Bab 7. Mama dan Sopirku

1375 Words
“Nona Anna enggak apa-apa?” tanya Rahes yang kemudian membantu gadis itu bangkit. “Aah … kakiku sakit sekali, Rahes,” ucapnya. Rahes menoleh ke arah pengendara motor yang kemudian melarikan diri. Pria itu menoleh lagi ke arah Anna dan buru-buru melihat kakinya yang memar. Sepertinya hanya terkilir. Namun, ia mencoba memeriksanya usai mengangkat tubuh gadis itu ke bangku tak jauh dari sana. “Tahan sebentar, ya, Nona,” ucap Rahes kemudian. Pria itu mencoba memeriksanya. Sesekali memijit, kemudian meminta Anna untuk menahan rasa sakitnya. Tak lama gadis itu berteriak, “Aah … sakit, Rahes,” katanya. Pria itu mendongak, lantas meletakkan kaki Anna ke tanah dengan perlahan. “Coba berpijak, Nona. Apa masih sakit?” tanya Rahes. Anna mengusap sudut matanya yang berembun, lalu mengikuti arahan Rahes dan berpegangan padanya. Saat kakinya menapak tanah, ia merasakan hal yang lebih baik. “Bagaimana?” tanya Rahes. “Iya, udah begitu sakit,” katanya kembali mengempaskan tubuhnya ke bangku. “Tapi kita tetap harus pergi ke dokter. Saya takut ada yang tidak beres,” kata Rahes. Anna mengangguk lemah. Rahes kemudian membereskan buku-buku milik Anna yang terjatuh dan memasukkannya ke mobil. Sebelum pergi ke dokter, ia menemui dosen yang saat itu sudah mengajar di ruangan Anna dan memintakan izin. “Kita ke dokter sekarang, Nona,” ucap Rahes usai kembali dari kelas. “Iya.” Anna mencoba untuk bangkit. Namun, ia kembali terduduk karena kakinya masih sakit. Saat itu, Rahes tanpa permisi menggendong tubuh Anna dan membawanya ke mobil. Lengan gadis itu melingkar ke leher Rahes yang dengan entengnya mengangkat tubuh Anna. Seketika, d**a Anna berdebar dengan keras. Ia tak tahu, tapi hanya mencium aroma tubuh Rahes saja, ia jadi tidak bisa berkonsentrasi. Bahkan saat Rahes telah menurunkannya di kursi penumpang. “Nona,” panggil Rahes. Anna langsung tersadar dan melepas lengannya yang melingkar di leher Rahes. Gadis itu menunduk karena tiba-tiba merasa jengah. Bisa-bisanya ia jadi salah tingkah. “Kita langsung ke dokter saja,” ucap Rahes. “I–iya,” sahut Anna terbata-bata. Rahes kemudian mengangguk. Ia berpindah ke belakang kemudi dan langsung membawa gadis itu ke dokter. Anna menunjukkan di mana dokter langganan keluarga Sanjaya. Dan Rahes segera melajukan kendaraan itu ke sana. Sesampainya di sana, Rahes kembali mengangkat tubuh Anna dalam gendongan dan membawanya masuk. Ia mendudukan gadis itu di bangku besi yang ada di sana dan segera bertanya pada perawat. “Sus, apa Dokter Kadek ada?” tanyanya. “Ada, Pak. Keluarga Sanjaya, ya?” “Iya.” “Silakan masuk ke ruangan di sebelah sini,” kata perawat seraya meminta Rahes membawa Anna masuk. Buru-buru pria itu mengikuti apa yang dikatakan oleh perawat. Keduanya masuk. Rahes segera menurunkan tubuh Anna di brankar agar dokter bisa memeriksanya. “Nona Anna kenapa? Terjatuh?” tanya dokter. “Bukan, Dok. Tadi–” “Iya, Dok. Saya enggak sengaja terjatuh,” sahut Anna kemudian. Rahes menoleh pada anak majikannya itu. Ia mengernyit. Pria itu merasa heran, kenapa Anna tidak jujur saja mengenai pengendara motor yang tampaknya memang sengaja ingin mencelakainya. “Baiklah, saya periksa dulu,” ucap dokter. Rahes kemudian keluar dan mengempaskan tubuhnya di kursi ruang tunggu. Ia mulai memikirkan pemotor yang tadi hampir mencelakai Anna. Entah siapa dia. Namun, ia tahu itu adalah hal yang disengaja. Mana bisa berkendara secara ugal-ugalan di area kampus seperti tadi. Tak lama kemudian, perawat meminta Rahes untuk masuk. Pria itu pun manut. Ketika sampai di dalam, ia melihat kaki Anna telah diperban oleh dokter. “Hanya terkilir, tapi karena kamu telah melakukan pertolongan pertama dengan baik, kaki Nona Anna akan segera pulih,” jelas dokter. “Iya, Dok.” Rahes menoleh ke arah Anna yang tersenyum kepadanya. Tatapannya sangat tulus. Entah karena apa. Nyatanya, hal itu membuat Rahes ragu untuk menjadikan Anna umpan seperti Melisa. Saat Rahes hendak mendekati ranjang, pintu ruangan dokter terbuka dari luar. Sanjaya yang masuk. Pria itu tampak gusar usai mendengar kabar dari suster tadi jika sang putri dibawa ke klinik dengan kaki terluka. “Sayang, kamu enggak apa-apa? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Sanjaya memberondong pertanyaan kepada sang putri seraya menangkup kedua pipinya. Anna hanya menggeleng seraya tersenyum. Ia hendak menceritakan semuanya sesuai versinya, tapi Sanjaya langsung berpaling pada Rahes yang berdiri tak jauh darinya. “Saya sudah bilang untuk menjaga anak saya. Kenapa Anna bisa sampai seperti ini? Hah?” tanya Sanjaya seraya menarik kerah baju Rahes. Pria itu melempar bogem beberapa kali ke wajah paripurna Rahes hingga pelipis dan sudut bibirnya memar. Saat itu, Anna langsung bereaksi. “Pa, ini bukan salah Rahes. Anna yang enggak hati-hati. Jangan salahin Rahes, Pa,” kata gadis itu. “Saya bisa jelaskan, Tuan,” sahut Rahes seraya menahan rasa sakit ke wajahnya. “Enggak perlu. Kamu saya pecat sekarang,” kata Sanjaya kesal. Rahes mulai hilang akal. Rencananya akan gagal jika ia dipecat sekarang. Namun, Sanjaya tampak begitu emosi. Bagaimana ia bisa mengendalikan situasi ini. “Lepaskan dia, Pa! Kamu harus dengar apa yang mau dikatakan oleh Anna. Jangan menuduh seperti ini.” Tiba-tiba Melisa muncul dari ambang pintu dan memisahkan keduanya. Saat itu, Sanjaya membuang napasnya dengan kasar karena sang istri menariknya untuk menjauhi sopir Anna yang sejak tadi diam saja. “Iya, Pa. Dengerin Anna dulu. Semua ini bukan salah Rahes. Anna sudah masuk ke kampus dan enggak sengaja terjatuh. Papa jangan salahin orang sembarangan,” jelas Anna. Sanjaya menoleh ke arah sang putri, lalu menangkup pipinya dengan lembut. “Benar begitu?” tanya pria itu. “Iya, Pa. Anna yang enggak hati-hati,” jelas sang putri. Sanjaya akhirnya melunak. Ia membuang napasnya dengan gusar dan menoleh ke arah Dokter Kadek yang sejak tadi hanya diam. “Bagaimana keadaan kaki anak saya, Dok?” tanya Sanjaya kemudian. “Sudah lebih baik, Pak. Pertolongan pertama yang dilakukan oleh sopir Bapak memberi dampak positif karena ototnya akan segera sembuh setelah istirahat nanti,” jelasnya. Sanjaya membuang napasnya dengan kasar. Bahkan dokter mengatakan bahwa Rahes telah menolong sang putri. Baiklah, ia tak akan menyalahkannya kali ini. “Oke, terima kasih, Dok.” “Saya akan berikan obat pereda nyeri, tapi Nona Anna harus bedrest untuk memulihkan kondisi kakinya,” jelas dokter. Sanjaya mengangguk. Ia lantas menoleh ke arah Anna dan menunduk dalam. “Kita pulang,” katanya. “Iya, Pa.” Sanjaya menggendong gadis itu dan membantunya duduk di kursi roda. Pria itu berhenti di depan Rahes, lantas menatapnya dengan tajam. “Ambil obatnya di apotek. Bawa mobilnya, Anna akan pulang denganku,” katanya. “Baik, Tuan,” sahut Rahes kemudian. Sanjaya kemudian bergegas. Ia mendorong kursi roda Anna menuju ke parkiran. Diekori oleh Melisa yang sebelumnya telah memberikan kode pada Rahes untuk manut. Sementara pria itu bergegas mengambil resep dari dokter dan membawanya ke apotek. Dalam perjalanan pulang, Rahes masih memikirkan pemotor yang hampir saja mencelakai Anna. Itu jelas disengaja. Namun, siapa yang hendak melakukan itu. Apakah itu musuh dari bisnis Sanjaya? Pria itu menggeleng lemah. Karena kejadian itu ia jadi tidak fokus pada tujuan utamanya. Hampir saja ia kehilangan pekerjaan dan semuanya jadi sia-sia. Sesampainya di rumah, Rahes memberikan obat yang ia ambil dari apotek milik Anna pada Marni. Ia meminta wanita itu memberikannya pada Anna. “Iya. Aku akan memberikannya. Kamu butuh obat untuk lukamu, Hes?” tanya Marni. “Enggak perlu, Mbak. Terima kasih.” Marni mengangguk. Ia naik ke kamar Anna, sedangkan Rahes kembali ke kamarnya. Ia harus memutar otak demi bisa membuat Sanjaya percaya padanya dan tidak mencurigainya. Entah dengan cara apa. *** Malam itu, Anna yang sejak tadi ada di ranjang meminta Marni membantunya naik ke kursi roda. Ia ingin pergi ke balkon demi mengendapkan rasa bosannya karena tak boleh ke mana-mana. Saat sudah sampai di balkon, ia melihat halaman belakangnya yang gelap. Saat itu, tanpa sengaja sesuatu menarik perhatian Anna. “Bik Mar, apa Papa belum kembali dari kantor?” tanyanya. “Belum, Non.” “Kalau Mama? Apa dia di rumah?” tanyanya lagi. “Nyonya sejak tadi ada di kamarnya, Non. Apa perlu saya panggilkan?” tanya Marni lagi. “Enggak, Bik. Coba Bik Marni ke sini. Apa itu Mama yang ada di depan kamar Rahes?” ucap Anna seraya meminta sang ART melihatnya. Marni hanya bisa diam. Ia sendiri menyaksikan sang nyonya memegang pipi sopir anaknya dengan lembut. Jadi, apakah keduanya memiliki hubungan dekat? Batin Marni dan Anna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD