Capitulum IV : Teman-Teman Baru!

1563 Words
     Obrolan antara Reizh dan Skye berlanjut hingga tak terasa, matahari hampir tepat berada di atas kepala mereka.      "Wah, hari sudah semakin siang. Ada baiknya kita kembali. Atau, kita bisa makan siang bersama?" tawar Reizh      Skye tersenyum namun menggeleng kecil, "Thanks tawarannya, tapi teman-temanku lumayan menyebalkan, mereka bilang lelah menunggu, padahal mereka yang bilang sedang sibuk. Jadi aku harus kembali lebih cepat. Maaf, mungkin lain kali. Kau ada kontak? Atau sosial media?"      "@Re_Schultz. Kunjungi saja semua sosial media yang kamu punya. Namaku semuanya sama. Bahkan nama ID milikku. Kita bisa bertukar nomor telepon nanti, dan membuat janji." ucap Reizh, tersenyum.      "Baiklah. Nama sosial mediaku @Caramelova. Tanpa tambahan apapun. Jika itu mengikuti sosial media mu, ikuti balik, ya. Jangan sampai tidak, lho!" ucap Skye mengancam.      "Iya, tenang aja. Pasti kuterima dan kuikuti balik. Kamu tidak perlu khawatir sampai-sampai mengancamku begitu, ah." balas Reizh dan membuat gadis manis berambut hitam itu tertawa lepas.      Mereka berpisah siang itu. Reizh kembali tepat pada jam makan siang. Zaviel bilang, teman-temannya akan segera datang berkumpul saat makan siang ini karena mereka telah kembali ke asrama.. Reizh sangat bersemangat, karena, ia akan segera memiliki teman baru!      Setelah berganti baju, dengan baju  Reizh berjalan menuju lift sambil membereskan bajunya. Namun, seseorang memanggilnya. Siapa lagi jika bukan adiknya?      "Kak!"      Namun, Reizh celingukan mencari sumber suara tersebut.      "Kak! Di sini! Ini mereka!" seru Zaviel membawa enam orang di belakangnya. Tiga perempuan dan tiga laki-laki.       Awalnya Reizh ingin tersenyum dan menyapa kemudian memperkenalkan diri, namun seseorang mendapatkan perhatiannya. "Heyy!" Reizh spontan mengatakan itu.      "Heyy!" sahut gadis yang melihat ke arah Reizh.      Reizh dan Skye melakukan high-five ala mereka dan itu membuat keenam orang yang tengah melihat itu keheranan. Sejak kapan Skye kenal kakak Zaviel, dan sejak kapan Reizh kenal Skye?      "Kalian... Saling kenal?" tanya Zaviel bingung. Pasalnya, yang ia tahu, Skye baru sampai di akademi pada pagi hari dan keluar sebentar untuk berjalan-jalan, dan sepanjang tiga tahun mengenal Skye, gadis itu tidak terlihat seperti mengenal Reizh sebelum ini.      "Tadi pagi," jawab Skye dan Reizh berbarengan.      "Oh? Dalam rangka apa?" tanya si rambut merah penasaran.      "Hanya kebetulan bertemu di jalan tadi pagi. Oh ya, nama lengkapku Reizhart Schultz, salam kenal."      "Marvin Jayden Maximilliano, Jay. Kita teman sekamar," ucap lelaki berambut merah.      "Matrix Louis D'Courter, Matrix." ucap laki-laki berambut pirang bermata amber.      "Raziel Arch Ziverian, Raziel." ucap berambut cokelat muda.      "Luciana Ashelline Anderson, Ash." ucap gadis berambut cokelat kemerahan.      "Jeanna Vellovexia Blacksmith, Jeanna." kata gadis berambut biru dengan tubuh mungil.      "Hm, karena kita belum berkenalan secara resmi, akan kuberitahu nama lengkapku, Cloverskye Caramelova Morstan, Skye. Salam kenal, Reizh." ucap Skye menjabat tangan Reizh.      Mereka duduk di sebuah meja lingkaran yang kebetulan kosong. Baru beberapa menit bertegur sapa, namun hubungan yang terlihat antara Reizh dan teman-teman Zaviel sudah akrab, seperti teman lama yang baru bersua setelah beberapa tahun. Namun, tidak lama dari suasana menyenangkan tercipta, suasana itu tergantikan oleh suasana mencekam.      "Mengapa suasananya berubah drastis?" tanya Reizh berbisik pada Zaviel       "Nanti kujelaskan."      Setelah beberapa saat, Zaviel menghela napas. Dia menatap kakaknya dengan iris hijau bulatnya.      "Dengar ya kak, di sekolah ini, ada yang bisa kita usik, ada yang tidak. Nah, semuanya terdiam dikarenakan empat orang yang baru masuk ke aula makan. Mereka adalah Marco Blake, Will Blake, Adler Scott dan Aslan Scott. Marco Blake dan Will Blake adalah dua putra dari penyihir hitam terkuat di seluruh dataran Regalion. Kalau Adler dan Aslan Scott adalah teman kecil mereka.      "Marco dan Adler seangkatan kita, sedangkan Will dan Aslan setahun diatas kita. Mereka punya prinsip yang tidak bisa kita ganggu gugat sedikitpun, kalau tidak menyinggungnya, mereka tidak akan peduli dengan eksistensi kita. Oh, Will Blake adalah ketua OSIS yang dimaksud kemarin." jelas Zaviel.      "Oh... Jadi mereka kelas L-I, ya."      "Mn. Tahun lalu, Will memenangkan Rainbow Galaxy Fest sebagai individu terkuat, dan tercerdas. Sumber kekuatannya ada pada pedang kutukan yang ia punya." sahut Jeanna menambahkan catatan kemegahan Will Blake.      Dari sana, Reizh berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyinggung keempat orang itu bagaimanapun keadaannya. Namun, jika orang-orang itu menyentuh garis bawahnya duluan, ia takkan ragu mencari masalah dengan keempatnya. Sekalipun ia harus kehilangan anggota tubuhnya, atau bahkan nyawanya.      Bunyi alarm yang bising memenuhi kamar Reizh. Dengan erangan pelan ia meraba-raba nakas di sebelah kasurnya kemudian mematikan alarm tersebut. Ia menguap lebar dan menatap ke arah balkon kamarnya yang terang. Senyuman mulai terlukis di wajah tampannya dengan lebar. Senyuman yang sangat indah, seakan Tuhan memahatnya ketika sedang berbahagia.      "Morning, world." ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.      Reizh bangkit dari posisi baring kemudian berjalan menuju walk in bathroom untuk mandi. Hari ini adalah hari pertamanya memasuki sekolah, alias hari pertamanya sebagai siswa SMA. Jadi, sebisa mungkin ia harus membuat image yang bagus. Sudah cukup buruk image miliknya sebagai 'Si Peringkat Terakhir'. Ia tidak ingin menambahnya lagi. Ia sudah cukup tertekan dengan itu. Harga dirinya akan terluka jika gelarnya bertambah.      Setelah mandi dan berpakaian khusus hari Senin, yaitu, kemeja putih lengan pendek, jas almamater hitam yang memiliki strip putih di bagian lengan bawah, dengan nametag di d**a kanan dan lambang sekolah di d**a kiri serta bet kelas di lengan kanan, celana panjang hitam, dasi hitam, kaus kaki putih, dan sepatu hitam.       Ia membuka pintu kamar dan melihat Matrix yang tengah berusaha memakai dasinya dengan susah payah. Reizh terkekeh melihat wajah putus asa Matrix      "Butuh bantuan, Mat?" tawar Reizh.      "Uhm, ya sebenarnya. Kalau kau tidak kerepotan." balas Matrix tersenyum.      "Sama sekali tidak. Tapi, aku jadi penasaran. Selama ini, siapa yang membantumu memakaikan dasi?"      Matrix terkekeh, "biasanya Raziel, tapi dia sibuk dengan Jay tadi. Sekarang dia sudah stay di depan pintu begitu aku agak sungkan mau meminta tolong."      Reizh membantu Matrix memakaikan dasi dengan sempurna. Setelah selesai, mereka berdua menyeret Jay dari hadapan televisi kemudian mengekori Raziel yang sudah membuka pintu kamar asrama mereka.      "Mereka ingin mendaftar sebagai anggota band atau bagaimana?" bisik salah seorang perempuan di koridor.      "Hah? Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya temannya bingung.      "Habisnya, keempatnya memiliki pancaran kharisma yang tidak dapat kutolak!" jawab gadis itu sembari terkekeh dan mendapat sikutan oleh temannya.      Keempat pemuda berwajah rupawan itu memasuki lift dan melewati tigabelas lantai untuk sampai di lantai satu. Ketika lift terbuka, mereka berjalan santai keluar gedung asrama, menuju lingkungan sekolah yang terpisah dari asrama.      "Kalian masuk kelas apa?" tanya Reizh berusaha membuka topik.      "L-V. Haha, penampilan kami menipu, ya?" tawa Jay. "Soalnya kan biasanya tipe-tipe semacam kami ini biasa ditemukan di suatu tempat yang penuh kesombongan. Apalagi wajah es semacam Raziel,"      'Sebenarnya, aku sudah menebaknya.' Hanya kalimat itu saja yang Reizh komentari, dalam hati, tentu saja.      "Ehm, iya, hehe." Reizh mengiyakan. "Omong-omong, kelas L-V itu dimana?"       "Ada, di lantai atas gedung L. Oh ya, Reizh, bagaimana sejarah SMP-mu dulu?" tanya Matrix.      "Hm... Hanya sekolah negeri biasa, sangat sedikit yang paham sihir, namun kebanyakan berlagak berkuasa hanya karena paham satu dua jenis sihir, seperti mengeluarkan api dari telapak tangan. Aku belajar pelajaran normal. Matematika, kimia, fisika, dan lainnya. Menurutku cukup normal." jawab Reizh sembari mengingat-ingat masa-masa sekolah menengah pertamanya.      "Begitu?" sahut Jay, "Apakah aku boleh tahu hal apa yang membuatmu masuk ke sini?" tanyanya dengan wajah penasaran.      "Aku kurang tahu, tapi surat yang diberikan oleh sekolah mengatakan bahwa aku memiliki inner power yang belum bangkit. Juga, gaya berpedangku lumayan. Yah, hanya karena secercah keberuntungan aku bisa masuk ke sini. Yah, aku tidak memikirkan lebih jauh sih. Sudah masuk ke akademi ini saja, sebuah anugrah bagiku." ujar Reizh sembari tersenyum simpul, "Omong-omong, wali kelas kita siapa?"      "Em... Siapa ya?" gumam Matrix sembari mengingat-ingat, "Ah! Mr. Milovan Clevo. Kudengar, tadinya beliau itu sekretaris pribadi kepala sekolah, tapi mengundurkan diri dan menjadi guru biasa. Padahal ia bisa mengajar L-I. Tapi kenapa malah memilih untuk mengajar kelas belakang seperti kelas kita, ya?"       Pertanyaan itu hanya dibalas angkatan bahu oleh Reizh dan Jay. Keduanya juga sama penasarannya dengan pemuda berambut pirang itu, namun mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti juga.      Ketika memasuki kelas, beberapa orang sudah mengisi slot tempat duduk yang tersedia. Reizh duduk di kursi yang berada di tengah. Raziel duduk di sebelahnya. Sedangkan Matrix dan Jay berada di belakangnya.      Tak lama dari sana, bel berbunyi nyaring. Tanda kelas akan segera dimulai. Derap langkah kaki terdengar di sepanjang lorong dan pintu itu terbuka. Menampilkan seorang pemuda berumur 20 tahunan memakai kemeja putih dengan kedua lengan digulung hingga siku dan celana hitam. Ia tampak memiliki senyum cerah untuk mengawali hari di kelas barunya.      Guru itu sedikit eksentrik. Bagaimana tidak, untuk ukuran guru, bahkan dia tidak memiliki rasa wibawa sedikitpun. Yang terasa hanyalah perasaan tentang pemuda normal yang hendak mengikuti kelas di universitas biasa. Namun, menurut Reizh, pembawaan guru yang santai seperti ini dapat membuat murid mudah memahami apa yang dijelaskannya dengan rinci.       Namun, Reizh tidak tahu bagaimana sifat asli guru tersebut. Tapi walaupun begitu, Reizh berharap, spekulasinya tentang guru ini tidak salah, dan hari-harinya di kelas ini terasa menyenangkan. L/N : Hai! Selamat datang di Resurrection! Semoga masih ada yang baca cerita ini, hehe. Apakah kalian puas dengan chapter kali ini? Jika ada kritik dan saran jangan sungkan-sungkan untuk meninggalkannya di komentar! Kalau sempat mampir ke ceritaku yang lain juga, ya! Tentunya dengan nama akun yang sama~ Stay safe, Luna
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD