Sebuah Rencana

1142 Words
Selamat membaca! Setelah kepergian Callum, Alan pun memutuskan untuk mengganti pakaiannya yang sudah basah dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia benar-benar tak mampu menahan rasa kantuk akibat terjaga sejak semalaman hingga dini hari. Namun, di saat pria itu baru saja memejamkan kedua matanya untuk terlelap, tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Membuat kedua mata Alan seketika kembali terbuka. "Ya Tuhan, siapa lagi sih yang mengganggu tidurku?" gerutu Alan penasaran. Masih dengan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Alan mulai meraba permukaan nakas yang masih dalam jangkauan tangannya untuk mengambil benda pipih yang memang tergeletak di sana. Setelah berhasil meraihnya, Alan pun mulai menatap layar pada ponsel itu dengan memaksakan kedua matanya yang terasa berat untuk melihat. "Laura." Tak ingin berlama-lama agar ia dapat kembali tidur, Alan langsung menjawab panggilan telepon tersebut. Walaupun sebenarnya pria itu sangat malas menjawabnya. "Alan, tolong aku! Aku diculik, tolong aku, Alan!" bisik Laura terdengar panik dengan napas tak beraturan. "Tapi bukannya penculikan itu hanya bagian rencanamu?" Alan masih menjawabnya dengan santai. "Tidak, Alan. Aku benar-benar diculik." Mendengar hal itu, Alan pun terkesiap dan langsung bangkit dari posisi tidurnya. "Sekarang kau ada di mana, Laura?" tanya Alan yang sudah tak lagi merasakan kantuk karena apa yang didengar sungguh membuatnya sangat terkejut. "Aku tidak tahu di mana ini? Saat aku sadar, aku sudah ada di dalam kamar. Ini aku diam-diam menyelinap keluar dari kamar untuk mengambil ponselku dan menghubungimu. Untung saja kamar itu tidak terkunci dan aku sempat melihat ada dua pria sedang tertidur di ruang tamu." Suara Laura terdengar begitu panik. Namun, wanita itu tetap berusaha menahan suaranya agar tak membangunkan kedua pria yang telah menculiknya. "Baiklah. Sekarang kau tenang dulu! Coba kau cari jendela yang terbuka di sekitarmu!" "Untuk apa?" tanya Laura merasa aneh. "Cepat turuti saja apa yang aku katakan, Laura!" titah Alan penuh penekanan. "Aku sudah menemukannya, terus apalagi yang harus aku lakukan?" tanya Laura sambil terus memperhatikan sekitarnya. "Apa yang kau lihat di luar jendela?" tanya Alan coba menganalisa keberadaan wanita itu lewat apa yang akan disampaikan oleh Laura. "Matahari yang terik dan gedung-gedung yang tinggi," jawab Laura sambil terus melihat ke luar jendela. "Gedung apa yang bisa kau kenali? Coba sebutkan salah satunya?" Alan kembali bertanya. Berusaha mencari petunjuk untuk menemukan di mana posisi Laura saat ini. "Sydney Tower Eye. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari sini." "Apa gedung itu terlihat besar dari tempatmu?" "Tidak. Tampak kecil, tapi seperti yang aku bilang, aku masih dapat melihat dan mengenali bahwa itu adalah Sydney Tower Eye." "Baiklah. Sekarang coba kau lihat, posisi matahari ada di sebelah mana? Kiri atau kanan?" tanya Alan kembali. "Kanan." Baru saja selesai menjawab pertanyaan Alan, tiba-tiba suara langkah kaki mulai terdengar semakin mendekat ke arah Laura. Membuat wanita itu semakin panik hingga tak kuasa menahan tangisannya. "Ada yang datang, Alan? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Laura sambil terus menangis dengan suara yang tertahan. "Sembunyikan ponselmu dan biarkan tetap terhubung. Aku akan coba melacak keberadaanmu. Kau tidak perlu khawatir, Laura." "Berjanjilah padaku, Alan!" "Aku berjanji, Laura! Cepat mereka sudah ada di depan pintu!" jawab Alan sudah dapat membaca situasi di sana, walau hanya mendengar dari suara langkah kaki lewat sambungan telepon itu. "Hai, apa yang kau lakukan di sini?" tanya salah satu penculik dengan penuh amarah. Laura terdengar menangis dan memohon kepada pria itu agar melepaskannya. "Tolong lepaskan aku! Dasar kau b******n!" Laura terdengar terus melakukan perlawanan hingga membuat pria itu semakin marah dan langsung memukulnya hingga tak sadarkan diri. "Sial, pria itu sudah membuat Laura pingsan," gumam Alan semakin geram atas apa yang dilakukan penculik itu terhadap Laura. Tiba-tiba pintu kamar Andrew terbuka. Membuat Alan terkejut karena Callum datang dengan raut wajahnya yang panik. "Andrew, Laura." "Iya aku sudah tahu. Laura diculik." "Lho, bagaimana kau bisa tahu?" tanya Callum merasa heran karena sahabatnya itu bisa tahu lebih dulu sebelum ia memberitahu. "Aku sudah tahu karena Laura sempat menghubungiku." "Terus di mana dia sekarang?" tanya Callum panik. "Aku masih belum tahu, tapi setidaknya aku punya petunjuk untuk melacaknya." Baru saja selesai mengatakan itu, tiba-tiba suara seorang pria terdengar bertanya dari ambang pintu. "Jadi kau tahu di mana, Laura?" tanya pria yang ternyata adalah Jeff, ayah dari Laura. "Siapa kau?" tanya Alan dengan kedua alis yang saling bertaut. Menatap heran sosok pria yang datang dengan stelan jas hitam dan terlihat perlente. "Ini Tuan Jeff, Andrew. Dia ayahnya Laura. Jadi tadi itu Tuan Jeff datang ke kampus. Dia pikir Laura hanya kabur dari rumah karena menghindari pria yang akan dikenalkan padanya. Makanya, Tuan Jeff mengira jika Laura berada di kampus. Ternyata Laura tidak ada. Malah saat di kampus, Tuan Jeff menerima telepon dari seorang pria yang katanya sudah menculik Laura. Pria itu meminta uang tebusan dengan jumlah yang besar. Kalau tidak maka mereka akan membunuh Laura. Tuan Jeff juga diancam agar tidak melaporkan hal ini kepada polisi kalau ingin nyawa Laura selamat," tutur Callum menjawab pertanyaan sahabatnya sekaligus menceritakan bagaimana dirinya bisa tahu bahwa Laura kini tengah menjadi korban penculikan. "Tolong selamatkan dan temukan, Laura! Saya mohon Andrew." Jeff meminta dengan raut wajahnya yang penuh harap. Harapan agar putri semata wayangnya bisa diselamatkan. "Kau tidak perlu memohon seperti itu, Tuan. Aku pasti akan menyelamatkannya. Jadi jam berapa penculik itu memintamu menyerahkan uang tebusannya?" tanya Alan. "Sore ini jam 5 di stasiun bawah tanah St James." Mendengar jawaban Jeff, Alan tampak berpikir. Memutar otaknya dengan keras untuk menemukan sebuah cara agar dapat menyelamatkan Laura. "Baiklah. Sekarang kita ikut permainan mereka. Temui sesuai apa yang mereka katakan, tapi kita harus tetap menghubungi polisi untuk mengepung stasiun St James agar mereka tidak berhasil meloloskan diri dan kau juga tidak kehilangan uangmu." "Tapi bagaimana dengan putriku? Jika aku melaporkan mereka ke polisi, maka penculik itu bisa membunuh putriku!" protes Jeff yang tak setuju dengan rencana Alan. "Kalau kau tidak melaporkan mereka ke polisi, aku rasa putrimu juga belum tentu akan selamat. Apa kau tidak berpikir bahwa mereka bukan hanya menginginkan uangmu saja, tapi aku rasa mereka juga akan menjual putrimu. Ini bukan hanya tentang penculikan sana, tapi sepertinya akan mengarah pada perdagangan manusia. Jadi saat kau menyerahkan putrimu, bisa saja penculik itu tidak akan melepaskan putrimu begitu saja! Kebetulan dulu aku pernah mendapatkan kasus ini saat pertama kali bertugas di kesatuan M16." Seketika Jeff tampak melongo sambil menahan gelak tawanya rapat-rapat. Pria yang beranggapan bahwa ucapan Alan hanyalah sebuah bualan belaka pun, coba bersikap biasa. Walaupun sebenarnya perkataan itu sungguh menggelitik dan terdengar konyol di telinganya. Bagaimana bisa, seorang agen M16 memiliki tubuh kurus seperti yang dilihatnya saat ini. Melihat ekspresi Jeff dan juga Callum yang menertawakannya, Alan pun tampak menggerutu kesal di dalam hatinya. "Sial, aku lupa jika mereka hanya melihatku sebagai Andrew. Kenapa aku bisa sebodoh ini sampai bisa mengatakan hal itu? Sekarang percuma saja. Walaupun aku menjelaskan semua rencanaku, sepertinya mereka tidak akan mempercayaiku, " batin Alan memutuskan untuk bertindak sendiri tanpa bantuan Jeff ataupun Callum yang masih terlihat menertawakan ucapannya. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD