Keesokan harinya Hannah izin datang terlambat ke kantor karena harus mengurus semua administrasi untuk kepulangan Fahmi dari rumah sakit. Hasil pemeriksaan semalam menyatakan Fahmi sudah diperbolehkan pulang dengan pengobatan rawat jalan. Dan minggu depan harus datang ke rumah sakit untuk melakukan kontrol pertama. Untuk memastikan hasil ablasi jantung Fahmi berhasil dan cocok karena banyak kasus pasien yang meninggal karena ketidakcocokan alat dan jantung pasien setelah pemasangan alat tersebut. Jadi, Fahmi masih dalam pantauan dr. Galih sebelum dinyatakan sembuh 100%.
Setelah urusan administrasi dan penebusan obat selesai Hannah segera membereskan pakaian ganti Fahmi ke dalam tas sedangkan Fahmi masih dalam pengecekan kesehatan terakhir oleh perawat.
"Dek, kamu nanti di rumah sendiri nggak papa kan?" tanya Hannah setelah perawat yang memeriksa Fahmi ke luar dari kamar rawat inap Fahmi.
"Mbak Hannah tenang saja, Rio nanti pulang sekolah akan menemaniku di rumah tadi dia udah w******p pulang sekolah langsung ke rumah kita," terang Fahmi seraya memakai kaos dan merapikan rambutnya yang mulai memanjang.
"Kebetulan saya mau pulang, ayo saya antar sekalian," tawar dr. Galih yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu tanpa mereka sadari.
Hannah seketika berdiri dari tempatnya berjongkok yang tengah membersihkan lemari. "Tidak perlu Dok, kami tidak ingin merepotkan dr. Galih. Tadi saya juga sudah pesan grab untuk kami pulang," terang Hannah lalu mempersilahkan dr. Galih untuk masuk.
"Ayo!" ajak dr. Galih sembari mengangkat tas berisi pakaian Fahmi yang berada di atas ranjang.
"Kami pulang sendiri saja," sambung Fahmi mencoba menolak secara halus tawaran baik dr. Galih. Fahmi merasa sungkan dengan dokter yang merawatnya selama ini. Selama 4 hari di rumah sakit berulang kali dr. Galih mengunjungi Fahmi di luar jam periksa hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja. Dan saat ini pun seharusnya dr. Galih sudah pulang karena setahu Fahmi dr. Galih terjadwal shift sore.
"Nggak baik menolak kebaikan orang lain," balas Galih ramah dengan senyuman tulus.
Fahmi menatap Hannah meminta persetujuan karena Fahmi yakin Kakaknya tidak mungkin menerima tawaran baik orang lain dengan mudah.
"Bukankah kakak kamu akan segera berangkat ke kantor?" sela Galih tanpa mempedulikan tatapan ragu Hannah.
Akhirnya dengan terpaksa mereka pulang bersama dr. Galih. Di perjalanan dr. Galih yang justru selalu mengawali obrolan untuk mengisi keheningan. Hannah yang duduk di kursi penumpang di sisi Galih hanya sesekali menanggapi obrolan Galih dengan singkat.
"Oya jika kita sedang di luar rumah sakit panggil saya Galih saja Han," ucap Galih saat mobil yang dikendarainya memasuki halaman rusun tempat Hannah dan Fahmi tinggal.
"Insyaallah Dok, terimakasih atas tumpangannya dan saya mohon maaf karena harus segera ke kantor," terang Hannah lalu memberi isyarat dengan mata pada Fahmi untuk segera ke luar dari dalam mobil.
"It's Ok, jaga kesehatan ya Fahmi," ucap Galih menundukkan kepala menatap mereka berdua seraya melambaikan tangan lalu melajukan mobilnya meninggalkan Rusun Cempaka Putih tersebut.
***
"Maaf Pak Nevan saya..."
"Bacakan agenda saya hari ini!" sela Nevan saat Hannah menghadap Nevan di ruangannya.
Hannah menundukkan kepala seraya membuka buku agenda di tangannya dengan bergetar. Hannah bisa merasakan Nevan tengah menatapnya tajam, bahkan ia sendiri seolah bisa mendengar detak jantungnya yang berirama keras. Untung saja Hannah tidak memiliki riwayat penyakit jantung seperti Fahmi. Tanpa menatap Nevan pun Hannah bisa merasakan sorot kemarahan Nevan padanya.
Tubuh Hannah semakin bergetar saat Nevan beranjak dari tempat duduknya lalu mendekati Hannah. "Angkat wajah kamu Hannah!" Perintah Nevan pelan namun penuh penekanan.
Perlahan Hannah mengangkat kepala. Deg... Netra mereka bertemu dan berdiam sesaat. Degup jantung Hannah semakin memberontak ingin ke luar dari rongganya saat Tubuh Nevan semakin mendekat. Kepala Nevan menunduk ke arah sisi kiri wajah Hannah. Terpaan nafas hangat Nevan menyapu wajah Hannah yang semakin membuat wajahnya memucat.
"Temani saya malam ini!" Bisik Nevan seraya meniup telinga Hannah yang seketika membuat tubuh Hannah meremang.
"Maaf Pak saya tidak bisa, maaf!" mohon Hannah dengan sorot terluka, kedua netranya seketika berembun seraya memberanikan diri menatap netra Nevan dalam. Harga diri Hannah benar-benar hancur berkeping-keping bahkan Hannah sendiri ragu bisa memaafkan dirinya sendiri setelah harapan baru hadir. Ia bukan wanita jal*ng yang menjajakan tubuhnya pada setiap pria yang mampu membayarnya. Hannah bukan wanita seperti itu. Tapi semua itu terjadi bukanlah kesalahan Nevan tetapi dirinya lah yang menyerahkan dirinya secara sadar dan tanpa paksaan.
Nevan tertegun menerima tatapan terluka Hannah. Namun dengan keangkuhannya Nevan justru meraih pinggang Hannah lalu menghidu aroma vanilla tubuh Hannah yang memabukkan. "Berapa pun yang kamu inginkan akan aku berikan tapi... Puaskan aku malam ini!" Ucap Nevan lirih sedangkan Hannah hanya terdiam dengan tangan mencengkeram buku agendanya dengan kuat seraya memberanikan diri menolak.
"Maaf, sebaiknya Bapak bersiap-siap untuk rapat jam 11 siang nanti," balas Hannah lalu segera melepaskan diri dari tangan kekar Nevan yang melingkari pinggangnya.
Hannah segera ke luar dari ruangan Nevan sembari menahan laju air matanya yang hampir jatuh. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi dan masuk ke dalam bilik lalu menyalakan kran air. Tubuhnya terduduk lemas di atas closed dengan air mata yang mengalir deras. Ia tekan dadanya keras-keras untuk menahan rasa sakit yang seolah menusuk-nusuk jantungnya. Tak lama, terdengar suara ketukan sepatu di atas lantai yang seketika membuat Hannah segera mereda suara tangisannya. Ia gigit pena yang terselip di buku agendanya agar suara tangisannya tidak sampai terdengar oleh orang yang berada di luar bilik.
Tak lama Siska ke luar dari bilik kamar mandi di samping bilik Hannah. Cukup lama Siska berdiri di depan cermin untuk memperbaiki riasan dan penampilannya.
"Ada orang nggak sih di bilik ini? Perasaan dari tadi kran air menyala tapi kok nggak ada suara orang ya?" gumam Siska sendiri lalu menghampiri bilik tersebut.
"Hallo ada orang nggak?" ketuk Siska pada bilik tersebut dan tak lama Hannah membuka pintu.
"Ya Allah Hannah, loe ini bikin orang jantungan aja," ucap Siska dengan mengelus d**a seraya mengatur nafas. Namun, Siska seketika terdiam saat melihat mata merah Hannah.
"Aku nggak papa," sergah Hannah berlalu dari tempat Siska berdiri sebelum Siska mencecar pertanyaan yang tidak mungkin bisa ia jawab dengan jujur.
Di ruangannya, Nevan masih berdiri mematung di tempatnya tadi. Bagaimana mungkin Hannah berani menolak seorang Rivandra Nevan Setiadi. CEO sekaligus orang nomor satu di Setiadi Company. Nevan mengatur nafas, mencoba meredam emosinya yang hampir meledak. Jangan sampai urusan pribadi merusak image_nya dengan menghancurkan kantornya sendiri.
"Tunggu pembalasan gue Hannah! Akan gue buat loe bertekuk lutut di kaki gue!" gumam Nevan penuh dendam.
Hannah segera kembali ke meja kerjanya tanpa mengindahkan tatapan penuh menyelidik kedua rekan kerjanya, Siska dan Tony yang mengarah padanya. Ruangan dengan 5 karyawan tersebut selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak ada candaan atau rumpian ala kantor pada umumnya saat Nevan berada di ruangannya.
Baru saja Hannah berhasil mengatur nafas dan perasaannya ibu dari pemilik nomor satu Setiadi Company datang bersama dengan dua pengawalnya. Wanita itu tampil rapi dan anggun dengan dress panjang berwarna hitam berkerah dengan aksesoris berwarna gold melingkari pinggang rampingnya. Semua yang dikenakan terlihat sempurna di tubuh semampai dan seksi tersebut. Kecantikan wajahnya pun seolah tak pernah lekang oleh waktu meskipun telah memasuki usia setengah abad. Mantan model internasional itu selalu tampil memukau dan fashionable. Kali ini rambut bermodel blonde ia biarkan tergerai indah berkilau kecokelatan. Serasi dengan bola mata cantik berwarna hazel yang sama persis dengan bola mata milik Nevan.
Semua karyawan seketika berdiri seraya membungkukkan tubuh memberi hormat. "Hannah, Nevan ada di ruangannya kan?" Ucapnya pada Hannah ramah.
"Iya Bu Elnara, silahkan!" balas Hannah dengan ramah seraya berjalan mempersilahkan Elnara dengan membukakan pintu lebar-lebar sedangkan dua pengawalnya berdiri menunggu di depan pintu ruangan Nevan.
Hannah segera kembali ke meja kerjanya setelah Elnara masuk. Nevan yang tengah meneguk kopinya seketika tersedak saat melihat mamanya tengah berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan d**a dengan tatapan tajam. Nevan tahu mamanya pasti marah karena Nevan tidak memenuhi permintaan mamanya untuk tinggal bersama.
"Hai My Queen!" sapa Nevan lalu memeluk erat tubuh Elnara setelah mencium punggung tangannya. Elnara membalas pelukan sang putra seraya mengusap punggung Nevan dengan lembut.
"Sudah jangan bermanis-manis sama Mama! Rayuan kamu tidak akan mampu meluluhkan keputusan Mama!" Elnara mengurai pelukan mereka dan kembali menatap Nevan dalam.
"Mamamu ini sudah tua, apa kamu rela Mama stress karena setiap hari harus sendirian? Mama ingin menyaksikan hari pernikahan kamu. Mama ingin menghabiskan masa tua Mama bersama cucu-cucu Mama, please Nak!" pinta Elnara lalu membingkai wajah Nevan dengan kedua tangannya. Dengan tatapan penuh cinta Nevan meraih kedua tangan Elnara dari wajahnya lalu menciumi telapak tangan yang dulu selalu menimangnya tersebut.
"Baiklah, apapun kemauan Mama Nevan setuju tapi...." Nevan menggantung kalimatnya menunggu reaksi Elnara.
"Tapi apa Nevan?" kesal Elnara sembari melepaskan tangannya dari wajah putranya dan beralih duduk di sofa.
"Beri Nevan waktu hingga hari ulang tahun Nevan, jika Nevan belum membawa menantu untuk Mama hari itu maka terserah Mama, Nevan patuh!" keukeuh Nevan yang seketika membuat kedua netra Elnara berkaca-kaca. Nevan meraih jemari Elnara dan mengecupnya. Bagi Nevan Elnara adalah segalanya. Apa pun akan ia lakukan asalkan satu-satunya orang tuanya yang tersisa itu bahagia. Nevan rela menukar kebahagiaan hanya demi senyuman Elnara.
"Baiklah Mama setuju!" balas Elnara lalu memeluk Nevan yang duduk di sisinya.
"Oya Mama ke sini mau menanyakan sesuatu yang penting padamu, bagaimana Hannah selama menjadi sekretaris kamu?" ucap Elnara setelah mengurai pelukan lalu tersenyum menatap Nevan.
Deg. "Hannah?" gumam Nevan dengan terkejut karena tidak pernah menyangka mamanya akan menanyakan tentang Hannah. Sejak Nevan mengambil alih perusahaan, Elnara hanya fokus bagian fashion yang menjadi dunianya sejak ia remaja. Itupun Elnara seringkali mengirimkan asisten pribadinya untuk mewakili rapat di perusahaan setiap bulannya kecuali rapat dewan direksi.
"Kamu harus perlakukan dia dengan baik Van, Mama harus memastikan Hannah baik-baik saja selama di sini sesuai amanat terakhir Papa kamu sebelum kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Papa kamu itu terjadi," terang Elnara yang seketika membuat tubuh Nevan membeku di tempat.