Keteteran ngerjain tuga. Apalagi elo yang sambil kuliah, kerja pula. Gue mah engga sanggup, Rai. Kasian sama diri lo," saran Dewanti. Raisa tau, mereka sangat perhatian pada dirinya. Terkadang, Raisa juga ingin hanya fokus pada kuliahnya saja. Tapi dia juga butuh uang tambahan, untuk kehidupannya sehari-hari. Raisa memang selalu mendapatkan jatah uang saku dari dokter Rina. Tapi Raisa tidak memakainya. Raisa selalu menabungnya. Kalaupun di pakai. Pasti untuk hal yang penting saja. Raisa tidak ingin terus menerus merepotkan dokter Rina. Raisa ingin benar-benar mandiri sepenuhnya. Makannya sampai kuliah pun, Raisa ikut ujian untuk mendapatkan beasiswa. Padahal dokter Rina juga mampu membiayai kuliah Raisa sampai selesai. Memang Raisanya saja yang selalu tidak enak pada dokter Rina. Jadi saja ia ikut beasiswa. Beruntungnya Raisa lolos ujian beasiswa. Akhirnya ia bisa kuliah, bebas biaya sampai semester akhir. Dengan syarat ipknya harus di atas sembilan rata-ratany. "Heh! Lo malah ngelamun sih! Rai! Raisa!" panggil Husna. Sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Raisa. Raisa tersadar dalam lamunannya. "Eh iya, hehe maaf temen-temen. Soal di apotek udah aku beresin kok. Kayanya hari ini mau ada pelamar buat kerja di apotek. Jadi gue engga akan keteteran lagi," Raisa menjeda kalimatnya. "Dan untuk berhenti dari apotek... Kayanya ga bisa. Gue udah nyaman banget. Sekalian gue belajar tentang obat-obatan di sana. Sayang ilmu farmasi, yang gue dapet dari sekolah. Kalo kebuang gitu aja. Anggap aja di apotek itu, kerja sambil belajar juga," "Ya ampun, Rai. Di dalam otak lo itu. Cuma belajar-belajar aja. Apa engga butek. Rai, gue tau lo mau jadi dokter. Tapi gue salut aja liat lo, ketar ketir. Kesana kemari demi mencapai cita-cita lo," cerocos Dewanti. Dia memang paling sangat terang-terangan, di antara sahabat-sahabat yang lainnya. Suka asal jeplak saja, tanpa di saring dulu. Kalau bicara. Tapi tenang saja. Sahabat yang lainnya tidak sakit hati kok. Mereka sudah tau watak Dewanti seperti apa. Jadi mereka memakluminya. "Hidup ini memang harus belajarkan?" Raisa tersenyum. "Kalo udah mati, mana bisa gue belajar. Hahaha," Raisa malah tertawa. Sahabat-sahabatnya hanya diam. Mungkin bercanda Raisa garing. Jadi tidak berhasil memancing tawa mereka. Raisa menghentikan tawannya seketika. Ia merasa malu. Karena lawakannya tidak berhasil memancing tawa sahabat-sahabatnya. "Ya, udah. Yang penting. Lo harus jaga kesehatan yah, Rai. Jangan sampe gara-gara. Lo kerja sambil kuliah. Lo malah drop dan sakit," ucap Husna perhatian. Dia memang paling perhatian. Husna juga paling dekat dengan Raisa. Husna lebih tau Raisa dari pada sahabat yang lainnya. Husna sudah bersahabat dengan Raisa dari mereka duduk, di sekolah menengah pertamanya. Jadi mereka sudaj saling mengenal satu sama lain. Orang pertama yang menjadi tempat curhat Raisa adalah Husna. Begitupun, sebaliknya. Bukannya Raisa tidak mempercayai sahabat yang lainnya. Tapi alangkah lebih baiknya, kalau Raisa hanya cerita pada satu orang saja. Raisa terlalu risih, kalau masalah pribadinya banyak orang yang tau. Meskipun itu sahabat Raisa.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

PEMBANTU RASA BOS

read
18.5K
bc

Wedding Organizer

read
48.0K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
305.8K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

Bridesmaid on Duty

read
164.2K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
77.4K
bc

Marriage Agreement

read
594.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook