“Ekhmm ….”
Sanjaya berdeham ketika merasakan tenggorokannya yang kering. Ia lantas bangkit dan hendak mengambil minum di dapur. Langkahnya pasti menuruni anak tangga dan menuju ke arah dispenser. Segelas air tandas melalui tenggorokannya. Ketika ia hendak kembali ke kamar, Sanjaya melihat sekelebat bayangan melewati lorong. Gegas ia melihatnya.
Ternyata itu adalah Rahes. Tanpa menaruh curiga sedikit pun mengenai dari mana pria itu tadi, Sanjaya mengikutinya dan berusaha menahan langkahnya.
“Hai, kamu,” katanya.
Rahes berhenti. Namun, belum memutar tubuhnya. Alarm bahaya dalam kepalanya berdering. Sialan. Ia baru saja meniduri istri Sanjaya. Apakah pria itu mengetahuinya?
“Iya, Tuan,” jawab Rahes seraya berbalik.
Pria itu mencoba untuk tetap tenang selagi Sanjaya mengikis jarak. Walaupun tampak biasa saja, tapi Rahes merasa berdebar-debar. Ini yang pertama sejak 15 tahun yang lalu ketika terakhir kali ia bertemu dengan pria licik di depannya.
“Apa benar Darman pulang ke kampungnya?” tanya Sanjaya.
Rahes membuang napasnya dengan sedikit kasar. Rupanya pria itu tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan di kamar sang istri. Jadi, ia bisa tenang sekarang.
“Benar, Tuan,” jawab Rahes santai.
“Selama ini aku engga pernah tau kalau dia punya keluarga di kampung. Lantas, kamu siapanya dia?” tanya Sanjaya penuh selidik.
“Saya tetangganya di kampung, Tuan. Kebetulan saya baru saja menyelesaikan kuliah. Jadi, membutuhkan pekerjaan. Pak Darman menawari saya menjadi sopir di sini,” jelas Rahes.
Sanjaya menelisik penampilan sopir baru sang putri dengan saksama. Mulai dari atas sampai bawah. Tidak ada cacat cela dari Rahes. Bahkan nilainya plus. Dia tampan dan bertubuh kuat. Cocok untuk menjadi pengawal. Namun, Sanjaya tidak bisa begitu saja mempercayakan putri kesayangannya pada pria di depannya.
“Oke. Saya akan melihat kerja kamu setelah ini. Anna itu putri kesayangan saya. Saya tidak akan membiarkan apa pun yang buruk terjadi padanya,” jelas Sanjaya kemudian.
“Baik, Tuan,” jawab Rahes.
Sanjaya kemudian berlalu. Ia meninggalkan Rahes yang menatap punggungnya dengan penuh kebencian. Semuanya baru saja dimulai. Dan Rahes berjanji akan membuat kesakitan luar biasa untuk Sanjaya maupun keluarganya.
“Tunggu saja, Paman,” bisik pria itu kemudian berlalu.
***
Pagi-pagi sekali, Rahes telah bersiap. Mobil yang akan ia gunakan untuk mengantar Anna telah bersih dan dipanasi. Ia hanya tinggal menunggu anak majikannya itu keluar dan berangkat bersama.
Saat itu, Melisa sedang berada di meja makan seorang diri. Sesekali, ia akan mencuri pandang pada halaman rumahnya di mana pria yang semalam dengan gila membuatnya meledak berkali-kali berada. Sialan, Rahes memang sangat sempurna. Apakah Melisa mulai memimpikan hidup yang indah bersama pria itu? Gila.
“Pagi, Ma.”
Sapaan Anna menarik Melisa dari kelana angan. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum kecil. Gadis yang ia lahirkan 18 tahun lalu tampak begitu cantik pagi ini. Apakah ada alasan yang mendasarinya berdandan hari ini?
“Pagi, Sayang. Mau … ke kampus?” tanya Melisa memastikan semuanya.
“Iya, Ma. Tapi nanti mampir dulu ke percetakan. Mau ambil tugas jilid kemarin,” jelas Anna yang kemudian mengambil duduk di sebelah sang mama.
Melisa mengangguk lemah. Ya, sang putri hanya ke kampus. Namun, mengapa ia merasa dandanannya agak berlebihan. Atau ini karena efek pembicaraan mereka semalam? Ya, Anna mengakui kelebihan Rahes dengan gamblang di hadapannya. Mungkinkah sang putri telah jatuh hati pada pria itu? Tak lama kemudian, suara Rahes menarik perhatian keduanya.
“Mobilnya sudah siap, Nona,” katanya.
“Oh, oke. Aku bawa aja, deh, sarapannya. Anna berangkat dulu, ya, Ma,” katanya seraya mencium pipi Melisa.
“Iya, hati-hati.”
Melisa hanya bisa melihat punggung sang putri dan pria kesayangannya berjalan menuju ke mobil. Wanita itu tampak sedikit panas ketika Rahes membukakan pintu untuk sang putri dengan menampilkan senyumnya yang paripurna. Aah … rasa cemburu ini sangat menyiksa.
“Awasi pemuda itu! Aku tidak mau Anna kenapa-napa.”
Melisa langsung menoleh ketika mendengar suara Sanjaya. Pria itu sedang turun dari tangga dan menatap tajam pada Rahes dan Anna yang kemudian melaju dengan mobil menuju keluar gerbang kediaman megah itu. Pria itu masih belum bisa percaya pada pria yang baru saja datang dan menggantikan sopir mereka. Jadi, ia juga meminta Melisa, selaku mama dari Anna untuk mengawasinya.
“Kenapa bukan kamu saja? Oh … iya. Kamu sibuk sekali di kantor, ya, jadi tidak bisa mengawasi anakmu,” celetuk Melisa seraya menenggak secangkir teh tawar.
Sanjaya mengetatkan rahangnya. Ia tahu apa yang dimaksud sang istri. Namun, ia tak berselera untuk bertengkar sekarang. Jadi, ia memilih mengabaikannya.
“Terserah. Tapi kalau sampai Anna kenapa-napa gara-gara sopir itu, kamu juga akan mendapatkan hukuman,” ucap Sanjaya seraya berlalu.
Melisa hanya bisa membuang napasnya dengan gusar. Sejujurnya, ia hanya bertahan demi Anna. Namun, jika sudah tidak dihargai sama sekali seperti ini, apakah ia masih sanggup diam saja?
***
“Kita mampir dulu ke percetakan yang kemarin, ya,” ucap Anna usai mobil mereka keluar dari gerbang utama kediaman Sanjaya.
“Baik, Nona,” sahut Rahes.
Anna tersenyum, lalu fokus pada ponselnya. Sementara Rahes sesekali mencuri pandang pada gadis itu. Anna tampak sangat cantik pagi ini. Tidak ada hasrat untuk membuatnya rusak sama seperti ketika ia melihat Melisa. Namun, menjadikan gadis itu umpan jelas bukan keputusan tepat. Entahlah, Rahes pikir Anna hanya gadis tidak beruntung yang lahir di keluarga Sanjaya yang penuh dengan kebusukan.
“Kamu kenapa ngeliatin aku begitu?” tanya Anna yang ternyata diam-diam.
Rahes tergagap. Pria itu kembali fokus pada jalanan seraya mencari alasan untuk pertanyaan yang dilemparkan Anna padanya tadi.
“Emm … Nona Anna cantik sekali hari ini. Maaf, Nona. Maaf kalau saya lancang,” katanya lagi.
Wajah Anna memerah. Ia tersenyum kecil demi menahan euforia dalam dadanya. Aah … sang sopir memujinya cantik. Jadi, apakah ada yang Rahes rasakan saat ini?
“Terima kasih,” ucap Anna kemudian.
Rahes menatap anak majikannya itu dari spion dalam. Dadanya tiba-tiba bergemuruh hebat. Awalnya ia hanya berpikir itu adalah sebuah perasaan biasa. Namun, ketika mereka sampai di kampus Rahes mulai menyadari sesuatu.
Pria itu membukakan pintu untuk Anna yang kemudian tersenyum kecil.
“Terima kasih, ya, Rahes,” kata Anna.
“Iya, sama-sama Nona,” sahut pria itu.
“Kamu bisa pulang dulu. Aku akan menghubungimu nanti setelah aku selesai kuliah,” jelas Anna.
“Saya bisa menunggu, Nona,” ucap Rahes.
“Enggak perlu. Biasanya Mama juga butuh sopir untuk pergi-pergi. Kamu bisa anterin Mama,” kata Anna.
Rahes mengangguk lemah. Mata sayu gadis itu tak bisa begitu saja ia abaikan. Anna memang berbeda dari Melisa. Mungkin ia lebih mirip Sanjaya yang terlihat tenang, tapi mematikan. Aah … entahlah. Rahes mungkin terlalu mendalami peran hingga ia lupa mana yang harus ia dahulukan.
“Baiklah, Nona.”
“Oke, aku masuk, ya.”
Gadis itu memutar tubuhnya. Sialnya, ia tak melihat jika ada sebuah motor yang hendak melaju di sisinya. Stang kemudi motor menyenggol pinggang gadis itu hingga ia berputa dan hampir terjerembab.
“Nona, awas!”
Rahes bertindak cepat dengan menarik tubuh Anna dalam dekapan. Sementara pria pengendara motor itu berhenti dan menoleh ke arah Rahes dan Anna yang terjatuh ke tanah.
“Sialan! Aku gagal,” ucapnya.