5. Harapan Hannah

1658 Words
"Mbak Hannah dapat uang sebanyak itu darimana?" telisik Fahmi menatap Hannah tajam yang tengah memasukkan beberapa barang dan makanan ke dalam lemari kecil di sisi ranjang Fahmi yang disediakan oleh rumah sakit. Hannah terdiam sejenak sebelum duduk di sisi Fahmi sambil mengulas senyuman. Ia genggam tangan Fahmi yang terpasang infus sembari menatap ke dalam matanya. "Dengar Dek, ini uang Kakak dapat secara baik-baik, kamu tahu Pak Tony kan? Mbak dapat pinjaman uang darinya, Mbak akan membayarnya dengan cara mencicil dari gaji bulanan Mbak," terang Hannah. Terpaksa ia harus berbohong karena jika Fahmi sampai tahu bagaimana cara mendapatkan uang tersebut pastilah Fahmi menolak dan memilih menderita seumur hidupnya. "Aku janji setelah aku sembuh aku akan membantu Mbak Hannah bekerja. Kebetulan aku diminta orang tua Rio untuk mengajar privat matematika dan IPA adiknya yang masih SMP," terang Fahmi dengan mata berbinar karena harapan dirinya sembuh dari penyakit yang menyiksanya selama ini. Ia tidak ingin menjadi beban Hannah lagi. Sudah cukup baginya melihat Hannah selama ini bekerja keras dengan membanting tulang siang dan malam demi memenuhi kebutuhan mereka selama tinggal di kota asing ini. Kota yang identik dengan kehidupan malam dan glamor. Namun, memendam kekejaman yang nyata di baliknya. "Terserah kamu Dek yang penting kamu cepat sembuh dan tetap fokus sekolah, urusan mengajar privat kita pikirkan nanti, ok?" balas Hannah dengan kedua mata berbinar pula. Ia lega bisa melihat kembali binar bahagia di kedua netra adiknya. "Oya ya Mbak, kalau misal Mbak Hannah besok kerja aku nggak papa di rumah sakit sendiri, Rio besok pulang sekolah katanya akan menemani aku di sini," ucap Fahmi seraya membalas genggaman tangan Hannah. "Mbak Hannah udah izin dua hari, kalau Rio mau ke sini ya nggak papa," balas Hannah seraya mengucap syukur dalam hati karena adiknya memiliki sahabat yang baik seperti Rio. Hannah sudah mengenal Rio cukup baik. Remaja itu sering datang ke rumahnya sejak mereka duduk di kelas 10 yang artinya mereka sudah berteman hampir dua tahun. Tak lama dua perawat masuk ke dalam ruang rawat inap Fahmi untuk membawa Fahmi ke ruang operasi. "Mbak Hannah sayang Adek, berjanjilah Adek akan sembuh," bisik Hannah lalu mengecup puncak kepala Fahmi dengan mata berembun. "Fahmi janji Mbak, Fahmi juga sayang Mbak Hannah," balas Fahmi seraya menatap Hannah dalam. Sekuat tenaga Fahmi mengulas senyuman sebelum perawat tersebut membawanya pergi. Tubuh Hannah merosot lemas di atas sofa dengan berlinang air mata. Ia cengkeram kuat dadanya menahan sesak. Setelah berhasil meredam hatinya yang gamang ia segera menyeka air mata yang tak juga berhenti mengalir. "Fahmi akan sembuh Hannah," gumam hati Hannah dengan memukul-mukul dadanya untuk mengurangi rasa sesak yang menghimpitnya. Hannah beranjak dari tempat duduknya lalu segera menyusul dua perawat yang membawa adiknya. Menurut perhitungan dokter operasi Fahmi akan berlangsung sekitar 2-3 jam lamanya. Di restoran Jepang tampak seorang gadis berambut panjang berwarna cokelat sedang asyik memainkan ponselnya dengan serius. Nevan melangkahkan kaki menuju meja bernomor 7 sesuai petunjuk mamanya. "Maaf, apa Anda yang bernama Nona Alicia?" sapa Nevan dengan berusaha bersikap ramah. Hal yang jarang sekali ia lakukan pada orang lain. Semua ia lakukan demi orang tua satu-satunya yang ia miliki. Tubuh gadis itu tampak menegang lalu mengangkat wajahnya perlahan menatap Nevan yang tengah berdiri di hadapannya. Dengan senyum mengembang gadis itu berdiri menyambut sapaan Nevan seraya mempersilakan pria itu untuk duduk di kursi seberang meja di hadapannya. "Perkenalkan aku Alicia," ucap Alicia ramah seraya mengulurkan tangan ke arah Nevan. "Sebaiknya katakan apa yang Nona inginkan dari saya?" ucap Nevan tanpa basa-basi dengan hanya menatap tangan Alicia yang terulur. Nevan duduk lalu menatap Alicia datar yang tengah menarik kembali uluran tangannya yang mengudara. Bukannya kesal karena sikap datar dan dingin Nevan Alicia justru semakin tertarik dengan pria di hadapannya. Hanya Nevan satu-satunya pria yang menatapnya tanpa minat. Selama ini pria yang bertemu dengannya pasti menyiratkan sorot memuja akan kecantikan dan kemolekan tubuhnya. "Tante Elnara pasti sudah memberitahu kamu, aku ini siapa?" balas Alicia dengan senyum menawan. "Yang jelas saya tidak tertarik dengan Nona dan rencana Mama untuk menjodohkan kita, saya pastikan tidak akan terlaksana!" balas Nevan dengan santai tetapi penuh dengan penekanan. "Really?" tantang Alicia semakin yakin pria di hadapannya bukan pria sembarangan seperti pria-pria kaya kebanyakan yang hanya memikirkan s**********n. Nevan bersidekap dengan punggung bersandar pada kursi menatap gadis yang sepertinya sengaja ingin bermain-main dengannya. "Tentu saja!" ejek Nevan seraya menelisik penampilan seksi gadis berdarah Inggris di hadapannya. Alicia salah jika ingin menggoda Nevan dengan kesempurnaan fisiknya. Bagi Nevan wanita seperti Alicia seperti ular berbisa. "Ayolah Nevan, apa aku kurang menarik?" balas Alicia dengan manja dan mengedipkan sebelah mata yang justru membuat Nevan merasa enek dan mual seketika. "Maaf, sepertinya Nona salah jika menyamakan persepsi Nona tentang saya." Nevan beranjak dari tempat duduknya lalu melenggang pergi meninggalkan Alicia. "Rivandra Nevan Setiadi," gumam Alicia dengan tersenyum seraya meraih secangkir choco vanilla dan meneguknya perlahan. Menikmati punggung tegap Nevan yang menjauh dari pandangannya. Melihat sang bos ke luar dari restoran tersebut Tony segera ke luar dari mobil dan membukakan pintu mobil di sisi kursi pengemudi. Tony segera masuk dan menjalankan mobil menuju kantor Nevan kembali. "Ada masalah Bos?" ucap Tony memecah keheningan karena sejak 10 menit lalu Nevan tidak membuka suara sama sekali. "Entahlah Ton, gue nggak suka mama menjodohkan gue dengan model bernama Alicia itu," terang Nevan dengan bahasa non formal jika dirinya hanya berdua dengan Tony. "Cantik Bos, mirip artis Luna Maya hehehe," kekeh Tony seraya menatap Nevan yang terlihat lebih kacau dari tadi pagi. "Buat loe aja kalau gitu, gue nggak tertarik dengannya," sambung Nevan seraya membalas tatapan Tony dengan tajam karena ejekan pria itu. "Sayangnya gue sudah punya gadis incaran Bos, bilang saja Bos suka kriteria gadis yang gimana? Entar gue carikan kandidatnya," kekeh Tony yang seketika mendapatkan kepalan tangan Nevan di bahunya. "Bos beneran ya nggak pernah pacaran?" tanya Tony kembali. "Buat apa pacaran, gue nggak butuh perempuan toh hidup gue sekarang aja sudah nyaman tanpa makhluk menyebalkan bernama perempuan itu." Hahahaha.... Tawa Tony seketika pecah seraya menggeleng-gelengkan kepala karena heran dengan jalan pikiran bosnya. Baginya perempuan justru makhluk paling menyenangkan. Untuk apa kekayaan sebanyak itu kalau tidak dimanfaatkan, bahkan jika Nevan memiliki istri dan anak banyak pun tidak akan mengurangi harta kekayaannya. "Jangan berisik, entar malam temani gue ke night club," balas Nevan tak acuh mendengarkan tawa Tony yang terdengar menyebalkan. Jika hanya berdua hubungan formal antara bos dan anak buah itu mengurai begitu saja. Nevan dan Tony sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMA. Selama Nevan menempuh pendidikan di Amerika Tony menempuh pendidikan militer. Tony memang bukan dari keluarga kaya raya, ia hanya seorang anak dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Dan menjadi seorang polisi adalah cita-citanya. Makanya setelah Nevan lulus dari kuliahnya di Amerika ia langsung menghubungi Tony untuk bekerja padanya. Tony sering dibuat bingung dengan sifat Nevan yang anti perempuan. Di mana-mana pria jika bertemu dengan perempuan cantik dan seksi pasti diliriknya atau mengajak mereka berkenalan tetapi buat Nevan jelas berbeda, Nevan selalu mengatakan jika makhluk yang bernama perempuan itu adalah makhluk paling menyebalkan dan membuang-buang waktunya saja. "Kenapa Loe nyengir?" kesal Nevan saat melihat seringai aneh sahabatnya. "Loe masih normal kan? Nggak bengkok kan?" selidik Tony lagi seraya tergelak. "Normal lah! gue aja udah lepas segel," balas Nevan dengan menggerutu yang seketika membuat Tony mengerem mobilnya secara mendadak. Suara klakson dan umpatan seketika terdengar dari luar. Tanpa menggubris suara berisik di belakang mobil mereka Tony segera menepikan mobil ke bahu jalan. "Yakin? Gue kok nggak tahu? Hampir 24 jam loh gue nemenin loe, ah mimpi kali loe!" balas Tony masih dengan ekspresi terkejut. Antara percaya dan tidak percaya. Namun, Tony tahu Nevan sedang tidak bercanda saat ini. "Emang loe emak gue yang harus gue laporin tiap kali gue kencan sama cewek?" kesal Nevan lalu memerintahkan Tony segera melajukan kembali mobilnya. Tony menyeringai curiga. Namun segera menjalankan perintah sang bos yang mulai terlihat bad mood. Sepanjang perjalanan hanya sepi yang memenuhi ruang sempit mereka berdua. Nevan yang kembali galau karena mengingat wajah sendu Hannah sedangkan Tony tampak fokus pada jalanan ramai di hadapannya dengan mengurai senyuman. "Akhirnya sahabat gue merasakan jatuh cinta, akan gue selidiki siapa gadis beruntung yang berhasil mencuri hati loe Nevan," gaung hati Tony seraya melirik Nevan yang kini tengah menatap ke luar kaca. Di rumah sakit, Hannah diam membisu seraya mengatupkan kedua tangan pada wajahnya. Dalam hati tak henti ia berdoa untuk kelancaran operasi jantung Fahmi yang sudah berjalan dua jam lamanya. Air matanya kembali menetes deras. Akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan salat duhur di mushola rumah sakit. Satu-satunya tempat berkeluh-kesah, tempatnya mengiba atas segala duka lara atas cobaan yang tak henti menderanya. Hannah ingin mengadu nasib yang tertulis digaris tangannya. Ingin memohon keselamatan adiknya yang tengah berjuang antara hidup dan mati di atas meja operasi. Dalam doa panjangnya tiba-tiba seorang ibu-ibu paruh baya duduk di sisi Hannah. "Allah pasti mendengar doa-doa kamu Nak," ucapnya yang seketika membuat Hannah membuka mata perlahan lalu menyeka air mata yang membasahi pipinya. "Aamiin Ya Rabb," balas Hannah singkat lalu menatap ibu-ibu tersebut dengan tersenyum lembut. "Maaf saya permisi dulu Bu," pamit Hannah ramah seraya melepaskan mukena lalu melipat dan meletakkan di tempatnya semula. "Sebentar!" Sergah ibu tersebut lalu membuka tasnya dan mengulurkan sebuah kartu nama. "Jika membutuhkan sesuatu kamu bisa hubungi nomor ini Nak," sambungnya yang hanya Hannah balas dengan ucapan terimakasih seraya menerima kartu nama tersebut. Sesampainya di ruang tunggu operasi, tubuh Hannah seketika membeku saat melihat pintu ruang operasi terbuka. Hannah berlari mendekati dr. Galih yang baru saja ke luar dari ruang operasi bersama seorang suster. "Alhamdulillah operasi Saudara Fahmi berjalan lancar," terang dr. Galih yang seketika membuat tubuh Hannah bergetar dengan bibir terbuka. Bibirnya kelu tak mampu berucap tetapi hatinya tak berhenti mengucap syukur. "Sebentar lagi Saudara Fahmi akan segera dipindahkan ke ruang observasi terlebih dahulu," sambung dr. Galih seraya menatap Hannah dalam lalu pergi. "Ayah Bunda, adek akan segera sembuh," gumam hati Hannah dengan tubuh meluruh di atas lantai dengan bersimbah air mata. Tanpa Hannah sadari, seorang pria tengah memperhatikannya dengan tatapan sendu. __________________&&&_________________ Judul Buku : Night With CEO Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD