Paket untuk Hanan

1120 Words
Mobil Hanan berhenti di sebuah layanan drive thru sebuah restoran. Ia baru pulang kerja dan merasa amat penat, juga lapar. Ia akan memesan makanan untuk ia bawa pulang. "Silahkan, mau pesan apa?" Suara perempuan dari layar yang ada di loket tempat Hanan memesan. "Rice bowl, cheeseburger dan iced coffe-nya satu," jawab Hanan. "Rice bowl-nya mau yang biasa atau spesial, Pak?" "Spesial," singkat Hanan. "Baik, rice bowl spesial, cheeseburger, dan iced coffe. Masing-masing satu ya, Pak?" Suara perempuan pegawai toko itu mengulangi pesanan Hanan untuk memastikan. "Ya," ucap Hanan. "Baik, silahkan membayar di loket selanjutnya ya, Pak," pinta perempuan itu dengan sopan. Hanan akan melajukan mobilnya kembali. Tapi, ketika ia sudah hampir menarik tuas mobil untuk memasukkan gigi, mendadak ia terhenti. Tiba-tiba, ia rasa ia harus melakukan sesuatu. "Maaf, tolong pesanan tadi jadi dua porsi," kata Hanan dengan cepat di layar yang ada di depannya. "Dua porsi?" ulang suara perempuan itu kembali. "Baik, kami salin pesanannya jadi dua porsi, ya Pak," lanjutnya. Hanan mengerti. Kemudian, ia akan kembali melajukan mobilnya. Saat itu, di kepalanya barulah memproses sesuatu. "Kenapa aku memesan dua porsi?" gumamnya berbicara sendiri. Hanan bertanya pada dirinya sendiri. Padahal ia sudah tahu jawabannya. Tentu saja, ia memikirkan Naya. Hanya saja, ia masih mengelaknya secara logika. Hanan lalu hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Heran pada dirinya sendiri. Kemudian, ia kembali meluruskan tujuannya untuk segera pulang ke rumahnya. *** Hanan membuka pintu, dan masuk ke dalam rumahnya. Saat ia membukanya, ia melihat Naya sedang berada di depan laptopnya. Naya juga refleks melihat ke arah pintu masuk yang terbuka. Pandangan mereka berdua bertemu. Mereka saling tatap sebentar. Meski mereka sudah tinggal bersama selama satu minggu, suasana canggung masih terasa di sekitar mereka. Selama ini, mereka masih harus berusaha membiasakan diri untuk tinggal berdua. "Mas? Sudah pulang?" tanya Naya. Mencoba menyapa lebih dulu. "Iya," jawab Hanan dengan mengangguk pelan. Naya kemudian tersenyum sebentar dan kembali fokus pada laptopnya. Hanan masih berdiri, tidak segera melanjutkan langkahnya. Ia melihat ke arah bungkusan plastik berisi makanan yang ia pesan tadi. Lagi-lagi, ia bertanya dalam hati. Kenapa pula ia harus memesan dua porsi makanan? Tapi, karena sudah terlanjur membelinya, Hanan tidak punya pilihan lain. "Nay?" panggil Hanan pada Naya. "Iya, Mas?" balas Naya yang kembali menoleh ke arah Hanan. "Apa kamu sudah makan malam?" tanya Hanan. "Belum, Mas," jawab Naya menggelengkan kepalanya. "Aku, membelikanmu makan malam," kata Hanan dengan menenteng kantung plastiknya ke arah Naya. Naya melihatnya dengan diam tanpa respon. Ia hanya mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Membuat Hanan merasa aneh juga karena Naya melihatnya dengan ekspresi seperti itu. "Bagaimana kalau kita makan bersama?" tanya Hanan pada akhirnya. "Y ... ya," jawab Naya yang sebenarnya membutuhkan waktu sekitar dua detik untuk setuju. "Aku akan menyiapkan tempat untuk kita," kata Naya sembari berdiri dan menjauh dari laptopnya. Hanan tersenyum mengangguk. Ia lalu menutup pintu dan masuk ke arah meja makan. Meletakkan makanannya di atas meja makan, kemudian ia berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangannya. Sedangkan Naya, ke dapur mengambilkan dua piring, dua gelas serta tempat minum untuk mereka berdua. Setelah siap, Hanan datang ke meja makan. Mereka berdua duduk di meja makan dengan saling berhadapan. "Ini, sudah malam. Kenapa kamu belum makan malam?" tanya Hanan sambil membuka bungkusan miliknya. "Aku, memang jarang makan malam, Mas," kata Naya. "Kenapa?" "Seperti yang dilakukan para perempuan pada umumnya. Diet," jawab Naya sambil tertawa. "Diet?!" ulang Hanan. "Jadi, aku sedang mengganggu dietmu?" tanya Hanan ragu. "Tidak kok, Mas. Sebenarnya, aku sendiri sering merasa lapar saat menulis," kata Naya sembari tersenyum. "Lagi pula, mas Hanan sudah membelikan ini untukku. Aku akan memakan semuanya," lanjut Naya lagi dengan tersenyum. Naya lalu juga ikut membuka bungkusan miliknya. Hanan memperhatikan istrinya. Ternyata, Naya sangat menghargainya. Dia perempuan yang baik hati. Hanan jadi teringat saat pertama kali Naya membuatkan sarapan untuknya, dan ia menolaknya. Setelah itu, Naya sama sekali tidak pernah memasak di pagi hari. Pasti karena dirinya. Hanan kembali merasa bersalah. Lain kali, jika Naya membuatkan sarapan untuknya, ia pastikan untuk memakannya. Pikirnya. Hanan lalu mulai kembali fokus pada makanannya. Mereka berdua makan bersama. Ini adalah pertama kalinya mereka makan berdua. Mereka juga saling bercakap-cakap dengan bahasan acak. Soal film, kenangan masa SMA, dan beberapa berita yang mereka dengar. Baiknya, mereka terlihat lebih akrab dari sebelumnya. "Terima kasih, Mas. Sudah lama aku tidak makan burger," ujar Naya setelah memasukkan satu gigit burger terakhir ke dalam mulutnya. "Itu hal biasa," kata Hanan. "Tumben. Kenapa mas Hanan membelikanku makan?" tanya Naya refleks begitu saja. Membuat Hanan tersentak akan pertanyaan itu. Hanan merasa malu jika ia harus menjawab ia memikirkan Naya juga. "Hanya ingin saja," jawab Hanan ragu. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu diet?" tanya Hanan cepat mengalihkan pembicaraan. "Tentu saja, aku ingin lebih kurus," jawab Naya. "Padahal menurutku, kamu sudah kurus." "Benarkah?" tanya Naya menaikkan kedua alisnya. "Senangnya bisa mendengar itu dari orang lain," lanjut Naya dengan ekspresi yang sama. Hanan hanya tersenyum geli melihatnya. Naya kelihatan manis juga saat mengatakannya. Dan, ternyata dia perempuan yang menyenangkan. Hanan menatapnya dengan tersenyum. Tunggu! Apa yang terjadi pada Hanan? Hanan segera menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan cepat. Ia segera menghilangkan senyumnya dengan cepat. Kembali fokus pada makanannya. "Oh iya, Mas! Tadi ada paket datang. Aku pikir, punyaku. Tapi ternyata punya Mas Hanan," ujar Naya cepat. Teringat akan hal yang memang ia akan katakan pada Hanan. "Paket?" ulang Hanan mengernyitkan keningnya. "Aku hampir lupa mengatakannya pada mas Hanan," kata Naya lagi. "Tapi, aku tidak memesan paket?" Hanan masih berekspresi sama. Naya menjadi ikut bingung. "Ukurannya kecil. Sepertinya kiriman dari seseorang. Tapi, aku lihat tadi tidak ada nama pengirimnya," jelas Naya. Hanan benar-benar belum memiliki petunjuk. "Akan aku ambilkan dulu, ya," ujar Naya sembari meneguk minumannya dan ia akan berdiri mengambilkan paketnya. Saat itu, Hanan masih berpikir sejenak. Hanan masih merasa aneh. Ia masih ingat, jika ia sama sekali tidak memesan paket. Jika itu memang kiriman, dari siapa? "Ini, Mas." Naya yang sudah kembali dengan membawa satu bungkusan kecil berbentuk kubus. Volumenya sekitar dua puluh tujuh sentimeter kubik. Hanan masih memperhatikannya dan tidak segera membukanya. Sekian detik kemudian, ia baru teringat sesuatu. Kedua matanya membelalak kaget begitu ia berhasil mengetahui apa isi kubus tersebut, meskipun belum dibuka. Raut wajah Hanan mendadak berubah serius. Kedua alisnya terpaut menjadi satu. Naya yang berdiri di sampingnya, tentu saja menjadi heran. "Ada apa, Mas? Apa Mas Hanan sudah tahu dari siapa?" tanya Naya penasaran. "Dari orang yang tidak penting," jawab Hanan datar. Naya diam memperhatikan suaminya yang berubah sikap menjadi aneh. "Maaf. Aku lelah. Aku masuk dulu," kata Hanan tiba-tiba. Hanan kemudian segera berdiri begitu saja dari meja makan. Ia berjalan menjauhi meja makan. Masuk ke dalam kamar begitu saja. Membuat Naya merasa heran. "Mas Hanan langsung bad mood begitu. Memangnya dari siapa paket itu?" gumam Naya berbicara sendiri dengan pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD