Part 10 - Lahiran Normal
Perlahan Raisa membangunkan Riyan yang sedang tertidur. Jangan sampai Riyan terkejut. Saat Raisa memegang tangan Riyan untuk membangunkannya. Riyan udah melek duluan. Mata Riyan terbuka lebar.
"Eh udah tutup apoteknya?" tanya Riyan dengan mata merah. Pasti dia kelelahan. Matanya sampai merah seperti itu. Tangan Raisa masih memgang tangan Riyan. Respek Raisa langsung melepaskanya. Jangan sampai Riyan salah paham. Raisa memegang tangan Riyan, niatnya hanya untuk membangunkan Riyan. Eh malah Riyan keburu bangun, sebelum Raisa membangunkannya.
"Sorry," bukannya menjawab pertanyaan Riyan. Raisa maah bilang sorry. Hari ini salah mulu deh. Dari mulai kepergok ngintipin Ribka dan Adit pacaran di gudang. Sampai sekarang memegang tangan Riyan. Entah memang sial sekali sepertinya.
"Engga apa-apa kok. Tadi kamu mau bangunin aku yah? Ya udah yuk kita ke Caffe sekarang?" tanya Riyan. Tanpa memperpanjang adegan pegangan tangan sama Raisa tadi.
"A.. Ayo!" ajak Raisa sedikit gelagapan. Mungkin sedikit canggung gara-gara tadi. "Aku ajak temen-temen dulu yah," Raisa langsung berlari ke ruangan teman-temannya berada. Raisa benar-benar merasa bodoh hari ini. Jantungnya terus berdegup kencang. Entah kenapa yang jelas ia malu sekali. Riyan memang selalu membuat Raisa deg degan. Apakah itu cinta? Entahlah. Hanya Raisa yang tau, karena semua itu perlu waktu yang bisa menjawabnya.
"Rai, jadi kan kita nongkrong?" tanya Ririn, yang melihat Raisa baru saja masuk ke ruang loker karyawan.
"Oh iya jadi dong. Ayo!" ajak Raisa.
Mereka semua nampaknya sudah siap untuk pergi. Mereka bergegas keluar dari ruang loker. Di depan apotek, mereka melihat dokter Rina memapah seorang ibu-ibu muda yang sedang hamil. Sepertinya akan melahirkan.
"Raisa bantu mama. Ibu ini kayanya mau melahirkan. Kalo di bawa ke rumah sakit ke jauhan. Kita bantu persalinan di sini aja. Lagian di luar masih hujan juga. Kalian udah mau pulang yah? Bisa bantu saya sebentar tolong ibu ini?" pinta dokter Rina.
Raisa, Ribka, Ririn dan Adit tidak mungkin menolak membantu dokter Rina. Lagian kasian juga ibu-ibu itu. Kelihatannya ketubannya sudah pecah. Ibu itu terus saja meringis kesakitan. Apa bisa dokter Rina menangani persalinan? Dia kan bukan dokter kandungan. Raisa juga hanya mahasiswa kedokteran. Meski Raisa memang sudah beberapa kali membantu dokter kandungan di klinik. Untuk menjadi asistennya saat menangani persalinan.
"Oke tante saya ikut bantuin," Riyan langsung berinisiatif menggotong ibu hamil itu. Adit, Raisa, Ribka dan Ririn ikut membantu Riyan. Sepertinya acara nongkrok malam ini harus di tunda dulu. Mereka engga mungkin hanya membiarkan Raisa dan dokter Rina, membantu ibu hamil itu.
Ruang bersalin.
Ibu muda itu di baringkan di sebuah bankar. Untung saja mereka belum pulang. Kalau tidak, mungkin dokter Rina akan kerepotan. Dokter Rina meminta bantuan Raisa untuk menjadi asistennya. Sementara teman-teman yang lainnya. Diminta untuk menyiapakan alat dan obat-obatan, yang di perlukan selama proses persalinan berlangsung.
Sedanngkan Riyan menunggu di depan ruang bersalin. Ia sama tegangnya seperti Raisa, Adit, Ribka dan Ririn. Meskipun Riyan hanya membantu menggotong ibu itu. Riyan ingin tau kabar dari ibu itu. Semoga saja persalinanya berjalan dengan lancar. Riyan tidak mungkin pulang begitu saja, sebelum dia memastikan. Kalau ibu muda itu baik-baik saja.
Ribka, Adit dan Ririn sibuk di apotek. Menyiapkan semua peralatan dan obat-obatan yang di minta dokter Rina.
Sementara Raisa dan dokter Rina mempersiapkan untuk persalinan. Dokter Rina telah mendapatkan persetujuan dari ibu muda itu, untuk melahirkan di klinik dengan bantuan dokter Rina. Dokter Rina menjelaskan padanya, kalau ia bukan dokter kandungan. Tapi ibu muda itu bersi kukuh agar dokter Rina membantunya. Mau tidak mau, jiwa dokternya dokter Rina bangkit. Ia harus bertanggung jawab pada pasiennya. Setidaknya ia dan Raisa pernah menangani sebuah persalinan sebelumnya.
"Rai, siapkan air hangat, handuk, kapas dan gunting," perintah dokter Rina.
"Siap mah. Aku ke luar dulu mau ambil air hangat. Sekalian ke apotek minta handuk, kapas sama gunting ke anak-anak di apotek," ucap Raisa. Ia mulai tegang. Karena ada nyawa yang harus ia tolong. Raisa keluar ruang bersalin, untuk mngambil air hangat.
Riyan yang berada di luar ruang bersalin. Langsung bangkit saat melihat Raisa keluar ruangan. "Gimana Rai, persalinannya?" tanya Riyan penasaran.
"Belum, Ian. Aku sama mama lagi mempersiapakan semuanya dulu. Aku ambil air panas dulu ya. Karena hari ini dokter kandungannya engga datang. Jadi aku sma mama yang nanganin persalinannya. Kita juga udah dapet persetujuan dari pasiennya kok," jelas Raisa.
"Ya uduh. Semangat ya, Rai. Aku akan nunggu di sini sampai persalinannya selesai," ujar Riyan.
"Eh jangan, ini bakalan lama banget. Kamu pulang aja. Ini udah malem juga," cegah Raisa.
"Engga apa-apa. Kalo aku pulang. Yang ada, aku malah kepikiran tentang persalinan ibu muda itu. Lebih baik aku tunggu sampai selesai," ucap Riyan. Benar juga. Kalau Riyan pulang dia pasti penasaran dan kepikiran.
"Rai, ini air hangat, handuk, kapas sama guntingnya. Ini juga obat-obatan yang di minta dokter Rina tadi," ucap Ribka. Ia memberikan peralatan dan obat-obatan yang di perlukan di ruang bersalin. Tadinya Raisa yang mau mengambil air hangat dan mampir ke apotek. Untuk mempersiapkan semuanya. Ternyata malah teman-temannya yang sudah menyiapkan semuanya.
"Oke makasih yah, aku kedalam lagi," setelah menerima semua barang yang di berikan Ribka. Raisa kembali masuk ke ruang bersalin.
"Kamu belum pulang, Riyan?" tanya Adit.
"Belum, aku masih penasaran sama persalinannya. Kalian juga belum pulang?" tanya Riyan.
Kompak Adit, Ribka dan Ririn menggeleng. "Kita juga penasaran sama hasil persalinanya. Meskipun kita cuma bisa bantu dikit. Tapi kita harus bertanggung jawab sampai akhir. Belum lega rasanya, kalo belum liat hasilnya," ucap Adit.
"Lebih baik kamu pulang aja. Kita aja yang jaga di sini. Kasian kamu kemalaman," usul Ririn. Ririn kasian dari tadi Riyan harus nunggu di apotek. Sekarang harus nunggu lagi? Nunggu persalinan itu membutuhkan waktu yang lama. Tidak sebentar. Pasti Riyan akan pulang larut malam. Kalau mereka sih sebagai karyawan sudah biasa lembur.
"Engga apa-apa kok. Lagian rumah aku juga deket kok. Di komplek merpati putih. Aku engga tenang, kalo aku pulang. Jadi aku akan ikut kalian nungguin hasil persalinannya.
Di ruangan bersalin
Dokter Rina memasang infus pada ibu muda itu. "Ayo tarik nafas," perintah dokter Rina pada ibu muda itu.
"Aaaaaahhhh sakit dokter tolong sakit," ibu muda itu mengerang kesakitan. Darah sudah berkeluaran dari jalan rahim ibu itu.
"Tenang ya, kami lagi bantu persalinan kamu. Raisa, tolong ambilkan obat perangsang," pinta dokter Rina pada Raisa.
"Ini mah," Raisa memberikan suntikan yang berisikan obat rangsangan yang di minta dokter Rina.
"Ketuban kamu pecah. Tapi belum ada pembukaan. Jadi saya kasih rangsanganya. Kamu harus tetap tenang. Ayo tarik nafas," dokter Rina menjelaskan apa yang baru saja terjadi kepada pasien.
Ibu muda itu menarik nafas panjang. "Sakit dokter sakit!!" teriak ibu muda itu. Wajar saja, ini mungkin pertama kalinya ibu itu akan melahirkan. Jadi belum ada pengalaman. Ibu muda itu mungkin usianya kisaran dua puluh tahunan. Berarti tiga tahun di atas Raisa. Hebat usia muda seperti itu sudah mau menjadi seorang ibu.
"Ayo mba, tarik nafas," Raisa ikut memberikan instruksi pada ibu muda itu.
"Ayo! Keluarkan bayinya perlahan-lahan. Biar saya bantu untuk menariknya keluar. Alhamdulillah, kepalanya sudah muncul. Ayo sedikit lagi!" tidak henti-hentinya dokter Rina membemberikan instruksi pada ibu muda itu.
"Aaaaaaaaaaahhhhhgggg," ibu muda itu mengejan sekuat tenanga. Dan..
Terdengar suara kencang tagisan bayi mungil. Tangisannya melengking keras hingga terdengar keluar ruangan. Riyan, Adit, Ribka dan Ririn. Senang mendengarkan suara tangis bayi. Itu artinya persalinan sudah selesai.
"Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan.
Jantung Riyan mulai berdegup tak menentu. Keringat dingin juga sudah mulai membanjiri keningnya. Tapi Riyan mencoba kuat. Iya tidak mau mereka tau soal penyakitnya. Riyan mencoba berusaha menstabilkan detak jantungnya. Riyan duduk, sesekali ia mengusap-ngusap dadanya. Jangan sampai ia kambuh.
Akhirnya persalinannya berjalan lancar. Tanpa harus menunggu lama. Memang tadi setelah di kasih obat perangsang. Pembukaanya sangat cepat. Dari mulai pembukaan dua sampai langsung melahirkan.
"Selamat, ya. Bayinya perempuan," ucap dokter Rina pada ibu muda itu."Rai, tolong bersihkan bayinya," perintah dokter Rina sambil membersihan rahim ibu muda itu. Takutnya masih ada sisa ari-ari yang masih menempel di dinding rahimnya.
"Iya mah, siap. Tapi nanti yang potong tali pusarnya mama ya," ujar Raisa.
"Kamu dong sayang yang potong. Kemaren-kemaren kamu pernah ajarin kan sama dokter Siska? Mama mau bersihkan ibunya. Sekalian mau jahit robekan di vaginanya," jelas dokter Rina.
"Oke mah," sahut Raisa. Tadinya Raisa sempat ragu, untuk memotong tali pusar bayi itu. Tapi ia harus berani. Nanti mungkin, kalau sudah jadi dokter. Akan ada hal yang lebih menantang. Di bandingkan harus memotong tali pusar bayi. Kalau hal ini saja Raisa tidak bisa ia lakukan. Gimana nanti?
Raisa mulai membersihkan bayi itu. Setelah cukup bersih. Raisa memasang penjepit yabg biasa di gunakan. Untuk menejepit tali pusar bayi. Ia memberkkan jarak kurang lebih, lima senti dari perut bayi.
"Bismillah," ucap Riasa saat memotong tali pusar bayi itu. Raisa selesai membersihkan bayi itu. Ia mulai mengenakan baju pada bayi itu. Untung saja di ruangan bersalin ada baju bayi. Mungkin baju bayi yang tertinggal oleh pasien lain. Saat melahirkan di sini. Engga apa-apa. Baju itu bermanfaat di pakai, saat situasi seperti ini. Tidak mungkin Raisa membiarkan bayi itu tanpa baju. Bayi itu akan kedinginan. Tidak mungkin juga Raisa meminta baju bayi, pada ibu muda itu. Kejadiannya saja mendadak. Mana mungkin ibu muda itu membawa bekal baju bayi.
"Ini mah," Raisa memberikan bayi itu pada dokter Rina.
Dokter Rina mengendong bayi itu. "Ini bayinya mba, kasih asi dulu bayi kamu. Oh iya, sampai lupa. Nama mbak siapa?" saking tegangnya dokter Rina sampai lupa menanyakan nama pasien itu.
"Aku Nikmah dokter. Makasih ya, sudah mau bantu saya. Kalo tadi saya di bawa ke rumah sakit. Mungkin ceritanya akan lain. Saya mungkin harus operasi caesar," ternyata ibu muda itu bernama Nikmah. Ia sangat berterimakasih pada dokter Rina dan Raisa.
"Kenapa harus caesar mbak? Bukaanya bagus ko. Engga sampai harus di caesar," terang dokter Rina.
"Teman saya kemarin pecah ketuban juga. Dia di bawa ke rumah sakit. Eh langsung di suruh caesar. Makannya tadi pas dokter bilang, ketuban saya pecah. Saya engga mau di bawa ke rumah sakit. Saya memilih melahirkan di klinik ini. Soalnya saya takut di caesar," ucap Nikmah sambil menyusui bayinya.
"Mbak, mbak ada-ada aja. Kalaupun di bawa ke rumah sakit. Ya pasti di observsi dulu. Engga langsung ambil tindakan caesar. Kalau memang tidak ada indikasi yang membahayakan bayi dan ibunya. Tidak semua kasus pecah ketuban harus di caesar, mbak. Selagi masih bisa melahirkan normal. Kami akan usahakan pasien untuk lahiran normal," jelas dokter Rina. Ia harus mengubah persepsi mbak Nikmah yang salah.
Nikmah tersenyum malu. "Iya dokter maaf. Maklum anak pertama. Aku engga mau aja, kalau sampai di Caesar. Saya takut. Lahiran normal aja saya takut. Apa lagi caesar. Oh iya, anak ini akan saya kasih nama Arina Andara. Boleh kan?"
"Loh itukan.."
"Nama dokter Rina sama nama panjangnya Raisa. Saya sengaja pakai nama Arina. Karena ada nama Rinanya. Nama dokter Rina. Dan Andara nama panjangnya Raisa. Engga apa-apa kan, dokter Rina sama Raisa. Saya pake nama kalian berdua? Anggap saja sebagai kenang-kenangan buat anak saya. Kalau kalianlah yang membantu persalinan ibunya," Nikmah masih menunggu jawaban dari Raisa dan dokter Rina
"Engga apa-apa sih. Silahkan saja, kalau saya. Kalau Raisa gimana?" dokter Rina malah bertanya pada Raisa.
"Iya mbak silahkan. Suatu kehormatan, nama saya ada dalam nama anaknya mbak. Oh iya, mah. Mbak Nikmah ini selama hamil, suka beli suplemen di sini. Tadi terakhir mbak Nikmah beli obat. Ga taunya malah sekarng lahiran," jelas Raisa. Kenapa juga dia baru sadar sekarang.
"Iya, mbak Raisa. Saya juga engga menyangka bisa lahiran secepat ini. Di bantu sama dokter Rina dan mbak Raisa pula. Saya sangat terimaksih sekali lagi," Nikmah terus mengucapkan rasa terimakasihnya. Pada dokter Rina dan Raisa.
"Iya mbak, saya juga senang bisa membantu mbak. Sehat terus yah bayi dan ibunya," ujar Raisa.
"Liat deh lucu banget bayinya," ucap dokter Rina.
"Oh iya mah. Aku kayanya harus keluar dulu. Mau mengabarkan dulu sama anak-anak. Kalau persalinannya berjalan dengan lancar. Kasian kayanya mereka nunggu dari tadi," pamit Risa.
"Ya udah sana. Biar mama aja yang jaga mbak Nikmah. Kasian kamu udah seharian juga jaga apotek. Kamu kan besok harus kuliah. Dokter UGD juga udah pulang kayanya. Kasian, kalau mbak Nikmah harus pulang sekarang. Kesehatannya pasca melahirkan harus tetap di pantau," dokter Rina memang sangat bertanggung jawab. Ia harus merawat pasiennya sampai benar-benar pulih. Padahal Raisa tau, dokter Rina pasti lelah.
Pekerjaan dokter memang cukup berat. Dokter di tuntut untuk siap siaga melayani pasiennya. Dan itu tidak mengenal waktu. Jadi kadang seorang dokter itu. Waktu istirahatnya sangat sedikit. Karena waktunya, banyak ia habiskan untuk menolong pasien. Ia selalu mengkesampingkan rasa lelahnya. Demi menolong pasien.
"Bener nih mah engga apa-apa. Kalau aku harus pulang? Soalnya aku harus ngerjain tugas," Raisa jadi engga enak sama dokter Rina. Tapi mau bagaimana lagi. Tugas kuliahnya harus segera ia kerjakan di rumah.
"Udah engga apa-apa. Sekalian suruh teman-teman kamu pulang juga. Mama bisa sendiri kok. Buat jaga mbak Nikmah sama bayinya.
"Ya udah. Kalo gitu, aku keluar dulu ya," Raisa keluar dari ruangan bersalin. Ia melirik ponselnya, ternyata waktu menujukan pukul satu malam. Sudah larut malam sekali.
Raisa melihat ternyata teman-temannya sudah tertidur tidak beraturan. Mereka menunggu di luar ruangan sampai pada ketiduran. Mereka memang paling setia pada pekerjaannya. Belum lagi Riyan, yang bela-belain nunggu persalinan. Padahal engga ada kewajiban bagi Riyan untuk tetap di sini.
Adit, Ribka dan Ririn tertidur di lantai. Dengan menggunakan tas, sebagai bantalnya. Sementara Riyan tidur sambil terduduk. Mereka pasti kelelahan. Raisa bangga mempunyai teman-teman yang bertanggung jawab seperti mereka. Susah sekali mendapatkan teman seperti mereka. Yang setia menemai dan bertanggung jawab. Harus apa Raisa sekarang? Membangunkan temannya? Rasanya tidak tega. Tapi tega tidak tega. Raisa harus tetap membangunkan teman-temannya. Raisa harus menyuruh mereka pulang agar cepat istirahat di rumahnya masing-masing.