Capitulum III : Teman Baru!

1530 Words
     Hingga senja tiba, laki-laki berambut sehitam arang yang kini berbaring di ranjangnya itu masih menutup mata biru jernihnya. Kemudian, karena merasa jiwanya telah selesai berjalan-jalan dan kembali ke raga tampannya itu, mata biru hampir abu-abu itu akhirnya menampakkan keindahan wujudnya.      "Jam berapa ini?" ujarnya dengan nada serak khas suara orang bangun tidur.      Ia mencari ponselnya dan terkejut dikala melihat waktu ponselnya telah menunjukkan pukul 05.57 PM. Bahkan, Reizh belum mengganti pakaiannya sejak ia berangkat dari Ashmere ke akademi.      Ia langsung bergegas mandi dan berganti baju. Setelah sepuluh menit, ia keluar dari walk in bathroom dengan kaos putih dan celana tanggung berwarna hitam. Memakai handuk, ia mencoba mengeringkan rambut hitamnya.      Reizh berpikir, alangkah baiknya jika di akademi ini terdapat sebuah minimarket khusus, minimal menjual beberapa camilan atau kudapan ringan untuk dimakan olehnya ketika lapar di tengah malam. Sehingga ia tidak perlu repot keluar akademi dan mencari minimarket di sekitar akademi. Selain menghabiskan waktu, itu juga menghabiskan tenaga.      Akhirnya, setelah menimbang-nimbang dan memperkirakan pukul berapa ia kembali, ia memutuskan untuk membeli kudapan di minimarket terdekat yang ada di sekitaran akademi.      Pemuda dengan rambut sehitam jelaga itu mengambil jaket, ponsel dan payung lipat kecil untuk berjaga-jaga jikalau hujan datang kemudian berjalan keluar kamarnya, menuju keluar akademi untuk beberapa kudapan ringan yang dapat mengganjal perutnya.      Akhirnya, pemuda itu tiba di minimarket yang jaraknya sekitar 500 meter dari gerbang akademi. Begitu ia menginjakkan kaki di lantai minimarket, hujan turun dengan deras, disertai guntur dan petir. Diam-diam Reizh bersyukur Tuhan masih memberinya keselamatan sampai tujuan.      Reizh mengambil keranjang dorong berukuran medium dari tempatnya kemudian meluncur menuju rak camilan. Setelah merasa cukup, ia kembali melihat keranjang dorongnya yang penuh dengan barang. Ia membeli kripik, permen, manisan, mie instan pedas setan, s**u murni, teh tarik, teh s**u, teh hijau, nasi kepal, sikat gigi, pasta gigi, dan masih banyak lainnya.      Keranjang medium itu bahkan telah terisi sepenuhnya. Setelah menimbang bahwa tak ada lagi yang kurang, Reizh langsung menuju kasir yang untungnya sepi. Ia langsung membayarkan tagihan untuk belanjaannya dan berdiri di beranda minimarket. Menatap langit dengan wajah kecewa dan pasrah.      Langit masih sangat gelap. Hujan tidak ada niatan untuk berhenti. Reizh mengambil satu nasi kepal dan menghela napas. Ia akan melewatkan makan malam. Bagus, padahal menu makan malam hari ini sangat enak menurut pengakuan Zaviel. Ia ingin menerobos hujan, tapi takut payung nya akan terbang, dan itu akan sangat memalukan. Demi harga diri, makanan rela ia korbankan.      Tiba-tiba, ponsel Reizh berdering. Reizh buru-buru mengangkatnya. Tak perlu melihat siapa, dari nada deringnya saja, Reizh tahu siapa yang menelpon.      "Halo?"      "Kakak dimana sih!?"      "Minimarket. Ada apa?"      "Makan malam sudah tiba! Kakak bisa-bisa tidak akan mendapat jatah makan malam nanti. Di luar hujan deras, kan?"      "Em, iya. Tidak masalah, aku sudah beli mie instan, dan beberapa telur. Aku bisa memasak mereka jika aku lapar nanti malam."       "Hah. Dasar! Jangan membuat umurku menjadi pendek karena mengkhawatirkan kakak. Pulanglah jika hujan sudah reda. Jam malam dimulai pukul 10 malam. Jangan sampai tertangkap satpam patroli."      "Siap."       Reizh bersandar di salah satu pilar minimarket. Tiba-tiba salah satu pegawai minimarket, seorang gadis berambut sebahu menghampiri Reizh. Reizh sedikit terkejut, namun ia memilih menyapa gadis itu.      "Ada yang bisa saya bantu, nona?" tanya Reizh sembari tersenyum.      "Eng... Em... Itu... Sa-saya cuma ingin berkenalan!" ucapnya gugup sambil menyelipkan rambut di belakang telinganya. Dia pernah dengar, perempuan akan terlihat manis jika melakukan itu. Dan, ia akui, wajahnya lumayan manis. Itu adalah yang ada di pikiran gadis itu. Bahkan dalam mimpi, Reizh tidak akan pernah memikirkan kemungkinan itu.      "Oh? Saya Reizh. Nona sendiri?" balas Reizh mengajak bersalaman.      "Na-nama saya Elis Wood. Se-senang berkenalan denganmu." ucap Elis menyambut uluran tangan Reizh.      'Yess, lampu hijau nih?' Batin Elis.      Mereka berdua mengobrol beberapa saat sampai Elis dipanggil oleh rekannya untuk kembali bekerja. Reizh mengangguk saja dan kembali melihat hujan. Sebenarnya, ia lumayan terhibur dengan teman mengobrol sembari menunggu hujan, namun ia sendiri lebih suka menikmati hujan sendirian. Aroma patrichor yang disebar membuat bisa Reizh tenang. Ya, dia adalah seorang Pluviophile. Seorang pecinta hujan.      Tak lama dari sana, ia mendapati hujan yang mulai reda. Dia berteriak kecil untuk mengekspresikan rasa senangnya dan membuka payungnya. Ia menggantungkan plastik ringan ke gagang payungnya yang berbentuk seperti huruf J dan ia memegang sebagian plastiknya lagi. Ia melihat ke arah jam tangannya. Pukul setengah delapan malam. Tidak buruk. Masih ada waktu yang panjang sebelum jam malam tiba.      Reizh berjalan menuju akademi dan untungnya diizinkan masuk oleh petugas. Reizh secepat kilat berlari menuju lift dan menekan nomor 15. Setelah tiba di lantai itu, ia memasuki kamarnya dan menyimpan kudapan itu di kulkas. Dan mengeluarkan makanan yang bisa membuatnya kenyang dan akan ia hangatkan.      Mie rebus adalah makanan yang ia pilih. Ia menyantap mie rebus itu sembari menonton berita malam dengan tenang. Setelah selesai makan, ia mencuci mangkuk, cuci muka, sikat gigi, mengganti pakaiannya menjadi piyama dan mulai mengarungi dunia mimpi.      Jalan pagi, adalah salah satu rutinitas seorang Reizhart Rexarchel Raviendenzel Schultz. Saat ini, dengan kaos hitam, jaket abu-abu, celana training abu-abu, topi terbalik berwarna hitam, dan ditemani musik dari ponselnya, pemuda itu berjalan santai di sekitar area asrama.      Namun, setelah bosan berkeliling di lingkungan dalam asrama, ia memutuskan untuk berjalan keluar asrama. Bahkan, petugaspun sampai menanyakan kenapa Reizh begitu sering keluar, dan dijawab oleh Reizh dengan polosnya;     "Asrama akademi sedikit  membosankan, jadi cari angin diluar bukan hal buruk juga, jika memungkinkan, kita bisa latihan atau jalan pagi bersama. Daripada bapak duduk merenung di sudut dan meratapi hidup tanpa ada semangat?" kekeh Reizh      "Kamu ini pintar sekali berbicara. Siapa namamu?"      "Reizh, pak."      "Boy, mulai besok, kalau berniar jalan pagi, ajak Pak Jo juga, ya! Sekarang, kamu boleh pergi sendiri." ujar Pak Jo dengan ramah tersenyum dan menepuk pundak Reizh.      "Wah, terima kasih banyak, Pak Jo! Aku jalan pagi dulu ya, Pak! Sampai nanti!" seru Reizh sembari melambaikan tangannya dan berlari kecil keluar asrama.      "Iya. Hati-hati Boy!"      Reizh berlari kecil keluar gerbang. Sembari mendengarkan musik dari ponselnya, ia menghirup udara sebanyak mungkin dan mulai perjalanannya lagi. Namun, di perjalanan ia mendengar suara kucing. Ia menengok ke kanan dan kiri, mencari sumber suara. Sampai akhirnya, ia menemukan asal suara dan berjalan mendekat.      "Hai meong-"      Ucapan Reizh terhenti tatkala melihat seorang gadis berambut hitam diikat kuda dengan gaya tomboi yang memakai kaos hitam dengan luaran kemeja bermotif Tartan merah dan legging hitam tengah memberi makan tiga anak kucing di dalam kardus.      "Uhm, hai?" sapa gadis itu sedikit canggung.      "Hai juga." balas Reizh tersenyum sembari mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu berdiri.      "Kau suka kucing?" tanya gadis itu sembari menerima uluran tangan Reizh.      "Mn. Mereka imut, dan menurutku, suara dan wajah mereka menggemaskan. Walaupun tidak memiliki alis, mereka dapat berekspresi." balas Reizh sembari tersenyum hangat menatap kucing-kucing itu.      "Bagaimana jika kita duduk di bangku taman itu dulu? Kau habis berolahraga 'kan? Kau pasti lelah. Membiarkanmu berdiri setelah berolahraga sangat tidak sopan." kekeh gadis itu.      "Dimanapun dan kapanpun, etiket seorang bangsawan memang harus selalu dikagumi, ya." balas Reizh mengangguki saran sang gadis.      "Eh, tunggu, kau bilang... Apa?"      "Bangsawan. Kau ini seorang bangsawan, kan?"      "Kau... Tahu darimana? Bahkan gaya ku tak tampak seperti gadis bangsawan-—setidaknya dimata Mama, kembali ke topik. Bagaimana kau tahu? Apa kita pernah bertemu? Kau bangsawan dari negeri man-"      Reizh tertawa dan meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri, "Sssh! Aku ini bukan bangsawan, lagipula, aura seorang bangsawan terpancar sekali dari dirimu. Walaupun kamu bergaya tomboi, kulit dan kukumu terlihat terawat, pasti ada yang merawatnya sebaik itu. Juga, kau masih memperhatikan beberapa etika kebangsawanan. Oh ya, namaku Reizh. Kau?"      "Skye."      Reizh mengangguk singkat, "Skye, ya? Kau sedang apa di taman ini?"      "Saat aku berjalan-jalan keluar dari tempat tinggalku, aku menemukan anak-anak kucing. Jadi, aku memberi mereka makanan sedikit." balas Skye      "Begitu... Hei, kurasa aku tertarik denganmu." ujar Reizh tanpa menatap Skye.      "Menarik dalam artian apa?" tanya Skye menengok ke arah Reizh.      "Tertarik, dalam hal pertemanan, sepertinya. Habisnya, kau unik sekali, sih. Aku tidak bisa menahan rasa ingin berteman denganmu. Bagaimana jika kita membuat sebuah salam tersendiri untuk kita?"      Skye tersenyum lebar dan berkata, "Hm... Aku tertarik. Bagaimana kita mulai dengan kata-kata 'Heyy' sambil menunjuk satu sama lain dengan wajah aneh, lalu saling menamparkan tangan kanan kita, menyatukan tinju dua tangan vertikal dan horizontal, menyatukan tangan kanan dan mengadu tubuh dan..." Skye tampak terlihat berpikir keras.      "Mencubit pipi/hidung!" ucap Reizh dan Skye berbarengan. Reizh mengusulkan mencubit pipi Skye, Skye mencubit hidung Reizh. Mereka tertawa seolah mereka memang benar-benar telah menjadi sangat akrab sebelumnya.       Reizh yang ramah serta ceria, bisa seakrab itu dengan Skye yang easy going dan riang dalam waktu kurang dari 60 menit. Ketika obrolan seseorang dikatakan nyambung, dari sanalah sebuah kenyamanan tercipta. Orang-orang yang melihat keduanya akan mengira bahwa mereka telah berteman sejak kecil hanya dengan melihat keakraban dan topik obrolan mereka.      Halo! Hari ketiga di Dreame. Masih belum ada yang baca ya? Hehe. Gak papa deh, pelan-pelan pasti ada! See you guys di chapter selanjutnya! Semoga kalian tetap suka ya, dengan cerita ini! Sincerely, Luna❣
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD