PART. 7
"Iih, sana Om, aku mau tidur!" Asma mendorong tubuh Revano, Revano yang sedang goyah, terdorong mundur. Pintu ditutup Asma dengan suara keras, tepat di depan hidungnya.
Revano masih berdiri di tempatnya, menatap daun pintu di hadapannya.
"Ada apa? Kalian bertengkar?"
Revano menolehkan kepala, ibunya sudah berdiri di dekatnya.
"Biasa Bu, masih ABG jadi masih suka ngambek," Revano tersenyum pada Renata.
"Kalau kamu benar-benar cinta, kamu harus sabar. Hubungan itu hanya punya dua pilihan, Vano. Pertahankan, atau lepaskan. Hatimu harus yakin, mana yang kamu pilih. Dan, harus siap menanggung resiko dari pilihanmu."
"Iya, Bu."
"Jika kamu sudah merasa yakin dengan Asma, beritahu ibu, biar kami bisa segera meminang Asma pada orang tuanya. Jika kamu tidak yakin, segera lepaskan, jangan tanam harapan di hatinya terlalu lama, dan terlalu dalam."
"Iya, Bu."
"Segera tentukan pilihanmu, jangan berpikir terlalu lama. Ibu akan menerima apapun keputusanmu. Ibu tidak akan ikut campur, karena ini hidupmu."
"Terima kasih, Bu."
***
Asma sudah mandi, ia berniat turun ke lantai bawah untuk sholat Ashar di musholla.
Langkahnya terhenti di dasar tangga, saat melihat dua orang pria tinggi besar masuk dari arah ruang tamu.
Kedua pria beda usia itu menghentikan langkah mereka, tatapan mereka pada Asma. Asma mundur untuk menaiki anak tangga, tapi tubuhnya membentur sesuatu. Asma mendongakan kepalanya.
"Om.... "
Revano yang berdiri di belakangnya tersenyum.
"Jangan takut, ini Ayah, dan adikku. Ayah, kenalkan ini Li ... ehmm, Asma. Asma ini Ayahku. Dan yang ini, Vino, adikku. Dia suami Husna." Revano memperkenalkan Asma pada ayah, dan adiknya. Lalu ia mencium punggung tangan ayahnya, dan adiknya mencium punggung tangannya.
Reno nengulurkan tangannya pada Asma. Asma menyambut uluran tangan Reno, dicium punggung tangan ayah Revano. Ia juga mencium punggung tangan Vino.
"Ibunya Vano tadi sudah bercerita di telpon, kalau ada kamu di rumah. Semoga betah di sini ya, Ayah mau mandi dulu." Reno mengusap lembut kepala Asma. Asma menganggukan kepala. Reno melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga.
"Aku mau cari Husna dulu," pamit Vino pada mereka.
"Kalian kok bisa seperti raksasa semua, Om. Kai, dan Abbaku itu sudah termasuk paling tinggi, dan besar di kampungku, tapi kalian lebih besar, dan tinggi dari mereka."
"Kakekku juga tinggi besar, sudah turun temurun begitu. Ini kamu mau ke mana?" Reno menatap Asma yang memakai baju baru.
"Aku belum sholat Ashar, aku ingin sholat dulu."
"Ooh, aku sudah. Cepat sana sholat, setelah itu kita jalan-jalan."
"Jalan-jalan ke mana?"
"Ke mall mau?"
"Mau, nonton film ya, Om. Boleh ya?"
"Film apa?"
"Film India, seterah judulnya apa."
"India?"
"Iya, boleh ya?"
Revano menghembuskan napasnya, ia pikir film India hanya digemari orang dewasa saja, ternyata gadis mungil di depannya ini penggemar film India.
"Tidak ingin nonton film Avengers Endgame?"
"Apa tuh? Aku maunya film India saja!"
"Ya, ya, sekarang kamu sholat dulu!"
"Ya, terima kasih, Om!"
Revano menatap Asma yang beranjak menuju musholla. Ia bingung dengan dirinya sendiri, kenapa bisa begitu cepat akrab dengan seorang gadis. Biasanya ia selalu menjaga jarak, karena di hatinya masih menjadi milik seseorang, yang sebenarnya tak pantas lagi ia harapkan.
***
Di Kalimantan.
Soleh, dan Cantika baru pulang dari rumah Wirda, mereka di sana membantu persiapan untuk acara perkawinan Wira. Saat pagi sampai siang, Wira bekerja di peternakan milik Raka, yang sekarang dikelola Soleh. Bila sore hari, Wira mengajar di TPA yang ada di kampung mereka.
Soleh memarkir motornya di teras rumah. Cantika turun dari atas boncengannya. Acil Ijah, asisten rumah tangga mereka yang membukakan pintu.
"Assalamuallaikum."
"Walaikum salam."
"Asma mana, Cil?"
"Tulak matan baisukan tadi, pas buhan ikam tulak, kada sawat lawas tulak jua, wadah kawalnya jar (pergi dari pagi tadi, saat kalian pergi, tak berapa lama dia pergi juga, ke tempat teman, katanya)"
"Naik apa, Cil?"
"Bagujik aku tih malihat (naik gojek tadi aku lihat)"
"Coba telpon, Bie!"
Soleh mengambil ponsel dari saku kemejanya. Ia duduk di sofa, diikuti istrinya.
Suara telpon terdengar dari arah kamar Asma. Suami istri itu saling tatap, lalu sama-sama beranjak ke kamar putri mereka.
Ponsel Asma ada di atas tempat tidur.
"Ponselnya ketinggalan.... " Cantika meraih ponsel putrinya.
"Coba telpon temannya, Sayang."
"Temannya yang nama, eeh mana, Bie?"
Soleh ke luar dari dalam kamar Asma sambil memanggil si Acil.
"Cil!"
"Pun, nangapa?" (ya, ada apa?)
"Asma tadi tulak bepadah wadah kawalnya nang mana, Cil?" (Asma tadi pergi, katanya ke tempat temannya yang mana?)
"Ham, aku ti kada ingat batakun, inya aku rahatan betatapas" (Nah, aku lupa bertanya, karena aku pas lagi mencuci pakaian).
"Ya sudah Cil," Soleh menghembuskan napasnya.
"Bagaimana, Bie?" mata Cantika mulai berkaca-kaca, ia cemas akan putri bungsunya.
"Telpon saja semua temannya yang nomernya ada di situ, Sayang." Soleh mengusap lembut punggung istrinya.
Cantika duduk di sofa ruang tengah, Soleh duduk di sebelahnya. Satu persatu teman Asma ia hubungi, tapi satupun tidak ada yang tahu keberadaan Asma.
"Bie, tidak ada yang tahu.... " Cantika mulai terisak, putrinya belum pernah berbuat seperti ini sebelumnya.
Asma, selalu diantar, dan dijemput saat sekolah. Kalau dia pergi ke rumah kawannya, pasti pakai sepeda, baru kali ini dia pakai ojek online.
"Kita tunggu sebentar ya, Sayang. Dia pasti pulang, dia tidak akan pergi jauh tanpa kita," bujuk Soleh, dipeluk bahu istrinya.
"Assalamuallaikum!"
"Walaikum salam," Soleh, dan Cantika saling pandang, itu suara kedua orang tua Cantika. Mereka serentak berdiri, menyambut Raka, dan Tari.
"Abba, Amma, ada apa?" Soleh menatap wajah Raka, dan Tari yang terlihat cemas.
"Asma mana?" tanya Tari, tanpa menjawab pertanyaan Soleh.
Soleh, dan Cantika saling pandang.
"Asma mana!?" seru Tari tidak sabar.
"Sabar, Sayang.... " Raka mengusap bahu istrinya.
"Tadi, Pak Ijul ke rumah untuk membeli keripik. Dia bilang, tadi pagi melihat Asma di bandara. Sekarang katakan, Asma dimana!?"
Cantika menangis sesunggukan, Soleh memeluk istrinya erat.
"Kami juga baru pulang dari rumah Wira, dan baru tahu kalau Asma pergi dengan naik ojek." Soleh menjelaskan.
"Ya Allah, kalian ini bagaimana, sampai tidak tahu anak kalian pergi ke mana!? Telpon dia Soleh, tanyakan dia di mana sekarang!" seru Tari dengan rasa marah yang tidak dapat ia sembunyikan.
"Sabar Sayang, jangan marah-marah. Lihat, Cantika sampai menangis begitu," Raka berusaha menenangkan istrinya.
"Ponselnya tertinggal Amma," Soleh menunjukan ponsel Asma yang tadi diletakan Cantika di atas meja.
"Ya Allah, bagaimna ini Abba, cucu kita ke mana?" Tari menangis di dalam pelukan Raka.
"Coba telpon Arka, atau Aska, Soleh. Mungkin saja Asma ke Jakarta, ke tempat Arka, atau ke Bandung, ke tempat Aska."
"Dia tidak akan berani pergi sejauh itu Abba," ujar Cantika.
"Pak Ijul, melihatnya di bandara, Sayang. Itu artinya dia pergi dengan pesawat'kan. Kemungkinannya hanya dua tempat yang ia tuju. Ke rumah Arka, atau ke rumah Vio, tempat di mana Aska tinggal."
"Ooh, Asma Sayang, kamu kenapa bisa pergi sendiri sejauh itu. Ada apa ini sebenarnya," gumam Tari, diantara isakannya.
Soleh mencoba menelpon adik iparnya, Arka.
"Apa kata Arka, Soleh?" tanya Raka. Soleh menggelengkan kepala. Lalu ia menelpon Aska, putra sulungnya yang kuliah di Bandung, dan tinggal bersama Vio, adik Tari.
"Tidak ada juga," kepala Soleh menggeleng, tubuh Cantika hampir jatuh andai Soleh tidak menahan tubuh istrinya.
"Cantika!"
BERSAMBUNG