PART. 1
Revano menoleh ke samping, kepada gadis yang duduk di sebelahnya. Gadis itu tidak berhenti terisak sejak tadi. Revano memperkirakan gadis disebelahnya ini seorang yang baru beranjak remaja.
Lama-lama, Revano merasa terganggu dengan suara isak gadis itu. Apa lagi saat ia membuang ingusnya di tissue, sungguh mengganggu.
"Bisa diam tidak?" desisnya sambil menatap gadis di sebelahnya.
Gadis itu menolehkan kepala, ditatap wajah Revano yang tengah menatapnya.
"Orang lagi menangis, bagaimana bisa diam!" gadis itu menatap sengit pada Revano.
"Ya berhenti menangisnya," desis Revano menekan suaranya, agar tidak terdengar penumpang lain.
"Bagaimana bisa berhenti menangis, aku lagi pahat hati, tahu nggak, Om!"
"Pahat hati? Patah hati?"
"Nah itu!"
"Kecil-kecil sudah patah hati," gumam Revano terdengar sinis.
"Aku sudah sembilan belas!"
"Sembilan belas, yakin? Aku rasa usiamu baru tiga belas tahun."
"Aku sudah lulus SMA, tahu!"
"Oh ya? Sekarang kamu ingin ke mana?"
"Ini pewasat mau ke mana?"
"Pesawat!"
"Nah itu!"
"Ke Jakarta," sahut Vano.
"Nah itu Om tahu, kenapa tanya?"
Revano tidak bersuara lagi, gadis yang ia tidak tahu namanya itu kembali sesunggukan.
"Pelankan suaramu."
"Om belum pernah pah ... patah hati, jadi belum tahu rasanya."
Revano menarik dalam napasnya.
"Memangnya, kamu patah hati kenapa? Pacarmu selingkuh ya?"
"Tidak," kepala mungil itu menggeleng.
"Lalu?" Revano mengernyitkan keningnya.
"Dia nikah lusa!"
"Berarti dia selingkuh."
"Aku bilang tidak, Om Buto Ijo jangan ngomong sembarangan tentang Abangku!"
"Apa? Buto Ijo?" mata Revano melotot ke arah gadis di sampingnya.
"Hmmm, Om sadar tidak, badan Om itu besar sekali, seperti raksasa. Lihat, bahkan jempolku masih jauh lebih kecil dari jari kelingking Om."
Gadis itu mendekatkan jempolnya ke kelingking Revano.
"Bukan aku yang besar, tapi kamu yang seperti liliput!" desis Revano gusar.
Sungguh, baru pertama kali ini, ia bertemu seorang gadis, yang bisa membuatnya banyak bicara.
"Iya, aku lipilut, Om Buto Ijo yang jadi raksasanya." Gadis itu menyeringai, mengejek Revano.
"Liliput, bukan lipilut!"
"Nah itu."
"Lanjutkan ceritamu tadi, kenapa kamu menangis?"
"Senapsaran ya, Om?"
"Penasaran!"
"Nah itu! Jadi, Abangku itu namanya, Wira, dia anaknya Acil Wirda. Dari kecil, aku suka sama dia, tapi dia nikah sama Kak Helma. Aku patah hati."
"Jadi dia bukan pacarmu?"
"Bukan, tapi aku suka dia. Aku mau dia jadi jodohku, tapi.... " gadis itu terisak lagi.
"Terus, ini kamu ke Jakarta ingin ke tempat siapa?" Revano mencoba terus mengajak bicara gadis itu, agar gadis itu tidak menangis terus.
"Pamanku, adiknya Amma."
"Amma?"
"Ibuku!"
"Ooh, kamu kabur dari rumah?"
"Heum."
"Orang tuamu pasti cemas mencarimu."
"Mereka akan tahu kalau aku di tempat Pamanku."
"Apa kamu tidak akan pulang lagi?"
"Aku ingin kuliah di Jakarta saja, aku ingin mencari jodoh orang Jakarta. Kalau bisa, aku ingin membawa pulang calon suami. Biar Bang Wira tahu, aku juga bisa dapat pasangan."
Revano ingin sekali tertawa, mendengar nada manja, dan kekanakan dari gadis di sebelahnya.
"Kenapa kamu tidak mengatakan perasaanmu pada si Wira itu?"
"Kata Abba, dan Amma, tidak boleh pacaran. Aku pikir, kisah cintaku akan seperti kisah cinta Abba, dan Amma. Ternyata aku salah.... " gadis itu mulai terisak lagi.
"Jadi, tujuanmu kabur ke Jakarta, ingin kuliah, apa ingin mencari suami?"
"Dua-duanya."
"Kamu masih terlalu muda untuk menikah."
"Dari tadi, Om nanya terus, Om ini watrawan ya?"
"Wartawan!"
"Nah itu!"
"Tidak, aku pengusaha."
"Ooh, Abbaku petani."
"Abba?"
"Ayahku"
"Petani?" Revano menatap gadis di sebelahnya dengan lekat. Wajah Timur Tengah gadis ini sangat kentara terlihat. Wajah mungilnya, dihiasi alis hitam nan tebal. Matanya lebar, dengan bulu mata lentik. Hidungnya mancung, khas Timur Tengah. Kulitnya putih bersih.
"Kenapa Om menatapku seperti itu?"
"Benar kamu anak petani?"
"Kenapa? Jangan menghina profporsi petani ya!" mata indah itu mendelik gusar.
"Profesi," Revano meralat ucapan gadis itu.
"Nah itu!"
"Kamu keturunan Timur Tengah?"
"Hmmm, neneknya, nenekku orang sana."
"Ooh."
Mereka kembali terdiam. Cukup lama mereka terdiam, Revano tidak lagi mendengar isakan si gadis. Revano merasakan ada yang membebani lengannya, ia melirik gadis itu, si gadis tampak memejamkan matanya. Kepala mungil si gadis jatuh di atas lengan Revano.
Revano menarik napas, gadis ini mungil persis ibu, dan kedua adiknya. Tapi yang unik, gadis ini sering kali salah melapalkan kata-kata. Revano mendorong kepala mungil itu agar menjauhi lengannya. Ia takut gadis itu ngiler, dan mengotori jaket yang ia pakai. Tapi, kepala mungil itu selalu kembali jatuh ke lengannya.
Tanpa sadar, Revano jadi memperhatikan wajah mungil si gadis. Ia harus mengakui, kalau gadis yang bersamanya sangat cantik, meski terlihat masih seperti anak-anak.
'Hmmm, dia mencari suami, aku juga harus segera membawa seorang wanita ke hadapan ayah, dan ibu, sebagai calon istri, apa ... hey Vano, apa yang ada di otakmu. Masa iya, kamu berpikir untuk memperistri gadis yang baru kamu temui hari ini, jangan gila!'
Revano menghembuskan napasnya. Ia enggan menerima perjodohan yang diajukan kedua orang tuanya. Tapi, ia juga enggan mencari calon istri untuknya. Dilirik lagi, gadis di sebelahnya, yang masih nyaman tertidur dengan bersandar pada lengannya.
Perlahan, ia kembali mencoba memindahkan kepala si gadis agar menjauh dari lengannya. Tapi, tetap saja, kepala itu kembali bersandar ke lengannya. Bahkan, kini si gadis yang ia belum tahu namanya itu memeluk lengannya.
BERSAMBUNG