Pilihan Berat

1135 Words
Selamat membaca! Dengan sangat terpaksa, Laura mengganti pakaian untuk menemui seorang pria yang dijodohkan padanya. "Apa aku harus melakukan hal yang menyebalkan ini?" Laura masih terus bercermin setelah selesai mengganti pakaian. Wanita itu benar-benar merasa tertekan karena harus menjalani sesuatu yang tidak diinginkannya. Di saat pikiran masih terus hanyut dalam keterpaksaannya, tiba-tiba suara dering ponsel pun berbunyi. Membuat Laura seketika menoleh ke arah benda pipih yang tergeletak di atas nakas dan tampak menyala itu. "Siapa yang menghubungiku?" Laura mulai melangkah. Mendekati nakas untuk mengambil ponselnya. Setelah meraih benda pipih miliknya, Laura mulai melihat layar pada ponsel yang menampilkan nama Andrew di sana. "Andrew." Laura yang penasaran pun langsung menjawab panggilan telepon tersebut. "Halo, ada apa Alan?" tanya Laura yang tak mau basa-basi dengan Alan. "Maaf aku menghubungimu. Aku hanya ingin menanyakan letak kamarku? Kau tidak memberitahu aku, Laura." Laura yang sempat terlupa bahwa jiwa dalam tubuh kekasihnya itu bukanlah Andrew pun seketika menepuk keningnya. "Aku lupa memberitahumu. Kamarmu itu ada di koridor sisi kiri dari pintu masuk. Nanti kamar kelima di sebelah kanan, itu baru kamarmu." "Baiklah. Terima kasih, Laura." Sebelum panggilan telepon terputus, Laura kembali memanggil Andrew agar tidak mengakhiri sambungan teleponnya. "Aku akan membantumu, tanpa kau harus mengikuti kompetisi itu." Seketika Alan pun semringah mendengarnya. Kabar yang disambut dengan penuh sukacita oleh Alan saat ini. "Syukurlah kalau begitu. Jadi apa kita bisa ke London besok?" tanya Alan yang memang sudah tidak sabar untuk membalaskan dendam kematiannya. "Tidak besok. Aku punya persyaratan terlebih dulu yang harus kamu lakukan dan mungkin ini akan jauh lebih mudah untuk kau lakukan." Alan tampak berpikir. Langkahnya kini terhenti di persimpangan lorong di mana tak ada siapa pun di sana. "Kenapa harus dengan syarat?" protes Alan yang awalnya sempat lega mendengar perkataan Laura. "Kamu harus membuat Daddy-ku menyukaimu dan setuju dengan hubunganku dengan Andrew. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya! Kalau itu tidak bisa kamu lakukan, mau tidak mau, kau harus memenangkan kompetisi matematika itu." "Ini lebih mengejutkan dari perkiraanku. Kenapa ya aku merasa ini malah lebih barat dari memenangkan kompetisi matematika itu?" Alan tampak berpikir keras. Menemukan cara agar bisa memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Laura. Syarat yang kedua-duanya sama berat menurutnya. "Bagaimana?" tanya Laura terdengar santai karena wanita itu optimis jika Alan mau melakukan persyaratan yang diajukannya. "Baiklah. Aku akan melakukannya, tapi aku juga perlu bantuanmu. Kau harus membayar orang untuk membuatmu seolah-olah diculik dan aku akan menyelamatkanmu. Bagaimana dengan ide itu? Apa kau setuju?" Setelah mendengar rencana yang dilontarkan oleh Alan, Laura pun langsung setuju karena ia benar-benar yakin bahwa rencana itu akan berhasil. Rencana untuk meluluhkan hati sang ayah agar menyetujui hubungannya dengan Andrew. "Baiklah, aku akan mencarikan orang agar seolah-olah menculikku. Nanti aku akan menghubungimu lagi." Selesai mengatakan hal itu, Laura memutuskan sambungan teleponnya tanpa menunggu Alan menjawab perkataan terakhir yang diucapkannya. Kini wanita itu pun bergegas kembali mengganti pakaiannya dan memilih untuk pergi dari rumah. "Maafkan aku, Dad. Maafkan aku, Mom. Aku harus melakukan ini karena kalian berdua terlalu sibuk dengan dunia kalian sendiri sampai mengabaikan kebahagiaanku. Bahkan yang lebih parahnya lagi, kalian juga akan merampas impianku dengan menjodohkanku dengan pria yang tidak aku cintai sama sekali." *** Di tempat lain, Alan mulai kembali melangkah menuju kamarnya. Kamar yang memang disediakan untuk mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi di kampus itu. "Ada-ada saja syaratnya. Tapi saat ini, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menurutinya agar bisa secepatnya kembali ke London." Setibanya di depan pintu, Alan tampak kebingungan karena ia tak memiliki sebuah kunci untuk dapat membuka pintu itu. "Bagaimana ini? Laura tidak memberitahuku, bagaimana aku mendapatkan kunci kamar ini?" Di saat Alan semakin bingung memikirkan kunci kamar untuknya masuk, tiba-tiba seorang pria berkacamata tebal dengan rambut kribo tampak menghampirinya. Bukan hanya mendekati Alan, pria itu juga terlihat menatap dengan raut wajah yang penuh rasa heran dan tanda tanya. "Siapa pria ini? Apa aku mengenalnya? Sepertinya, pria ini memang mengenal Andrew dan mengira jika aku adalah Andrew," batin Alan masih bergeming tanpa berkata apa pun. Baru saja mengatakan hal itu di dalam hati, Alan langsung meralatnya. "Ya Tuhan, aku lupa. Bagaimana pria ini tidak mengira aku Andrew? Wajah ini memang wajah Andrew dan bukan wajah Alan." Alan kembali bergumam dalam hatinya. Ia tampak bodoh karena tidak tahu harus mengatakan hal apa di depan pria yang seolah sudah mengenal baik Andrew. "Kenapa kau hanya menatapku seperti itu, Andrew?" tanya pria kribo bernama Callum "Aku ingin masuk, tapi aku sepertinya kehilangan kunci kamar ini." Seketika Callum tertawa dengan begitu lucunya sambil menepuk pundak Alan berkali-kali. Membuat Alan semakin kebingungan karena saat ini, ia benar-benar tidak mengerti akan maksud perkataan Callum. "Andrew, Andrew, kenapa kau bisa melupakan kunci yang kau hilangkan satu Minggu yang lalu?" Callum langsung menempel punggung tangannya pada kening Alan dengan kedua alisnya yang saling bertaut. Pria itu benar-benar merasa aneh dengan sikap Alan yang merupakan sahabat dekatnya di kampus. "Kenapa Laura tidak menceritakan padaku bahwa Andrew memiliki seorang teman? Kalau begini aku bingung harus menjawab apa?" batin Alan mulai mencoba akrab pada Callum. "Biasalah, seseorang itu kan memang sering melupakan kenangan buruknya. Jadi bagaimana aku bisa masuk ke kamarku? Apa aku memiliki kunci cadangan?" "Ya Tuhan, Andrew. Sepertinya, kau itu perlu memeriksa dirimu ke dokter deh. Masa kau juga melupakan hal itu. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Apa kau ada masalah dengan Laura? Kenapa efek liburan bersamanya ke pantai malah membuatmu amnesia seperti ini? Bahkan yang lebih parah, kau bukan hanya tidak mengenaliku, tapi kau juga sampai lupa kalau pintu kamarmu ini memang tidak pernah dikunci sejak kau kehilangan kunci kamarmu." Perkataan Callum seketika membuat Alan langsung tersenyum. Ia merasa bodoh karena sejak tadi ia tak mencoba untuk membuka pintu kamarnya terlebih dulu. "Ya Tuhan, Alan. Kenapa kamu bisa sebodoh ini? Sekarang bagaimana ini? Namanya saja aku tidak tahu," batin Alan menatap penuh keraguan karena ia benar-benar tidak tahu siapa dan apa hubungan pria yang ada di depannya ini dengannya. "Andrew, apa kau sedang berakting? Apa ada kamera yang kau sembunyikan di sekitar sini untuk membuat video prank?" tanya Callum sambil mengamati setiap sudut lorong yang bisa saja terdapat kamera tersembunyi. "Sudah, sudah, tidak usah dibahas sekarang. Bolehkah aku masuk? Aku lelah sekali, nanti setelah aku tidur, aku pasti akan ceritakan padamu tentang apa yang terjadi selama di pantai?" "Okelah, memang sepertinya kau butuh istirahat. Nanti aku bisa tanyakan pada Laura, kau masuklah! Oh ya, ingat namaku Callum, sahabatmu yang tinggal di samping kamarmu!" "Thanks, Callum. Aku pasti akan ingat itu." Alan pun melangkah masuk setelah membuka pintu kamar dengan memutar handle pada pintu. Sementara Callum, masih tampak hanyut dalam rasa penasaran yang semakin memenuhi pikirannya. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan Andrew? Apa kepalanya terbentur sesuatu saat di pantai sampai dia bisa melupakan aku dan kunci kamarnya? Sebaiknya aku tanyakan ini pada Laura, pasti dia tahu sesuatu," ucap Callum mulai membuka pintu kamarnya dengan kunci yang memang sejak tadi sudah digenggamnya. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD