"Apa!"
Terdengar suara Wardana menggelegar di ruangannya. Saat ini Santi menemui adiknya itu dan mengatakan bahwa Langit ingin menikahi Binar.
"Dan, maafkan aku. Tapi aku tidak mau bermasalah dengan keluarganya lula. Langit mengatakan kalau ia mau mengakhiri pertunangannya dengan Lula. Itu artinya kerja sama yang sudah terjalin antara dua keluarga akan berakhir dengan tidak mengenakan. Aku tidak mau itu terjadi, Dan." Santi merengek sedih.
"Anak itu sungguh memalukan. Dia sudah membunuh ibunya sendiri. Dan sekarang dia malah mau membuat onar lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana membuatnya agar dia mengerti!" Wardana sungguh murka pada Binar. Putri satu satunya itu tidak hanya telah membutanya malu. Tapi juga sudah menghancurkan hubungan orang lain. Ia sungguh ingin sekali mengurungnya di gudang. Namun sayang nya dia tidak tahu di mana keberadaan putrinya tersebut.
"Kakak tahu, di mana keberadaan Binar?" Wardana bertanya.
"Aku tidak tahu, Dan. Hanya Langit yang tahu di mana Binar berada. Aku mohon bantu aku, Dan. Langit akan menikah sebulan lagi dengan Lula. Akan jadi apa, kalau tiba tiba Langit membatalkan pernikahan itu. Aku akan sangat malu sekali."
"Aku minta maaf, Kak. Tapi aku akan berusaha mencari keberadaan anak itu. Aku akan mengurungnya, biar dia tahu diri."
"Jangan terlalu keras, Dan. Buat saja, Binar mengerti, kalau hubungannya dengan Langit memang sudah tidak mungkin, karena Langit akan menikah sebulan lagi."
Wardana menyuruh seseorang untuk mencari tahu keberadaan Binar. Ia mungkin akan mengurung Binar, selama Langit belum menikah dengan Lula. Lalu setelah itu, barulah Wardana akan melepaskan putrinya itu, ke mana saja yang Binar mau.
Sementara di tempat lain, Binar terlihat pucat dan menatap langit biru dengan tatapan kosong. Dia memegang tes pack yang memperlihatkan garis merah dua. Apa yang harus ia lakukan dengan hidupnya ini. Ia tidak mungkin kembali pada laki laki itu. Tapi ia pun tidak boleh menggugurkan janinnya itu. Sangat berdosa sekali.
"Mamah harus bagaimana sayang?" Binar mengusap perut datarnya. Sebentar lagi ia akan kerja. Tapi badannya lemas sekali, ia tidak tahu harus bagaimana.
"Mamah harus kuat, kamu akan semangatin mamah kan sayang?" Binar sekali lagi mengusap perutnya yang masih langsing, tidak terlihat ada tanda tanda kalau dia sedang hamil. Hari mulai siang, maka Binar segera bergegas ke toilet, ia harus menadi, sarapan, kemudian kerja.
Sampai di restoran, ia bertemu dengan Antonio.
"Selamat pagi, Tuan." sapanya.
Antonio melirik Binar. "Pagi." sebuah kerutan menghiasi wajah tampannya. Ia melihat sesuatu yang berbeda dari perempuan itu. Dia pucat, seperti orang sakit. Namun ia merasa itu bukan lah urusannya. Toh, Binar sudah dewasa, dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Antonio pun memutuskan untuk masuk saja ke dalam ruangannya.
Binar segera bergegas ke bagian loker, meletakan semua barang miliknya. Tas kecil yang berisi make up, dan keperluan lainnya. Dan ponsel ia masukan ke dalam saku rok span selutut, seragam restoran.
Memasuki dapur, Binar bertemu Lipia, dia chep di sana. Namun yang membuatnya merasa aneh kali ini, bukan karena bertemu lipia yang bajunya serba putih itu, tapi pada bau aneh yang membuatnya mual.
"Kenapa?" Lipia bertanya. Binar membekap mulutnya dengan sebuah ringisan. "Kamu baik baik saja?" tanya Lipia.
"Iya. Anu ... mbak Lipia masak apa ya?" Binar melihat pada baskom besar yang berisi daging, yang dipotong panjang panjang namun tipis.
"Oh, ini untuk marinasi grill. Kamu mau nyoba?"
Melihat daging itu, rasa mual Binar semakin terasa. Ia menggeleng dan segera berlari ke arah toilet. Ia mengeluarkan semua isi pertunya yang tadi pagi ia isi sarapannya. Kepalanya pusing, dan tubuhnya lemas sekali. Padahal ia baru dua hari kerja di sana. Bagaimana kalau Tuan Antonio memecatnya hanya karena ini.
"Aduh, gimana ini?" Binar menatap dirinya di dalam cermin toilet. "Aneh, kenapa dagingnya bau banget. Biasanya kan enggak." Dia berkumur, lalu memilih memakai masker, agar tidak terlalu mencium aroma daging mentah itu.
Selesai dengan dirinya, Binar pun kembali keluar dan menuju ke bagian depan. Ia mulai membersihkan meja, dengan cepat, menyapu lantai, kemudian mengepelnya. Binar memang bekerja di bagian bersih bersih, namun kalau dibutuhkan, ia pun bisa menjadi pramusaji atau apa saja sang manager menyuruhnya. Binar tidak akan protes, yang penting ia bisa mendapatkan gajih yang halal.
Semuanya selesai, Binar membawa ember berisi air bekas mengepel, dan hendak membawanya ke bagian belakang. Namun entah bagaimana ia terpeleset dan membuat ember itu jatuh hingga airnya mucrat, dan lebih sialnya lagi tidak jauh dari sana Antonio sedang berdiri, sehingga air bekas mengepel itu membasahi kaki dan celana bagian bawahnya. Binar menganga dan segera berjongkok mengambil ember itu.
"Tuan saya mohon maaf! Saya bener bener enggak sengaja. Mohon jangan pecat saya Tuan!" Binar bertekuk lutut dan menunduk dalam.
Antonio terdiam dengan helaan napas dalam. "Saya mau pergi ke restoran cabang lain, hari ini. Kamu tahu enggak gimana caranya agar saya bisa ke sana tanpa celana dan sepatu saya basah?" Sungguh sial sekali Antonio hari ini. Ia sungguh ingin sekali meledak pada karyawannya itu. Namun entah kenapa melihat wajah perempuan itu, amarahnya mengusap begitu saja. Dan lagi, perempuan itu sepupunya sahabatnya, Langit. Dia tidak mungkin memarahinya, ia bisa jadi samsak oleh sahabatnya itu. Memang sangat sial hidupnya Antonio saat ini.
"Ma-mau saya cuci, dan--"
"Apa dicuci bisa kering?" ketus antonio.
"Kering kan peke blower. Dan nanti saya strika." kebetulan di dalam ruangannya Antonio memang ada alat alat itu. Mungkin memang Antonio sering menggunakannya.
"Ok, ayo keruangan saya!" Antonio malas berdebat, ia kembali masuk ke dalam ruangannya dikuti oleh Binar yang menunduk dalam. Sampai di dalam, Binar memejamkan kedua matanya, ketika melihat Antonio membuka celana di depan wajanya. Memperlihatkan boxer di atas lutut yang agak ketat. Menelan saliva ketika Antonio melemparkan celana itu padanya. "Saya kasih waktu setengah jam dari sekarang. Kalau lewat, gajih kamu saya potong!"
APA!
Gajihan saja belum, ini malah sudah mau dipotong saja. Bagaimana nasib Binar. Dia sedang hamil, dan tentu saja sangat membutuhkan uang. Duh, bahaya sekali. "Jangan khawatir, Tuan. Aku akan menyelesaikannya sebelum itu." Maka binar segera memutar dirinya, dengan wajahnya yang tetap menunduk tanpa mau melihat kedua kaki jenjang yang di terlihat mendebarkan sekali. Binar sungguh merasa berdosa pada kedua matanya karena telah di nodai oleh pemandangan itu.
Lalu ia pun segera ke toilet, mencuci bagian bawah celana yang terkena cipratan tadi. Mencuci cepat, dan mengeringkannya dengan cepat pula. Beruntung ada mesin cuci kecil juga di toilet. Binar tidak tahu, kenapa Tuannya itu menyediakan segala macam alat perawatan baju, padahal di sini adalah sebuah restoran. Setelah berhasil mengeringkan celana itu di mesin cuci, Binar pun segera membawanya ke ruangan Antonio dengan kedua matanya yang tetap menunduk. Takut kalau Tuannya itu sedang berdiri seperti tadi. Namun beruntungnya, Antonio sedang duduk di sopa dengan tangan memegang tabnya. Namun tetap saja, kedua kaki jenjang itu terlihat jelas olehnya. Binar segera berjalan ke arah blower pengering tangan. Meletakan ujung celana itu dibawahnya, sehingga terdengar sebuah suara yang meringsek, menyedot apa yang ada di bahan lembab tersebut.
"Waktunya sepuluh menit lagi, Binar. Siap siap gajih kamu saya potong!" suara enteng Antonio, membuat Binar mengap mengap sesak seperti ikan cupang yang berada di atas air. Duh, bukannya bekerja cepat, tangan Binar malah bergerak gemetar. Keringat dingin bercucuran, perutnya terasa mual, dan tubuhnya gemetar. Dan juga kepalanya yang terasa berkunang kunang. Ada apa dengan dirinya, apakah ini karena Binar sedang hamil?
Tidak!
Binar tidak boleh lemah, ia harus segera menyelesaikan urusannya, sebelum setengah jam itu berakhir. Sehingga ia tidak perlu menerima pemotongan uang gajihnya.
Berhasil mengeringkan ujung celana itu. Binar segera menyetrika dengan sangat rapi, lalu memberikannya pada Antonio, lagi lagi dengan wajahnya yang menunduk dalam.
"Ok, kamu bisa keluar!" Maka Binar pun keluar dari ruangan itu dengan helaan napas lega. "Kita selamat, Nak." dia berbicara sendiri di dapur dengan mengusap perutnya yang datar. Segelas air putih hangat, menambah tenangnya diri Binar.
***
Antonio POV.
"Kenapa tersenyum terus?" tanya Langit, padaku. Saat ini aku dan Langit sedang berada di sebuah jamuan makan siang Pak Bupati. Aku dan Langit memang sering diundang di acara acara seperti ini, karena menjadi narasumber. Mereka menyebut kami sebagai pengusaha muda suskes, karena kami berdua memiliki usaha yang bisa menyerap tenaga kerja di usia tiga puluhan. Aku memiliki sepuluh cabang Restoran, sedangkan Langit, memiliki perusahaan dibidang property, dia CEO muda di sana. Dan perusahaan Langit ini memang sudah melangit seperti namanya.
"Enggak ko," aku mungkin gila, karena mengingat Binar yang menunduk malu, karena melihat ku yang hanya memakai boxer saja, tadi. Habisnya aku kesal sekali pada perempuan itu. Aku dendam, makanya aku sengaja membuka celana di depan wajahnya itu. Sehingga dia terlihat pucat sekali. Apakah pemandangan aku tanpa celana itu begitu menyeramkan?
"Tuh, kan senyum lagi!" todong Langit. Aku memang mengulum senyum, karena sungguh merasa lucu mengingat wajahnya.
"Udah, ah. Diem!" segera kuraih gelas berisi air putih itu, dan ku telan perlahan.
"Si Binar gimana kerjanya?" sontak saja, aku terbatuk mendengar nama perempuan yang disebut Langit. Pasalnya, aku memang sedang memikirkan perempuan itu. Tidak! Maksudku, aku bukan memikirkannya karena suka, tapi karena merasa lucu. Iya, lucu dengan mimik wajahnya itu.
"Ok, ko. Dia cepat kerjanya." Dia ceroboh dan aku gemas. Eh.
"Syukur lah." kami kembali diam, karena Pak Bupati masuk ke dalam ruangan, lalu kami pun menyapanya. Kami makan, sambil mendengarkan wejangan Pak Bupati. Beliau mengataka bahwa negara ini memang membutuhkan orang orang muda seperti kami agar negara semakin maju.
Kemudian setelah itu, kami pun kembali pulang. Maksudku, Langit kembali ke kantornya, sedangkan aku kembali ke Restoran. Aku ingin melihat si perempuan cantik itu. Eh, maksudku si Binar yang ceroboh itu. Sampai di Restoran, aku melihat perempuan itu sedang mencuci piring. Kemudian mengusap kening oleh punggung tangan. Mungkin ada rambut yang keluar dari tempatnya. Lalu mengelap piring piring itu dan meletakannya di rak. Ku lihat semua gerakannya, termasuk ketika ia menguap lelah.
Muncul perasaan aneh, yang membuatku tidak ingin melihatnya repot seperti itu.
"Dia Binar, umurnya 22 tahun. Cantik kan?" Lipi tiba tiba berada di sampingku. Dia chep sekaligus adiku.
"Apaan?" protesku.
Lipi tersenyum. "Aku bisa melihat, kalau dia itu spesial buat kamu, mas." apa katanya!
"Sembarangan!" sanggahku.
Lipi malah terkekeh."Sumpah demi apa?" dia malah menantangku.
"Sudah sana! kamu berisik!" Aku memilih menghindar hendak ke ruanganku. Namun langkah ini malah ke dapur masuk menemui perempuan itu, karena dia hampir terpeleset, namun karena gerak ku lebih cepat. Dia berhasil aman di dekapanku. Kulihat wajah jelitanya itu, ku lihat kedua matanya yang membola menyorot padaku. Hidung mancung yang begitu cantik, dan kedua bibir yang entahlah ... aku mabuk sepertinya. Jantungku berdebar diatas kedaliku. Dan aku terpaku. Lalu apakah yang dikatakan Lipi itu benar, kalau aku jatuh cinta pada perempuan ini?