"Jangan sampai bajing*n itu masuk begitu saja!" ujar Karin waspada.
Dia baru saja mandi dan hendak memakai body lotion sebelum kemudian pakaiannya. Namun, dia sudah mengunci pintu menyadari sekarang waktu Adrian pulang. Pria itu suka sembarangan, dan setelahnya suka seenaknya.
Meski mereka suami istri, tapi tanpa cinta dan kondisi terjebak, membuat Karin acapkali menghindari Adrian.
Brubh-brubh!!
"Karin!!" teriak Adrian dari luar.
Benar saja, pria itu pulang. Dia bahkan sudah menggedor-gedor pintu dan membuat Karin mendesah kasar.
"Sebentar! Aku lagi pakai baju!!" teriak Karin.
Sayangnya Adrian tidak perduli hal itu, dia bahkan bertambah geram dan menggedor pintunya lebih kencang.
"Karin buka pintunya atau aku akan mendobraknya!!"
Mendengar hal itu, buru-buru Karin pun mengenakan pakaiannya.
Cklek!
Akhirnya Karin membukanya tepat saat Adrian akan bersiap mendobraknya. Pria itu masih sangat kesal dan sangat kentara memperlihatkan kegeramannya.
"Kenapa lama sekali, apa kau sengaja melakukannya untuk membuatku marah?" tanya Adrian.
"Apa kau tidak lihat aku habis apa? Aku habis mandi Tuan Adrian yang terhormat dan aku habis memakai pakaian! Dasar sumbu pendek!!" balas Karin tidak mau kalah.
Adrian yang masih diselimuti emosi langsung menarik Karin dan mencengkram rahangnya. "Dengar Karin, jika aku seperti yang kau katakan mungkin bukan pernikahan yang kau dapatkan, tapi aku akan membunuhmu!!"
Karin tidak takut dan malah tersenyum hambar. "Dan aku lebih suka mati daripada mengkhianati orang yang aku cintai!" jawab Karin sungguh-sungguh.
Adrian sangat gusar karena hal itu, dia mendorong Karin ke tempat tidur dan memaksanya hingga menjamahnya dengan kasar. Kali ini Karin tidak protes apapun, tapi kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari laci nakas. Itu botol obat dan Adrian segera mengerutkan dahinya bingung.
"Apa yang kau minum?" tanya Adrian.
Karin terdiam untuk sesaat berpikir keras dan menimang-nimang sesuatu. Ini bukan saatnya membuat pria itu bertambah marah, atau dia benar-benar habis di tangan suaminya.
"Hanya vitamin, menurutmu apa? Ini racun dan aku benar-benar ingin membunuh diriku sendiri?"
Adrian sedikit lega mendengarnya, sepertinya ucapan Karin tidak sama dengan yang dikhawatirkan oleh Adrian. Adrian takut itu pil KB. Karena dia menginginkan kehamilan Karin karena pria itu sudah bersumpah pada dirinya sendiri agar memiliki Karin selamanya, dan semua itu demi Thania juga obsesi gila adiknya itu.
"Sejak tadi kau mengatakan ingin mati, wajar saja aku memikirkan hal itu," jelas Adrian.
"Tidak usah khawatir dengan kematianku, bukankah kamu harusnya senang? Artinya adikmu bebas mendapatkan Brian tanpa mengkhawatirkan aku!" tukas Karin dingin.
Wanita itu langsung bangkit terlalu muak di sisi Adrian. Dia menarik selimut agar tubuhnya yang tanpa pakaian itu, tak terlihat begitu saja. Akan tetapi Adrian tiba-tiba menarik tubuhnya, sampai membuat Karin harus terjatuh dan menimpah tubuhnya.
Brugh!
Adrian merengkuhnya dan kedua tatapan keduanya bertemu. Aneh Adrian segera merasakan perasaan aneh pada Karin. Dia merasa tatapan wanita itu seolah membelitnya.
"Lepas!!"
Karin yang sadar posisi mereka akhirnya bangkit, dan mendorongnya. Namun, saat sudah menarik penuh selimutnya, Karin jadi menyesal.
"Sebenarnya aku kedinginan, tapi kau terus memaksa menariknya, apa segitu tertariknya pada tubuhku?" Adrian bangkit dengan tak tahu malu membuat Karin memalingkan wajahnya.
"Ternyata kamu munafik, teriak m***m, tapi kamu sendiri yang m***m!" ejek Adrian, tapi dia tidak berhenti begitu saja. "Ah, ya. Belakangan ini kau juga sangat pasrah padaku, kenapa istriku, apa kau sudah ketagihan ...."
Karin mendengus kasar dan segera memungut pakaiannya. Dia masuk kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan terpaksa mandi kembali.
*****
"Kenapa tidak enak sih?" jengkel Rini merasa ada yang kurang.
Wanita paruh baya itu, langsung kehilangan selera makan dan berhenti. Namun, hal itu malah dia jadikan pion untuk menjatuhkan Karin. Karena berpikir setiap hidangan adalah buatan menantunya itu.
"Rasanya hambar sekali, dan mengganggu. Sebenarnya kamu niat masak nggak sih, atau semua ini pasti gara-gara kamu keluyuran terus!" omel Rini tampak kesal.
"Sudahlah, Mom. Masakan ini tidak terlalu buruk, dan jika tidak suka, aku bisa memesan makanan lain untuk Mommy," jawab Adrian mendahului Karin.
"Lagipula Mom harusnya memberi apresiasi buat Karin. Ini bukan pekerjaannya dan aku sudah melarangnya, tapi demi kamu Karin masih memasak," timpal Yudha pria paru baya yang menjadi kepala keluarga besar Prayudha tersebut.
"Mmm ... maaf, Dad, Tante dan juga Tu-Mas Adrian, sebenarnya bukan aku yang memasak makanan ini," ungkap Karin.
Dia hampir saja keceplosan memanggil Adrian 'tuan,' sebab Karin sudah terbiasa dengan panggilan itu, namun sepertinya Adrian yang menyadarinya langsung memperingatkan Karin lewat tatapannya.
"Dasar kurang ajar, beraninya wanita miskin sepertimu melakukan itu?! Harusnya kau yang memasak, dan sadar diri! Setidaknya sadarlah posisimu di rumah ini sebagai apa!!" bentak Rini.
Membuat Yudha menghela nafas. Tidak berbeda jauh dengan Adrian yang merasa ibunya semakin berlebihan.
"Mom, cukup!! Dia menantu di rumah ini berapa kali harus aku katakan!" peringat Yudha, tapi Adrian tak tinggal diam.
"Tidak masalah Dad, Mommy hanya muak pada istriku jadi mulai besok kami akan tinggal di rumah sendiri," putus Adrian tiba-tiba.
Dia juga tak berencana akan ucapannya, tapi Rini memang kelewat batas. Di saat yang sama Adrian merasa tak berdaya melawan ibunya, jadi dia pikir begitulah caranya.
Karin menatapnya dengan tak percaya, sementara Yudha tersenyum puas dan mendukung keputusan anaknya. Akan tetapi, Rini tentu saja keberatan.
"Tidak bisa!! Di rumah ini saja Karin tidak becus, bagaimana dia bisa mengurusmu tanpa pengawasan dari Mommy?!" protes Rini.
"Adrian yang akan mengurus Karin!" jelas Adrian dengan tegas. "Wanita seusianya memang tidak becus melakukan apapun, sama seperti Thania. Memangnya Karin bisa apa jika dia terus tinggal di rumah ini, dia juga tidak akan pernah memuaskan perasaan Mommy. Karena dari awal yang diinginkan Mommy itu Daisy bukan Karin!"
"Kalau kamu tahu Daisy yang Mommy jadi menantunya Mommy, kenapa masih menikahi perempuan tidak jelas seperti Karin?!" sarkar Rini sengit.
Adrian melirik Karin sekilas, sebelum kemudian menjawab dengan yakin. "Karena yang aku inginkan adalah Karin. Hanya dia yang akan menjadi wanitaku ataupun menjadi istriku. Seandainya tidak ada dia, aku juga tidak akan menikahi Daisy!"
Mendengar pernyataan itu, perasaan Karin mendadak aneh. Dia langsung memperhatikan Adrian dan merasa bingung.
"Apa kamu sudah dengar dengan baik apa kata anak kita, Mom? Cukup, sudahilah obsesimu, yang menjalani pernikahan itu anak-anak. Kita sebagai orang tua harusnya bisa memberi contoh yang baik dan juga mendukung mereka," jelas Yudha menimpali Adrian.
Rini langsung bangkit dan menatap suami dan juga putranya bergantian. Kemudian beralih pada Karin, lalu menatapnya dengan tajam.
"Ini semua gara-gara kamu, wanita miskin, dan perusak kebahagiaan orang! Puas kamu melihat suami dan anakku membelamu? Puas, hahh ...."
Yudha menghela nafasnya kasar, tapi kemudian dia ikut bangkit dan merengkuh tubuh istrinya menjauh dari sana.
"Lanjutkan makan malam kalian, biar Daddy yang mengurus Mommy!" ujarnya memberi tahu. Beliau selalu pengertian seperti biasanya.
"Jangan kepedean, aku tidak menginginkanmu, ingatlah bahwa aku cuma ingin tubuhmu!" ujar Adrian memperingatkan Karin.
Sial, padahal Karin sendiri sudah sempat tersentuh oleh pembelaan dan perkataan suaminya. Namun, dia juga tak mau kalah.
"Seharusnya kalimat itu ditujukan padamu Tuan Adrian, karena aku bukan cuma tidak menginginkanmu, tapi juga terpaksa menjalani pernikahan konyol ini!"
*****