Bab 8. Anak Angkat

1141 Words
“Ada banyak pesaing bisnis yang tidak menyukai perangai Sanjaya, Hes. Bisa saja yang mencelakai Anna tadi salah satunya,” jelas Darman dari seberang telepon. “Iya, Paman. Aku juga berpikir begitu. Tapi, bagaimana caranya aku mencari tahunya? Mereka pasti akan melakukannya lagi nanti,” kata Rahes. “Untuk sementara fokus saja kepada Melisa. Aku akan bantu cari tau soal itu nanti. Sanjaya bagaimana?” “Justru itu, Paman. Aku harus mendapatkan kepercayaan Sanjaya dulu, baru bisa melanjutkan rencana ini. Tadi, dia marah sekali karena menganggapku tidak bisa menjaga Anna,” jelas Rahes. “Oke, aku paham. Untuk sementara jangan melakukan hal-hal yang mencurigakan,” ucap Darman. “Iya, Paman.” Rahes menutup sambungan telepon. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi di ruangan dokter. Bagaimana dengan gusar Sanjaya memukulnya. Ini bukan tentang seberapa sakit pukulan itu, tapi bagaimana pria itu memperlakukan seseorang yang ada di bawahnya. “Nikmati posisimu saat ini, Sanjaya. Karena tidak lama lagi, semuanya akan berakhir,” bisik Rahes seraya mengepalkan tinjunya. Sementara itu di kamarnya, Melisa tampak gelisah karena mengingat luka yang tadi diderita oleh Rahes. Marni sempat berkata jika tadi Rahes tak mau diberi obat. Jadi, apakah pria itu tidak kesakitan? “Apa aku harus menemuinya?” ucap Melisa saat itu. Wanita itu masih mondar-mandir di dalam kamarnya ketika kemudian memutuskan untuk mendatangi Rahes. Sebelumnya, ia mengambil kotak P3K di dapur dan berjalan mengendap menuju ke paviliun. Tempat di mana Rahes berada. Setelah memastikan semuanya aman, ia mengetuk pintu kamar Rahes beberapa kali. Sosok yang telah mencuri hatinya muncul dengan hanya mengenakan denim selutut tanpa atasan. Hingga memperlihatkan tubuhnya yang kekar. “Tante Melisa,” sapa Rahes. “Rahes, kamu enggak apa-apa?” tanya wanita itu seraya mengusap pipi pria itu lembut. Rahes tersenyum kecil. Kemudian menggeleng lemah. “Aku enggak apa-apa, Tante. Terima kasih sudah mencemaskanku,” katanya. “Iya. Kamu bisa obati sendiri, kan? Maaf, aku enggak bisa lama-lama. Aku takut akan ada yang melihatku datang ke sini,” kata Melisa. “Iya, Tante.” Melisa kemudian menyerahkan kotak P3K ada Rahes dan hendak kembali ke kamarnya. Namun, Anna yang tadi sempat melihat wanita itu mendatangi sopirnya meminta Marni membawanya keluar. Ia ingin memastikan apa yang dilakukan sang mama barusan pada Rahes. “Ma.” Melisa terkejut ketika melihat Anna dan Marni yang ada di depan pintu kamarnya. Wanita itu tersenyum, lalu mendekat dan mencoba mencari alasan dalam tempurung kepalanya jika nanti Anna bertanya dari mana ia malam-malam begini. “Mama baru saja dari kamarnya Rahes, kan?” Anna langsung menembak Melisa dengan pertanyaan yang menyudutkannya. Gadis itu tak mau basa-basi lagi karena sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri jika tadi sang mama menyentuh pipi sopirnya. Aah … ia merasa jika itu tindakan gila. Mana boleh bersikap begitu? Terlebih Melisa adalah majikannya. Bukankah waktu itu sang mama sendiri yang bilang untuk tidak berbuat yang berlebihan karena mereka berbeda kasta? “Iya, Sayang,” jawab Melisa. “Untuk apa, Ma? Kenapa Mama ke kamar sopir malam-malam begini? Mama juga menyentuh pipi Rahes tadi,” ucap Anna yang melemah di akhir kalimat. Gadis itu menunduk. Agak jengkel karena di matanya, sang mama sangat genit karena melakukan hal demikian. Sementara Melisa masih tergemap. Sialan, ternyata sang putri telah memergokinya tadi. Jadi, alasan apa yang harus ia berikan? “Mama kasih obat ke Rahes. Mama tadi cuma ngecek lukanya karena pukulan Papa kamu yang begitu keras. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku coba bujuk Rahes untuk maafin Papa kamu. Memangnya kamu mau Papamu masuk penjara kalau Rahes enggak terima?” jelas Melisa panjang lebar. Anna menunduk dalam. Baiklah, sepertinya ia terlalu berpikiran buruk pada sang mama. Melisa pasti melakukan yang terbaik untuk keluarga ini. Seperti biasanya. “Tapi Rahes enggak apa-apa, kan, Ma? Maaf, Anna jadi salah paham sama Mama. Anna terlalu takut kalau keluarga ini benar-benar akan hancur,” ucap gadis itu lirih. Melisa membuang napasnya dengan gusar. Untunglah sang putri percaya. Walaupun demikian, ucapan gadis itu sudah hampir terjadi saat ini. Melisa hanya bertahan karena Anna saja. Selebihnya, ia sudah mati rasa pada sang suami. Melisa lantas berjongkok dan mengusap punggung tangan sang putri lembut. Ia mencoba menenangkan walaupun dengan kebohongan yang sama seperti Sanjaya. “Sudah, jangan pikirkan apa pun. Mama akan tetap berusaha bertahan,” kata Melisa. Anna lantas memeluk sang mama erat. Gadis itu menangis karena memikirkan keluarganya yang sepertinya hampir hancur berantakan. Namun, tetap percaya pada keajaiban yang mungkin akan mereka dapatkan. Sementara itu di kantornya, Sanjaya masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya karena tadi sempat tertunda karena menjemput Anna di rumah sakit. Malam ini, ia terpaksa memeriksa seluruh dokumen karena besok ia akan bertemu dengan klien. Ketika sedang sibuk dengan data-data itu, Naomi masuk dan segera bergelayut di bahu Sanjaya dengan manja. “Belum selesai juga, Mas?” tanyanya. “Belum. Mungkin sebentar lagi. Kamu pulang saja duluan kalau capek,” kata pria itu pada sekretaris sekaligus selingkuhannya itu. Naomi tersenyum. Ia tidak berniat sama sekali untuk meninggalkan bosnya yang banyak uang. Jadi, ia malah berpindah ke pangkuan Sanjaya hingga pria itu menghentikan kegiatannya. “Jangan main-main,” ucap Sanjaya. “Kenapa?” Naomi tampak manja. Gadis itu mulai bergerak dan membuat Sanjaya tidak bisa menahan diri. Lantas, menenggelamkan wajahnya di d**a Naomi. “Kamu mikirin apa, sih? Memangnya tadi Anna kenapa?” tanya Naomi kemudian. Gadis itu tahu, jika ada sesuatu yang terjadi pada Sanjaya yang membuat pria itu tidak bisa berkonsentrasi. Jadi, ia melempar tanya. “Anna kecelakaan. Kakinya terkilir,” kata Sanjaya. “Kok, bisa?” “Itulah yang aku enggak tau. Waktu aku nyalahin sopirnya, dia malah ngelarang,” jelas Sanjaya. “Sopirnya … Pak Darman?” “Bukan. Ada sopirnya yang baru. Dia masih muda. Jadi, aku sedikit waspada.” Naomi mengernyit. Ia kemudian turun dari pangkuan Sanjaya dan mulai penasaran dengan sopir pribadi Anna yang katanya masih muda. “Terus?” “Ya, tadi aku hajar dia karena tidak bertanggung jawab sama keadaan Anna, tapi Anna malah marah.” “Emm … mungkin enggak kalau Anna suka sama dia? Kan, bisa aja, Sayang,” ucap Naomi. Sanjaya mengernyit. Ia menatap Naomi lekat demi meyakinkan dirinya. Namun, masih belum yakin jika sang putri bisa dengan mudah jatuh cinta pada seorang sopir. Oke, Rahes memang sangat tampan, tapi apa mungkin Anna berpikir demikian? “Kamu jangan ngada-ngada. Enggak mungkinlah Anna suka sama dia. Dia mungkin cuma kasian,” ucap Sanjaya. “Ya, siapa yang tau. Kan, mungkin saja,” ucap Naomi. Sanjaya masih berpikir sejenak, tapi kemudian ketukan di pintu menarik perhatian keduanya. Naomi menjauh dari sang bos dan Sanjaya meminta seseorang di balik pintu untuk masuk. “Ini saya, Pak,” ucap orang suruhan Sanjaya. “Oh, iya. Masuk! Bagaimana? Apa kamu dapat informasi mengenai Darman?” tanya Sanjaya. “Iya, Pak. Darman memang punya istri di kampung, Pak. Dan Rahes ….” “Rahes kenapa?” “Rahes itu anak angkatnya,” jelasnya. “Apa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD