Insiden Manis

1011 Words
"Han? Apa kau sudah selesai?" Gilang yang mendadak muncul di ruangan Hanan dengan membuka pintu dan melongokkan kepalanya di ruang kerja Hanan. "Ya. Sudah," jawab Hanan sembari mematikan komputernya. "Tadi, teman-teman mengajak karaoke dulu sebelum pulang. Apa kau mau ikut?" tanya Gilang lagi. Belum sempat Hanan menerima ajakan dari Gilang, mendadak ponselnya berbunyi. "Eh! Sebentar, ada panggilan masuk," kata Hanan sambil mengambil ponselnya. Gilang hanya menaikkan kedua bahunya. Sedang Hanan, melihat layar ponselnya. Rupanya, Naya yang sedang memanggilnya. Hanan lalu mengangkat panggilan dari istrinya. "Halo, iya Nay?" sapa Hanan. "Mas? Apa mas sudah pulang?" "Ini, aku baru selesai. Ada apa?" "Apa, Mas Hanan bisa pulang lebih cepat hari ini? Kran wastafel mendadak rusak. Tidak bisa dimatikan. Aku tidak bisa membenarkannya. Aku takut kalau airnya semakin meluber ke mana-mana," kata Naya. "Benarkah?! Baiklah. Aku pulang sekarang!" Hanan menjauhkan ponsel dari telinganya dan segera mematikannya. "Lang. Maaf, sepertinya aku tidak bisa ikut. Naya sedang ...," "Ya! Ya! Aku tahu!" potong Gilang. "Istrimu menyuruhmu pulang cepat kan? Pulanglah. Kau tidak perlu ikut dengan kami," lanjutnya lagi menggoda Hanan. "Terserah!" gerutu Hanan. Gilang terkekeh sebentar. "Aku tahu bagaimana pengantin baru seharusnya," kata Gilang menggoda. Hanan hanya menggelengkan kepala beberapa kali. Ia tidak akan membalas olokan Gilang. Hanya fokus membereskan barangnya bersiap untuk pulang. "Tapi ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kau tampak tenang sekali? Sudah seminggu kemarin, aku perhatikan kau sudah tidak marah-marah lagi karena pernikahan?" tanya Gilang. Hanan menghela nafasnya sebentar. Butuh waktu beberapa detik untuk ia menanggapi pertanyaan Gilang. "Aku pikir, kau benar. Mungkin, aku memang harus lebih santai," jawab Hanan. "Benarkah? Jadi, kau sudah terbiasa? Apa Naya kembali melakukan hal-hal yang biasa dilakukan seorang istri? Seperti memasak untukmu, atau yang lainnya?" tanya Gilang. "Aku tidak pernah memintanya, tapi aku juga tidak pernah melarangnya. Saat Naya menawariku masakannya, aku akan memakannya. Karena aku merasa bersalah padanya." "Jadi, kalian sudah benar-benar akrab sekarang?" "Saat ini, kami memang tinggal bersama. Tapi, kami saling menjaga privasi masing-masing. Dan itu bisa membuatku menjadi lebih nyaman. Aku harap, dia juga begitu," jelas Hanan. "Baguslah kalau begitu," tanggap Gilang. "Ngomong-ngomong, apa kegiatan Naya? Aku lihat sepertinya dia di rumah saja? Apa dia tidak bekerja? Dia kan lulusan perguruan tinggi negeri?" tanya Gilang lagi. "Entahlah? Aku tidak begitu mengerti juga. Tapi, sepertinya dia penulis," jawab Hanan sembari membereskan barangnya ke dalam tasnya. "Penulis? Penulis apa?" tanya Gilang lagi. "Sepertinya dia seorang penulis n****+," jawab Hanan yang juga ragu. "Aku pernah tidak sengaja membaca tulisannya. Dan memang itu adalah cuplikan n****+ hasil karyanya," kata Hanan ragu. "Wah. Pasti Naya orang yang rajin. Aku saja, setiap kali membaca n****+, tidak pernah sampai tamat. Apa lagi menulis?" tanya Gilang lagi. "Aku pikir, Naya memang seorang pekerja keras. Aku sering melihatnya menulis di depan laptop, kadang sampai jam tiga malam," ungkap Hanan. "Benarkah? Memangnya n****+ apa yang sedang dia kerjakan?" Hanan terdiam mendengar pertanyaan Gilang. Tidak segera menjawabnya, dan justru teringat sesuatu. Hanan pernah membaca salah satu kutipan dari tulisan Naya. Seperti sebuah ungkapan perasaan. "Han!" panggil Gilang lagi yang membuat Hanan tercekat. "Kenapa kau malah melamun?!" "Ah! Maaf. Tadi tiba-tiba saja aku teringat pekerjaan yang lain," kata Hanan mencari alasan. Hanan lalu segera memasukkan salah satu dokumen terakhirnya, dan ia segera berdiri. "Tolong katakan pada teman-teman, aku tidak bisa ikut. Aku pulang dulu!" ujarnya sembari berjalan menjauhi mejanya melewati Gilang. "Hei! Kau masih belum menjawab pertanyaanku!" teriak Gilang pada Hanan yang ikut keluar menyusul Hanan. *** "Apa, Mas membutuhkan sesuatu?" tanya Naya melihat Hanan membenarkan kran wastafel, yang berdiri tidak jauh dari Hanan. "Tidak. Ini sudah hampir selesai, kok," jawab Hanan. Ia masih terus berusaha memasang kran air wastafel yang ada di depan kamar mandi, dan menggantinya dengan yang baru. Naya terus melihatnya dari tadi. Sekian detik, Hanan sudah selesai menggantinya dengan yang baru. "Sudah bisa," kata Hanan dengan menepuk kedua tangannya dua kali. "Untunglah," kata Naya sambil tersenyum. "Airnya sudah tidak bocor lagi," tambahnya. "Ya." Hanan mengangguk. "Aku coba nyalakan ya," kata Hanan. Hanan lalu menyalakan kran air yang baru saja ia ganti. Saat dinyalakan, sayangnya kran air itu lepas dari salurannya. Kran airnya justru melompat mengenai wajah Hanan. Sedangkan airnya, terciprat kemana-mana. Membuat Hanan kaget dan kebasahan. Naya tentu saja memberikan ekspresi yang sama. Ia juga terkejut sampai menutup mulutnya. Cipratan air keluar kemana-mana. "Astaga! Mas Hanan tidak apa-apa?!" tanya Naya pada Hanan yang setengah gelagapan menghadapi cipratan air. Hanan lalu, segera mengambil kran tadi, dan kembali memasangkannya dengan benar. Kali ini, ia kembali memasangkan kran air dan berhasil. Tidak ada lagi yang bocor. "Sudah. Ini tidak apa-apa. Tadi, aku memasangnya sedikit miring. Ini pasti tidak akan lepas lagi," kata Hanan sambil setelah memasang kran air dengan lebih teliti lagi. "Syukurlah kalau sudah bisa," ujar Naya lega. "Tapi, baju mas Hanan jadi basah semua," katanya lagi. "Ah. Tidak apa-apa. Sekalian aku akan mandi dan membersihkan diri," ungkap Hanan. Naya memperhatikan wajah suaminya. Ada goresan luka. "Wajah Mas Hanan terluka!" seru Naya. "Di pipi sebelah kiri," tambahnya dengan menunjuk ke arah wajah Hanan. Hanan merabanya. "Pantas saja, sedikit nyeri," kata Hanan sembari memegang-megangi pipinya pelan. "Tapi, tidak apa-apa. Hanya luka kecil." "Tidak! Tidak! Aku akan mengambilkan obat merah sebentar!" kata Naya yang segera berjalan menjauh dari Hanan. Hanan ingin mencegah Naya, tapi Naya terlalu cepat. Akhirnya, ia hanya bisa membiarkannya. Hanan hanya menaikkan kedua bahunya. Sekian detik kemudian, Naya berhasil membawa kotak obat ke arah Hanan lagi. Ia mengeluarkan obat merah dan kapas. Menaruh obat merah itu, pada kapas dan segera memberikannya pada Hanan. Hanan hanya diam. Naya mengobatinya dengan hati-hati. Saat itu, sambil menepuk-nepuk pipi Hanan, Naya refleks meniup pipi Hanan perlahan, dengan tujuan agar tidak perih. Setelah Naya meniupnya, mendadak ada desiran di hati Hanan. Tidak bisa menjelaskan apa itu, yang jelas perlakuan Naya membuat jantung Hanan sedikit berdebar. Hanan lalu menoleh ke arah Naya. Hanan melakukannya dengan refleks juga. Tentu saja, mereka berdua baru sadar jika jarak di antara mereka sangat dekat. Hanya berkisar sekitar empat sentimeter saja. Saat itu, terjadi saling tatap antara keduanya. Hanan dan Naya terdiam sejenak. Mereka hanya saling pandang. Dengan hanya berdua, dan jarak sedekat itu. Tiba-tiba, seolah mereka bisa saling mendengar degup jantung satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD