Selamat membaca!
Setelah berada di dalam kamar, Alan memilih untuk merebahkan tubuhnya di sebuah kasur berukuran kecil yang hanya cukup untuk dirinya saja. Ukuran ruangan pun tidak terlalu besar, sama seperti kamar yang ia tempati saat pelatihan dulu ketika akan masuk dalam kesatuan M16.
"Aku masih tidak percaya jika hal ini bisa terjadi padaku. Permintaanku untuk hidup kembali dikabulkan, tapi kenapa aku harus hidup di tubuh orang lain. Kenapa, Tuhan?" ucap Alan mendengus kesal akan situasi yang dialaminya saat ini.
Baginya, terjebak dalam tubuh kurus Andrew sungguh membuatnya tak leluasa untuk menuntaskan misi balas dendamnya. Terlebih saat ini, pria itu berada jauh dari kota London hingga semakin menyulitkannya untuk melacak orang-orang yang telah merampas hidupnya.
"Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa aku hidup di tubuh Andrew yang tinggal di Sydney? Padahal tempat ini sangat jauh dari kota London." Alan yang sejak tadi merebahkan tubuhnya pun, terlihat bangkit dan duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Alan mulai mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Dilihatnya, sebuah foto Andrew bersama seorang wanita paruh baya di atas meja.
"Foto siapa itu ya?" Alan pun bangkit, mendekati meja belajar yang berada di sisi kirinya.
"Mungkin wanita yang dalam foto ini ibunya Andrew." Setelah memperhatikan foto tersebut selama beberapa detik, kini Alan pun memutuskan pergi ke toilet. Berharap setelah membasuh wajahnya dengan air, ia dapat menemukan cara untuk ke London tanpa harus menuruti keinginan Laura. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba ponsel milik Andrew berbunyi. Memecahkan keheningan yang terasa pekat dalam ruangan itu. Bunyi ponsel tersebut membuat Alan mengubah arah langkahnya untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di atas ranjang.
"Laura! Untuk apa apalagi ya dia menghubungiku? Apa dia sudah mendapatkan orang untuk berpura-pura menculiknya?" Tanpa menunggu lama, Alan yang penasaran pun langsung menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo, Laura."
"Alan, aku sudah mendapatkan seorang pria yang aku bayar untuk menculikku. Sekarang aku sedang menunggunya di depan rumahku. Aku putuskan untuk tidak menemui pria itu dan memilih kabur dari rumah."
"Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" protes Alan karena merasa tubuhnya terasa sangat lelah, seperti butuh istirahat.
"Tidak! Aku tidak mau menundanya. Aku sudah muak harus menuruti keinginan Daddy. Ingat rencana kita!"
"Jadi apa aku harus menyelamatkanmu malam ini?" tanya Alan kembali dengan kedua alis yang saling bertaut.
"Tidak perlu sekarang. Setelah bertemu orang itu, aku akan menginap dulu di hotel. Aku tidak mau pulang."
"Baiklah. Kau kabari aku saja," jawab Alan yang hanya bisa pasrah dan tak punya pilihan selain menuruti keinginan Laura.
"Oh ya, sepertinya besok aku tidak akan masuk kampus. Pasti Miss. Julie akan bertanya padamu tentang aku, tapi kau cukup bilang tidak tahu saja. Dengan begitu, pihak kampus pasti akan menghubungi Daddy."
"Baiklah. Kau harus ingat kesepakatan kita! Jika aku dapat meluluhkan hati ayahmu, maka kau harus membiayai penerbanganku ke London tanpa aku harus mengikuti kompetisi matematika itu!"
"Kau tidak perlu mengingatkan itu! Aku pasti akan menepati janjiku. Besok kau jangan sampai tidak masuk kampus, ingat itu! Ya sudah, sepertinya pria itu sudah sampai." Setelah mendapati sebuah mobil tepat berhenti tepat di sampingnya, Laura pun memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Alan. Namun, baru saja ia hendak menyapa pengemudi yang ada dalam mobil itu, seorang pria lain tampak keluar dari pintu mobil yang berada tepat di mana posisi Laura berdiri. Pria tersebut langsung membekap mulut wanita itu dengan menggunakan sebuah kain putih hingga membuat Laura yang sempat berontak langsung tak sadarkan diri. Tanpa perlawanan yang berarti, Laura berhasil dibawa masuk ke dalam mobil oleh pria itu.
***
Keesokan harinya, pagi dengan sinar matahari mulai menembus celah-celah jendela kamar Andrew. Namun, Alan masih bergelut nyaman di atas ranjang sambil mendekap sebuah guling panjang. Sampai akhirnya, lelapnya pun seketika buyar setelah tubuh Andrew terasa diguncangkan oleh seseorang.
"Andrew, bangun! Ini sudah pagi! Kita ada kelas pagi ini jam 8. Jadi cepat bangun, Brother!" Suara Callum terdengar semakin keras. Membuat Alan mulai mengerjapkan kedua matanya dengan perlahan.
"Aduh, kenapa pagi ini datang begitu cepat?" gerutu Alan yang sejak semalam memang sulit sekali memejamkan kedua matanya untuk terlelap. Banyak pikiran yang membuatnya tidak tenang hingga sesekali pria itu menangis ketika teringat tentang Emilia dan juga Bella. Rasa rindu yang begitu dalam benar-benar mengusik ketenangan Alan. Ditambah lagi rasa bersalah yang terus menghantuinya karena mau bagaimanapun, hal yang menimpa keluarganya pasti disebabkan oleh statusnya yang merupakan seorang agen rahasia M16.
"Cepatlah bangun, Andrew! Nanti kita bisa telat!" pinta Callum yang semakin mengguncangkan tubuh Andrew.
"Baiklah, baiklah. Ini aku sudah bangun. Jadi kau tidak perlu berteriak lagi."
"Ayolah, cepatlah mandi dan segera siap-siap. Pagi ini kita ada kelas Miss, Julie. Apa kau lupa juga dengan dosen killer satu itu?"
Alan menanggapinya dengan raut wajah datarnya. Pria itu kini mulai duduk di tepi ranjang sebelum akhirnya, Alan mulai melangkah menuju toilet sambil membawa rasa kantuk yang masih bergelayut manja di pelupuk matanya.
"Kenapa aku mengalami hal ini lagi? Kuliah itu sangat membosankan untukku. Ya Tuhan, kenapa tubuh ini yang harus menjadi tempatku untuk kembali hidup!" gerutu Alan sambil terus memaksa langkah kakinya yang berat menuju toilet.
Suara itu terdengar samar oleh Callum. Membuatnya penasaran akan maksud perkataan sahabatnya diakhir kalimat. "Kembali hidup? Memangnya dia sempat mati. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Andrew ya? Biasanya dia itu semangat sekali pergi ke kampus. Bahkan dia yang selalu membangunkan aku lebih dulu, tapi sudah jam segini, dia malah masih tidur. Kenapa aku merasa pria yang aku lihat ini, bukanlah Andrew?" Sambil terus menatap dengan penuh tanya, Callum terus mencerna perkataan Alan yang terdengar olehnya.
Setelah berpikir cukup keras, Callum pun mulai teringat dengan sosok Laura yang menurutnya bisa menjawab segala pertanyaan dalam benaknya. "Oh ya, semalam aku lupa menghubungi Laura." Callum mulai mengambil ponsel miliknya dari saku celana. Setelah menggenggam benda pipih itu, Callum pun tak membuang waktu dengan langsung menghubungi Laura. Namun sayangnya, panggilan telepon itu tak terhubung dan hanya terdengar sebuah voice mail.
"Kenapa hp Laura tidak aktif ya?" Callum mulai mematikan ponselnya, lalu memasukkan kembali ke dalam saku celana. "Sebaiknya nanti aku tanyakan langsung saat bertemunya di kampus."
Callum mulai menatap waktu pada jam dinding. Membuatnya mulai khawatir karena ia tidak mau mendapatkan hukuman dari Miss. Julie karena keterlambatannya. "Kenapa Andrew lama sekali ya?" tanya Callum sambil mendekati toilet yang berada di sudut ruangan.
Setelah berada tepat di depan toilet, Callum mulai merasa heran karena tak mendengar suara apa pun dari dalamnya. "Jangan, jangan Andrew tidur lagi!" Tanpa mengatakan apa pun, Callum langsung membuka pintu toilet dan seketika pria itu pun membulat sempurna, saat melihat sahabatnya itu ternyata sedang tertidur.
"Ya Tuhan, bisa-bisa dia tidur di toilet." Callum yang merasa sangat kesal, kini langsung mengambil sebuah ember yang berisi air dan menyiram tubuh sahabatnya hingga membuat tubuh Andrew terperanjat kaget.
"Hujan, hujan. Kenapa hujan ini bisa masuk ke dalam toilet?" Alan tampak memandangi langit-langit ruangan yang tak bolong sama sekali.
"Hujan, hujan. Matamu hujan! Kita bakal terlambat ini Andrew. Kenapa kau malah tertidur di toilet? Apa kau tidak tahu, 15 menit lagi jam 8?" Callum terdengar begitu kesal. Membuat Alan yang sejak tadi membelakanginya, kini langsung memutar tubuh Andrew untuk menghadap pria itu.
"Aku ngantuk sekali. Bisakah jika aku tidak masuk saja hari ini!"
"Terserah kau saja! Ya sudah, lanjutkan tidurmu di toilet ini saja!" Dengan rasa kesal, Callum pun meninggalkan sahabatnya itu.
"Sepertinya dia sangat kesal." Alan masih terus menatap kepergian pria itu sambil mengusap wajahnya yang basah karena guyuran air dari Callum.
Bersambung ✍️