Asma sekarang bingung, apa yang harus dilakukannya di dalam kamar sendirian. Akhirnya ia memutuskan ke luar dari kamar, dan menuruni anak tangga.
"Acil Asma!" baru saja ia sampai di dasar tangga, empat orang bocah mendekatinya.
"Kita belum kelanan tadi," ujarnya dengan senyum manis di bibirnya.
"Kelanan?" Empat bocah itu saling pandang, tidak mengerti apa itu kelanan.
"Kenalan, maksud Acil Asma," Revano yang menjelaskan ucapan Asma. Ia sudah berdiri di dekat Asma.
"Ooh, aku Vika, usiaku tujuh tahun, anaknya Bunda Vina, dan Ayah Erico, ini Bang Viko, dia Abangku, kami kembar. Yang ini Vizha, usianya enam tahun, dan adiknya Virza, usianya empat tahun. Mereka anaknya Tante Vani, dan Om Zayn," Vika memperkenalkan semuanya.
"Ooh.... "
"Lili, jadi kita pergi?"
"Kenama, eeh, kemana?" Asma mendongakkan wajahnya.
"Kok Lili, bukannya nama Acil, Asma?" tanya Vizha.
"Psstt, itu panggilan kesayangan pasti, iyakan Paman, Acil?" tanya Vika.
"Anak kecil sok tahu!" sergah Revano.
"Berarti benar tuh, mau ke mana, kita ikut dong!" Viko menatap wajah pamannya.
"Anak kecil tidak boleh ikut!"
"Memangnya kita mau ke mana?" Asma juga menatap wajah Revano.
"Beli pakaian buat kamu," bisik Revano agar tidak terdengar keponakan-keponakannya yang super kepo.
"Ooh.... "
"Apa sih Cil, Paman bisik-bisik apa?" Vika tampak sangat penasaran.
"Aduh ini anak. Vina, Vani, anak-anak kalian nih!" seru Revano memanggil adik-adiknya.
"Akhhh Paman tukang ngadu. Nanti kalau putus sama Acil pasti ngadu sama nenek."
"Eeh kalian ini.... " Revano mengusap wajah, karena kesal dengan keponakannya.
"Vika, ini anak suka sekali menggoda Pamannya, maafkan ya Asma," Renata mendekati mereka, diikuti Vani, tanpa Vina.
"Bukan Asma, Nek. Tapi, Lili ... bunga Lili yang sangat cantik."
"Ya Allah, ini anak kenapa ceriwis sekali sih!" Renata melotot ke arah cucunya.
"Ya ceriwis, Bu. Emaknya ceriwis! Ayo masuk semua!" seru Vani sambil menarik lengan kedua anaknya.
"Vika, Viko masuk juga sana. Maaf ya Asma," Renata mengusap lembut lengan Asma.
"Tidak apa-apa, Bu."
"Kalian ingin ke mana?"
"Ke luar sebentar, Bu. Kami pamit ya," Revano mencium punggung tangan ibunya, diikuti oleh Asma.
"Kami pergi dulu, Bu. Assalamuallaikum."
"Walaikum salam, hati-hati ya."
Asma mengikuti langkah Revano. Kali ini, Revano menyetir mobilnya sendiri.
"Beli pakaian di pasar mana?"
"Di toko pakaian," Revano menolehkan kepalanya.
"Iya, tokonya di pasar mana?"
"Tidak harus ke pasar, Lili! Kamu pernah beli pakaian tidak sih?"
"Ya pernahlah, Om Buto Ijo. Aku sama Amma kalau beli pakaian itu ke pasar. Pasar Ulin Raya, atau pasar Martapura!"
"Orang kaya beli pakaian kok di pasar," gumam Revano.
"Memangnya kenapa? Dosa ya kalau orang kaya beli pakaian di pasar? Aku belum pernah mendengar tuh Pak Ustadz bil.... "
"Ya, ya. Pakaian di pasar itu pasti tidak ada yang bermerk'kan?"
"Yang dipakai itu pakaiannya, bukan remeknya! Aneh, mana bisa remek yang digantung di leher itu dipakai, yang ada itu harus dibuang. Dasar Buto ijo!"
"Merk Lili, merk!"
"Iya tahu, itu! Yang digantung di leher pakaian itukan?"
"Ya Allah, itu label, bukan merek! Kamu itu hidup di jaman apa, tinggal di mana, bergaul tidak sih!?" Revano mulai kesal.
"Apa aku terlihat seperti orang pubra?" mata besar Asma mendelik gusar pada Revano.
"Purba!"
"Seterahku, mulut-mulutku!" Asma menyandarkan punggungnya, tatapannya lurus ke depan. Ia tampak mulai kesal juga.
Revano sendiri menarik napas dalam, lalu ia hembuskan perlahan.
Mereka diam, sampai Revano memarkir mobilnya di halaman sebuah toko pakaian.
"Ayo," Revano ke luar dari dalam mobil, Asma juga ke luar. Ditatap toko besar di hadapannya, yang memajang berbagai pakaian dengan menakin yang tersusun di dekat jendela kaca.
"Ayo," Revano meraih jemari Asma. Asma ikut saja. Mereka masuk setelah dibukakan pintu oleh pegawai toko.
"Pilih yang mana kamu mau." Revano berbisik di telinga Asma.
Asma memegang selembar celana jeans, dilihat harga yang tertera di label celana. Matanya melebar.
"Om!"
"Apa?" Revano yang juga melihat-lihat celana jeans mendekat.
"Ini mahal sekali. Kalau di pasar, uang sebanyak ini bisa dapat sepuluh celana. Kita ke pasar saja."
"Tidak Lili, kita beli pakaianmu di sini!"
"Aku tidak ingin punya banyak hutang sama Om. Aku belum kerja, nanti bagaimana aku membayarnya? Belum lagi nanti aku harus ngutang tiket pesawat pulang sama Om."
"Hutangmu lunas, kalau kamu jadi istriku."
"Haah apa?"
"Apa, aku tadi bilang apa?" Bukan hanya Asma yang terkejut mendengar ucapan Revano. Revano juga terkejut dengan ucapannya sendiri.
"Om yang bicara, kenapa tanya ke aku. Ini jadinya bagaimana, kalau aku tiga hari di sini, aku perlu sembilan stel pakaian, termasuk buat tidur. Sembilan stel pakaian dalam. Kalau beli celana saja sehagra ini, total hutangku jadi berapa, Om?"
"Harga Lili, harga!"
"Iya, aku juga tahu, hagra!"
"Hehhh.... "
"Aduuh, tabunganku cukup tidak ya buat bayar hutangku." Asma menatap celana jeans di tangannya dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah jangan dipikirkan, ambil saja yang kamu perlukan. Masalah hutang, nanti kamu bisa bayar kapan-kapan."
"Kapan-kapan itu kapan, Om?"
"Ya Allah, ya kalau kamu sudah punya duit, Lili!"
"Ooh, tapi sayang loh Om, duit sebanyak itu buat beli pakaian. Hmmm, duit sebanyak itu, sangat berarti bagi yang kekurangan. Kalau aku sama Amma, sering beli kaos oblong cuma harga 25.000, celananya paling mahal 200.000. Baju tidur, satu stel cuma 50.000. Yang penting, nyaman, dan sopan," cerocos Asma sambil memilih celana yang ada di hadapannya.
"Orang tuamu pelit ya? Atau ingin hartanya di bawa mati"
"Iya, memang begitu."
"Haah, orang tuamu ingin dikubur bersama hartanya kalau meninggal?"
"Heeh, serambangan, eeh sembarangan. Keluargaku itu, lebih suka membelanjakan uangnya untuk beramal, dari pada digunakan untuk hal yang tidak penting. Seperti ini, nih. Beli pakaian mahal-mahal, buat apa. Tidak pentingkan? Kalau nyangkut dipaku ya sobek juga. Kalau pas nyetrika lupa ya gosong juga. Kalau.... "
"Ya, ya, ya, cepatlah pilih yang mana kamu mau. Setelah itu kita cari makan, aku lapar!"
"Aku juga lapar, kita makan dulu yuk Om, nanti baru kembali lagi ke sini."
"Tidak Lili, selesaikan belanjamu, baru kita makan, paham!" Revano meninggalkan Asma, ia melihat-lihat kemeja.
"Huuh, dasar Buto Ijo, kalau aku pingsan karena kelaparan, memang dia bisa angkat aku? Eeh, pasti bisa, dia'kan raksasa" Asma menutupi mulutnya yang terkikik geli sendiri.
BERSAMBUNG