bc

Bukan Jodoh Pilihan Hati

book_age18+
1.3K
FOLLOW
9.1K
READ
HE
fated
arranged marriage
goodgirl
drama
bxg
city
affair
like
intro-logo
Blurb

'Bertahun-tahun, aku menemuinya sebagai seorang teman. Entah sejak kapan aku mulai menemuinya sebagai orang asing. Jantungku selalu berdebar jika bersamanya. Aku gelisah kalau dia tidak ada. Awalnya aku tidak paham apa itu? Tapi lama-lama, aku baru mengerti. Begitulah cara kerja hati memberi tahu jika aku telah jatuh cinta.'

Hanan menghela nafas beratnya setelah membaca sepenggal kalimat dari n****+ yang ditulis istrinya. Naya Hania. n****+ itu, bercerita tentang kisah Naya, yang sedang memendam perasaannya pada seseorang. Naya pernah mengatakan jika ia menyukai Hanan sejak lama, tapi Hanan tidak bisa membalas perasaan istrinya.

Sampai akhirnya, Hanan menyetujui pernikahan yang bermula dari sebuah perjodohan dengan Naya karena merasa depresi kekasih sebelumnya pergi dengan pria lain.

Destinasi akhir sebuah pernikahan adalah untuk membangun rumah tangga bahagia. Lantas, bagaimana jika alasan pernikahan hanyalah untuk menutupi lubang hati? Berhasilkah pernikahan mereka?

Follow me on Ig : @N.ayuhapsary

chap-preview
Free preview
Jangan Berharap Lebih
Setiap orang mungkin pernah merasakan cinta rahasia. Cinta yang dipendam dalam-dalam. Perasaan yang disembunyikan. Dia hanya seorang teman awalnya. Tapi, entah sejak kapan aku mulai menemuinya sebagai orang asing. Jantungku selalu berdebar saat aku bersamanya. Gelisah saat dia tidak di sekitarku. Di dalam kepalaku, terus memikirkannya. Aku tidak paham perasaan apa ini? Tapi, lama-lama aku baru menyadarinya. Seperti itulah cara kerja hati memberi tahu jika aku telah jatuh cinta. Hanan menghela nafas panjang setelah membaca tulisan itu di secarik kertas. Tulisan itu adalah hasil print out n****+ yang ditulis istrinya. Naya Hania, yang berprofesi sebagai penulis. Tidak lama setelah itu, Naya keluar dari kamar. Tepat pada waktu itu, Naya mendapati suaminya memegang kertas miliknya. Hanan menoleh ke arah Naya, begitu juga sebaliknya. Terjadi saling tatap di antara mereka selama beberapa detik. Naya yang heran, berjalan ke arah suaminya. "Mas?" sapa Naya yang sudah ada di samping Hanan. Hanan segera meletakkan kertas milik Naya. Ia kemudian menoleh ke arah Naya yang sudah ada di sampingnya. Dengan sedikit canggung dan kikuk. "Tadi, kertasmu jatuh. Jadi, aku memungutnya," kata Hanan cepat. "Oh ...." Naya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terima kasih," jawab Naya. "Ada paket pesananmu datang. Aku sudah mencarimu di dapur, tapi tidak ada. Jadi, aku bermaksud untuk meletakkannya di mejamu saja," ujar Hanan kembali. "Paket?" ulang Naya. "Ya. Ini," ujar Hanan sembari memberikan sebuah kotak kecil berukuran lima kali tiga sentimenter pada istrinya. "Oh! Ini dari temanku," kata Naya sembari tersenyum. "Hadiah pernikahan kita," tambahnya. Hanan diam setengah tercekat mendengar ungkapan Naya baru saja. "Terima kasih, Mas," ujar Naya kembali. Kemudian Naya segera membuka paketnya itu. Hanan masih terdiam dan tidak bereaksi. Ia merasa tidak nyaman dengan itu. Sementara Naya masih membuka paket yang katanya hadiah pernikahan mereka, Hanan membalikkan badannya. Ia berniat berjalan menjauhi istrinya. Ia tidak peduli apa isinya dan bahkan ia tidak ingin tahu. Ia justru merasa terbebani. Tiga hari yang lalu, mereka baru saja mengganti status lajang menjadi sepasang suami istri. Tapi, tidak seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Mereka saling menjaga jarak. Hanya sebuah alasan yang pada akhirnya menjadikan mereka saling bersama dalam satu ikatan pernikahan. Hanan semakin menjauh dari istrinya. Sementara Naya sudah berhasil membuka paket itu. Naya yang menyadari Hanan menjauh, segera memanggilnya. "Mas, ada hadiah untuk mas Hanan juga," kata Naya cepat. Hanan yang sudah setengah jalan menjadi terhenti sejenak. Mendengar ungkapan Naya itu, ia menjadi semakin kesal. Namun, ia hanya bisa menahannya. "Apa mas mau melihatnya?" tanya Naya lagi. Sekian detik, hening di antara mereka. Hanan nampak menghela nafasnya. "Tidak! Untukmu saja," jawab Hanan dingin. Hanan lalu kembali menjauhi istrinya. Saat menjawab, Hanan bahkan tidak menoleh ke arah Naya. Melihat sikap Hanan, Naya hanya diam canggung melihatnya. Hanan lalu melanjutkan jalannya menjauhi Naya. Mungkin, Naya masih belum tahu bagaimana perasaan Hanan, jika saat ini Hanan sedikit kesal akan sesuatu. Dan sebenarnya, ia berusaha menunjukkannya pada Naya. *** Pintu kamar Hanan terbuka dari dalam. Hanan keluar kamarnya. Saat ia keluar, ia melihat Naya sedang sibuk di dapur. Meskipun mereka adalah pengantin baru, tapi kamar mereka terpisah. Mereka sendiri yang sudah sepakat membuat seperti itu. Hanan dalam keadaan rapi, sudah ada di luar kamar. Ia siap berangkat kerja setelah cuti dari pernikahan mereka. Ia berjalan ke arah ruang tamu yang melewati dapurnya. Saat itu, Naya bisa langsung menyadari jika Hanan sudah akan berangkat kerja. "Mas? Sudah mau berangkat?" tanya Naya cepat. Hanan yang tengah berjalan, terhenti. Ia menoleh ke arah Naya. "Ya," jawab Hanan singkat. Kemudian, ia kembali melanjutkan jalan ke arah luar rumah. "Sarapannya sudah siap, Mas. Mas Hanan makan dulu saja," kata Naya kembali. Hanan yang sudah berada agak jauh dari dapur, kembali terhenti. Ia baru menyadari sesuatu. Jadi, Naya dari tadi sibuk di dapur karena memasak untuknya? Hanan kemudian membalikkan badannya dan melihat ke arah istrinya. Sebenarnya, Naya tidak perlu melakukan itu untuknya. Tapi, sepertinya Naya sudah membuat masakan dengan sungguh-sungguh. Hanan akan merasa bersalah jika menolak. Ia juga kasihan pada Naya. Akhirnya, Hanan mengikuti permintaan Naya. Tanpa sepatah katapun, Hanan berjalan kembali ke meja makan. Hanan duduk di meja makan. Naya datang mendekat dengan membawa piring berisi nasi untuk suaminya. "Aku tidak tahu apa masakanku akan cocok untuk mas Hanan," ujar Naya setelah menaruh piring di depan Hanan. Hanan hanya diam tanpa suara. Ia bingung melihat Naya melayaninya. Sebenarnya, Hanan tidak pernah menginginkan ini. Tapi, karena Naya sudah mengambilkan satu piring nasi untuknya. jadi ... sudahlah! Hanan menerimanya dengan terpaksa. Sekali lagi, ia hanya berusaha menghargai Naya. Naya lalu kembali ke dapur yang berdekatan dengan meja makan. Hanan fokus pada beberapa lauk yang terhidang di meja makan. Banyak sekali dan kelihatannya memang enak. Hanan mencobanya satu. Saat sudah mencoba, Hanan tidak sadar menaikkan kedua alisnya karena memang rasanya enak. Wah, rupanya masakan Naya lebih enak dari pada masakan ibunya. Mungkin, kali ini ia bisa menikmati sarapan. "Oh iya, Mas!" panggil Naya tiba-tiba. Naya berbicara sambil mencuci piring. "Baju mas Hanan yang ada di sofa kemarin sudah aku setrika. Apa mungkin ada baju yang lain yang belum di setrika?" tambahan pertanyaan dari Naya. Hanan yang tengah menikmati sarapannya itu, menjadi terhenti. Mendadak, Hanan merasa kesal oleh sesuatu. Ia kemudian meletakkan sendok dan garpunya. "Tidak," ucap Hanan dengan nada datar. "Benarkah? Kalau begitu, aku akan merapikannya saja, ya," kata Naya lagi. Hanan memejamkan kedua matanya rapat sebentar. Cukup sudah. Ia tidak tahan lagi dengan ini. Hanan tidak akan menjawab pertanyaan Naya. Hanan lalu berdiri begitu saja tanpa menyelesaikan sarapannya. Ia segera berjalan menjauh dari meja makan. Naya kebetulan melihatnya. Membuat Naya merasa heran, karena Hanan baru saja makan satu sampai dua sendok saja. "Mas Hanan, sudah selesai makan? Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Naya refleks. Hanan yang tengah berjalan itu, terhenti. Ia kemudian berbalik dan menatap istrinya. Naya juga melihatnya dengan masih memberikan ekspresi heran. "Aku sudah selesai," jawab Hanan datar. Kemudian, ia masih menatap Naya dengan tatapan dingin. Saat itulah, Naya mulai menyadari sesuatu. "Kenapa? Apa mas Hanan tidak suka dengan masakanku?" tanya Naya ragu. "Bukan begitu," jawab Hanan. "Aku hanya, merasa tidak nyaman saja," lanjutnya. Naya masih terdiam dan berpikir sejenak. "Jujur saja, aku juga merasa tidak nyaman saat kamu menyentuh barang-barangku. Aku bisa membereskan semua bajuku sendiri," jelas Hanan lagi. Naya mengerjap bingung mendengarnya. "Maaf," ucap Naya pelan dengan menundukkan setengah kepalanya. "Lain kali, kamu juga tidak perlu membuatkanku sarapan. Aku sudah terbiasa berangkat kerja tanpa sarapan," tambah Hanan. "Meskipun kita sudah menikah, aku harap tidak ada perubahan apapun di antara kita berdua. Ini adalah permintaanku. Jangan berharap lebih dari hubungan ini. Kita hanya melakukan pernikahan karena perjodohan dari orang tua kita. Aku pikir, kamu bisa mengerti," ujar Hanan lagi. Setelah mengatakan hal itu, Hanan kembali berjalan dan membuka pintu, lalu ia keluar dari rumah. Suasana rumah yang seharusnya nyaman, mendadak menjadi dingin. Setelah Hanan keluar, Naya hanya terus diam dan menundukkan kepala sembari menghela napas. Tiba-tiba pikirannya tertarik ke belakang, mengingat saat di mana Naya mengatakan pada Hanan jika ia setuju dengan perjodohan mereka. "Naya, kamu tahu kan, kita dijodohkan oleh kedua orang tua kita?" tanya Hanan. Naya hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Hanan. "Naya. Aku tahu, ini sulit untuk kita terima. Tapi, aku akan membujuk orang tuaku untuk mengurungkan niat mereka menjodohkan kita. Karena ...," "Tidak perlu!" potong Naya dengan datar. Menghentikan kalimat Hanan. Membuat Hanan tidak melanjutkan kalimatnya. "Aku sudah setuju dengan perjodohan ini," kata Naya lagi. "Apa?!" tanya Hanan heran dan tentu saja kaget. Naya kembali terdiam. "Naya. Kita tidak pernah menjalin hubungan apapun sebelumnya. Meski kita dulu sempat berada di sekolah yang sama. Tapi, itu pun sekitar tujuh tahun yang lalu," ungkap Hanan. Hanan berusaha menjelaskan sesuatu yang memang sudah dipahami oleh Naya. Tapi, Naya hanya terdiam dan tidak memberikan respon apapun. Ia terus sedikit menundukkan kepalanya. "Aku tetap akan menikah dengan mas, Hanan," jawab Naya lagi dengan nada datar. Hanan semakin bingung mendengarnya. Ia lalu memperhatikan sikap dan wajah Naya. Dirasa Hanan, Naya dari tadi memberikan ekspresi datar dan dingin. Kali ini, bahkan Naya seolah kelihatan sedih. Membuat Hanan merasa heran dengan apa yang terjadi padanya. "Naya? Apa mungkin kamu sedang dipaksa orang tuamu untuk melakukan perjodohan ini?" tanya Hanan ragu. Awalnya, Naya hanya diam. Tidak segera menjawabnya. Seperti sedang berpikir. Hanan masih terus mengamati dan berusaha menebak apa isi kepala perempuan yang tengah terlihat lemas duduk di hadapannya itu. "Tidak sama sekali," jawab Naya sembari menggelengkan kepalanya. "Aku memang benar-benar ingin menikah dengan mas Hanan," ujar Naya lagi. Jawaban Naya itu, justru membuat Hanan semakin bingung. "Katakanlah. Apa yang membuatmu menyetujui perjodohan ini? Apa karena kamu tidak ingin mengecewakan kedua orang tuamu?" tanya Hanan. Sekian detik berlalu. Kemudian, Naya menganggukkan kepala untuk menjawab suaminya. Hanan sudah menduganya. Ia lalu menghela nafasnya. "Naya. Aku juga berpikir sama denganmu. Tapi, ini adalah hidup kita. Kita yang akan menjalani hidup kita. Bukan orang tua kita," jelas Hanan dengan sedikit penekanan. Naya tidak memberikan respon atas ungkapan Hanan. Terjadi diam sekian detik di antara mereka, yang membuat suasana canggung. "Sekarang, katakan padaku. Apa ada alasan lain yang membuatmu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Hanan. Naya masih terdiam kembali. Tidak segera menjawab Hanan. Namun, kemudian ia mengeluarkan suaranya pelan. "Aku ... menyukai mas Hanan," jawab Naya yang kembali membuat Hanan terkejut bukan main. Hanan sekarang terdiam memperhatikan gadis yang terus menunduk di depannya itu. "Maaf. Aku mungkin mengatakan ini di saat yang tidak tepat." Kalimat Naya juga masih terdengar datar dan dingin. Hanan terdiam sejenak mendengar kenyataan yang diungkapkan Naya itu. Ia masih memproses dan berusaha menerima kenyataan ini. "Kamu, menyukaiku?" ulang Hanan bertanya untuk memastikan. Naya hanya menganggukkan kepala pelan. Pembicaraan ini mendadak menjadi semakin serius. Hanan mengernyitkan wajahnya merasa aneh. "Sejak kapan?" tanya Hanan. "Aku, tidak begitu ingat," jawab Naya yang juga kelihatan ragu. "Begitu aku tahu kalau aku dijodohkan dengan mas Hanan, tentu saja aku langsung menyetujuinya," jelas Naya dengan tetap menunduk lemas. Hanan tidak habis pikir dengan pernyataan Naya itu. "Tapi, aku tidak pernah menyukaimu," ungkap Hanan memberi tekanan pada kalimatnya. "Aku tahu," jawab Naya cepat dan mantap. "Meskipun begitu, aku tetap ingin menikahi mas Hanan." Naya masih dengan ekspresi yang sama. Hanan benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Naya yang tengah duduk berhadapan dengannya. Suasana cafe yang cukup ramai sore itu, mendadak menjadi hening dan seolah hanya ada mereka berdua. "Maaf. Mungkin aku kelihatan sedikit egois. Tapi, aku sama sekali tidak bermaksud memaksa mas Hanan juga. Aku bilang, aku memang menyukai mas Hanan. Tapi, aku janji tidak akan mengganggu mas Hanan. Aku akan menjaga perasaanku ini. Jadi, mas Hanan tidak perlu khawatir dengan itu," terang Naya. Hanan masih terdiam, berusaha menerima kenyataan ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
113.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
198.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
216.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
17.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook