Capitulum V : [Aura]

1575 Words
     Milovan tersenyum sembari menatap anak-anak muridnya tahun ini. Segar, bersemangat, dan berapi-api. Sikap ini begitu terlihat di kedalaman mata milik masing-masing anak. Ia cukup puas dengan penampilan pertama ini. Cukup untuk membuktikan bahwa anak-anak ini cukup berpotensi.      "Aku tidak akan meminta kalian melakukan perkenalan yang membosankan. Nanti akan kuberi kalian waktu untuk berkenalan satu sama lain saja. Nah, sekarang, aku akan memberikan pelajaran." ujarnya lugas sembari tersenyum.      "Ini baru hari pertama loh, Sir." protes Jay dengan wajah cemberut.      Milovan tertawa renyah mendengar protesan murid barunya itu, "Ahahaha! Aku yakin kalian akan menyukainya. Aku akan membuka [Aura] milik kalian. Tertarik?" tanyanya sembari memainkan spidol-mencoba untuk memancing rasa penasaran anak-anak didikannya.      Seketika, mata murid di kelas itu berbinar. Tentu saja mereka tidak menyangka bahwa guru mereka akan menawarkan hal seperti ini di hari pertama mereka duduk di bangku kelas L. Hal ini menyebabkan hati mereka begitu gembira dan berteriak bersama-sama, "Tentu saja!"       "Baik." balas Milovan sembari tersenyum simpul. "Sudah kuduga ini jalan yang benar. Kalian memiliku semangat yang bagus. Kalau begitu, ada yang tahu, apa itu [Aura]?"      Seorang gadis berambut pirang mengangkat tangannya, "Namaku Jacqueline Bouchard. Yang dimaksud dengan [Aura] adalah suatu pancaran atau lingkaran cahaya yang dikeluarkan oleh seseorang yang dapat menjadi identitas diri."      Milovan menjentikan jarinya, tetap tersenyum dan membenarkan perkataan Jacqueline, "benar! Sangat benar. [Aura] adalah sebuah pancaran atau lingkaran cahaya pada tubuh seseorang. Masing-masing orang memiliki warna yang berbeda. Beda individu, beda pula [Aura] yang mereka miliki. Seperti saya, contohnya."      Milovan menutup matanya dan secara perlahan namun pasti, warna ungu muda dan cokelat keluar dan berpendar di sekeliling tubuhnya. Tampak bahwa kedua warna yang saling bertolak belakang itu menyatu dan menyelimuti tubuh Milovan. Hal ini menyebabkan murid-muridnya terpana. Mengagumi keindahan tersebut.      "Sir, Anda..."      "Ya. Aku memiliki dua [Aura]. Ayahku adalah seorang [Werewolf], sedangkan Ibuku seorang [Pytholis]. Jadi, aku memiliki keduanya. Namun, karena aku hanya [Half-werewolf], aku tidak memiliki mate tetap. Aku seperti manusia biasa." potong Milovan sambil menyimpan kembali Aura miliknya.      "Bukankah seorang [Pytholis] biasanya juga memiliki mate-nya sendiri?" tanya Skye.       "Tidak juga. Itu hanya berlaku pada [Pytholis]-[Werewolf] atau [Pytholis]-[Vampire] yang dominan pada sisi werewolf dan vampire-nya. Sedangkan aku tidak memiliki mate tetap, karena aku bukan dominan ke arah Werewolf, melainkan Pytholis-nya."      Penjelasan itu membuat murid-murid paham dan ber-oh ria bersama-sama. Milovan diam-diam terkekeh melihat kekompakan murid-murid yang akan ia ajar selama setahun ke depan ini.      "Baiklah. Kita kembali ke topik utama. Menurutku, cara membangkitkan [Aura] cukup berbahaya. Karena, bisa saja ini membangkitkan Sisi Jahat kalian. Kalian pasti pernah mengunjungi istana penyucian ketika kalian kecil. Itu adalah sebuah ritual penyegelan massal untuk mencegah sisi jahat atau [Darkside] kalian terbangun.      "Nah, dalam rangkaian pembangkitan [Aura], seseorang harus melawan ketakutan terbesar mereka. Jika berhasil melawan ketakutan itu dengan baik dan benar, imbalannya besar. Cukup besar untuk membuat kalian kagum. Pertama, kalian akan berhasil membuka [Aura] milik kalian. Kedua, jika kalian telah dapat membuka [Aura], [Loicerys] kalian akan lebih mudah menemukan kalian. Ketiga, [Soul Weapon] dan [Soul Partner] juga akan lebih mudah didapatkan karena mereka akan tertarik dengan [Aura] unik milik kalian." jelas Milovan panjang lebar.      "Sir, Anda sendiri... Apa kesulitan terbesar Anda?" tanya Ash. Pertanyaan itu seakan mewakili setiap kepala yang hadir di ruangan.      Milovan mengetukkan jari telunjuknya di dagunya, "kalau berdasarkan yang aku ingat, aku tidak menemukan kesulitan apapun."      "Waaahh!!"       Jawaban Milovan membuat mereka terkejut sekaligus kagum. Murid kelas L-V langsung mengungkapkan kekaguman yang besar pada wali kelas mereka yang sangat mahir membuat kejutan bagi mereka itu. Baru beberapa menit sejak ia masuk, dan mereka sudah dikejutkan beberapa kali.      Milovan menghentikan euforia anak-anaknya dengan berkata, "aku berhasil karena aku memiliki trik. Trik ini kudapatkan dari Tuanku. Yah, bukan trik yang sulit sebenarnya. Pada intinya trik ini hanya satu hal sederhana, jangan takut pada apa yang kalian takuti. Abaikan. Dia hanyalah bayangan kalian. Anggaplah itu hanya imajinasi. Kalian boleh mencaci maki ketakutan itu hingga dia perlahan menghilang. Hanya itu kuncinya. Dan sebelum memulai, jangan lupa, mantranya, oke?"      Murid-murid mengangguk secara serempak dan berteriak bersama-sama dengan kompak pula, "Demi alam semesta, temukanlah jati diriku, [Open the Aura]!"      Setelah mantra diucapkan, ruangan itu mendadak senyap. Semua orang kecuali Milovan tenggelam dalam ketakutan mereka masing-masing. Milovan lagi-lagi tersenyum kecil. Pria itu berjalan mengitari kelas sembari memperhatikan murid-muridnya. Hanya ia yang tahu seberapa berharapnya ia pada murid-muridnya tahun ini.      Reizh membuka matanya secara perlahan. Namun ia hanya melihat ruang kosong. Ia berseru beberapa kali, berharap ada seseorang yang dapat membalasnya. Dalam hati, ia berpikir, apa dia tidak memiliki ketakutan? Tapi karena hal tersebut selalu mustahil, ia memutuskan untuk mencari jalan.      Akhirnya, setelah berputar-putar beberapa kali, ia melihat sebuah pintu. Ia berlari menuju pintu tersebut dan sebuah pemandangan yang familiar terlihat berada tepat di matanya. Ini rumahnya, rumah yang ia tinggali sepanjang hidupnya hingga saat ini. Melihat rumahnya ketika mencari ketakutan, tentu saja membuat Reizh awalnya merasa bingung. Namun, kebingungannya hilang ketika ia membuka pintunya, Kakek dan Neneknya terbaring bersimbah darah di lantai. Mata Reizh membulat. Rasa bingung itu tiba-tiba menguap tergantikan oleh rasa takut.      "Kek? Nek? Kakek! Nenek!" Reizh berlutut dan menggoyangkan tubuh keduanya dengan panik.      Reizh beranjak dari sana dan menuju kamar Zaviel, berharap bahwa adiknya baik-baik saja. Namun harapannya pupus ketika ia menemukan Zaviel berada di ranjangnya dan bersimbah darah juga. Reizh begitu panik dan segera mengeluarkan ponsel untuk memanggil ambulans. Tetapi, begitu hendak menekan tombol hijau bergambar gagang telepon, tangannya terhenti. Ingat, kalau ia tidak seharusnya menelepon.      Dengan rasa panik dan takut yang berangsur-angsur hilang, ia bergumam, "Ini tidak nyata." dan seketika, dunianya teralih kembali. Tergantikan oleh ruang kelasnya.       Begitu membuka matanya, Reizh mendengar teguran di samping tubuhnya, "Hei?"      Reizh terkejut dan menengok ke sebelah kanan, asal sumber suara itu. Terlihat di sana Milovan tersenyum dan menepuk kepala Reizh, "siapa namamu?"      "Reizhart Rexarchel Raviendenzel Schultz. Reizh." jawab Reizh cepat.M      Milovan tersenyum hangat, "Bagus. Kau menjadi orang pertama yang sadar dari ketakutan. Hanya memerlukan waktu tiga menit. Mungkin mereka akan lebih lama sadar, tapi kita bisa mengobrol sembari menunggu mereka sadar."      Reizh mengangguk paham kemudian bertanya,"Mn. Sir, bolehkah aku bertanya?"      Milovan tertawa dan menjawab, "kamu sudah bertanya,"      Reizh menggaruk kepalamya yang tidak gatal. Kemudian bertanya dengan serius, "Aku hanya ingin tahu, apa warna [Aura] milikku?"      "[Aura] milikmu, ya?" Milovan mengetukkan jari telunjuknya di dagu, "Aku akan memberitahumu. Tapi, dengan satu syarat, kau tidak boleh memberitahunya kepada siapapun. Siapapun itu. Jika belum waktunya. Ah, jika kamu belum kuat untuk menanggungnya."      Reizh agak sedikit cemas dan menjawab, "Um... Oke? Jika ini soal keselamatanku, untuk apa aku membocorkannya?"      "Baiklah," Milovan menghela napas, "warna [Aura] milikmu itu... Tidak jelas."      "Tidak jelas? Maksud Anda aku memiliki [Freaking Aura]?" Reizh mengernyitkan dahinya.      "Bukan begitu." sanggah Milovan, "warna [Aura] milikmu selalu berubah-ubah. Aku tidak dapat memastikannya secara sangat pasti karena kamu terpejam hanya selama tiga menit."       "Begitu..." ujar Reizh begitu ia paham namun ia menjadi bingung lagi, "jika aku ditanya mereka-"      Milovan tersenyum simpul, "Aku tidak akan membeberkan yang sebenarnya. Aku akan mengumumkan warna [Aura] mereka dengan benar, namun [Aura] milikmu akan aku tetapkan sebagai warna ungu muda. Itu tidak masalah, bukan?"      "Ta-tapi sejak kecil, aku tidak bisa menggunakan sihir, sedikitpun. Bagaimana bisa aku menjelaskan itu, nantinya?" tanya Reizh. Ia merasa cemas sekaligus bingung.      Milovan berpikir sejenak kemudian menjentikkan jarinya, "Baiklah, kalau begitu gunakan saja identitas sebagai manusia, yaitu warna abu-abu sampai kamu bisa menggunakan sihir, oke? Kita bisa menjelaskan sisanya nanti."      "Mn."      "Baiklah, selamat untuk kalian semua karena berhasil melawan ketakutan kalian. Aku akan menuliskan di papan tulis hasil warnanya. Sesuai absensi. Jadi, silakan perhatikan ke depan." ucap Milovan begitu semua murid kelas L-V sadar.      Semua nama dituliskan oleh Milovan di papan tulis. Dia menuliskannya dengan cepat dan semuanya berteriak bersemangat karena mereka berhasil, bahkan tanpa menguji dua kali, karena meski mereka sedikit tersesat, mereka akan dibantu oleh Milovan untuk menemukan jalan kembali.      Milovan berkata dengan serius, "Perlu kalian ketahui bahwa memiliki [Aura] juga termasuk membawa masalah untuk kalian. Yaitu, akan dengan mudahnya Xerxes mendeteksi kekuatan kalian. Lalu, semakin jelas [Aura] milik kalian, semakin kalian dikejar olehnya. Jadi, sebisa mungkin jadilah kuat. Untuk melindungi diri sendiri, serta orang-orang yang kalian sayangi.      "Nah, karena bel makan siang sudah berbunyi, sebaiknya kita keluar dan mengisi perut. Sampai jumpa!"      Pelajaran berakhir dengan kalimat sampai jumpa. Awalnya, semua anak ingin keluar dari kelas, bersiap untuk meluncur menuju kafetaria dan mengambil tempat duduk, namun Reizh tiba-tiba berseru, "Hei, apa tidak ada yang memiliki niat berkenalan lebih dekat? Kurasa suasana di kelas akan menjadi lebih nyaman jika kita kenal satu sama lain."      "Kenapa tidak?" sahut seseorang, "aku Vernon Wyver, seorang pengendali listrik. Aku masuk ke kelas ini karena pengendalianku yang sangat buruk."       Dari sana, dimulailah perkenalan antarmurid. Dalam sekejap mereka sudah kenal satu sama lain. Matrix mengusulkan untuk pemilihan perangkat kelas, dan berakhir menjadi Raziel sebagai ketua kelas.       Awalnya, hampir semua murid di kelas itu berpikir, adalah sebuah kesialan masuk ke dalam kelas terburuk, namun, semuanya berubah ketika mereka mulai kenal satu sama lain. Terutama, di kelas itu memiliki beberapa anak yang pandai membuat gurauan seperti Reizh, Jay, Vernon, dan lainnya, membuat suasana selalu ceria. Bahkan, mereka membeli makan siang dan makan bersama di kelas sembari berbagi cerita menarik. L/N : Chapter kelima di Dreame! Gimana? Sudah bisa melihat pengembangan alurnya, belum? Menurut kalian, cerita ini bakal berkembang sampai mana? Apakah seseru itu? Finding the El Dorado, Luna
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD