1. Meminjam Uang.
"Kenapa kamu pulang? karena kamu miskin dan suami kamu pemalas iya! karena kamu merasa apa yang papah katakan itu benar, iya. Kamu dulu pergi dan menolak papah jodohkan dengan Langit, yang sudah jelas jelas laki laki yang baik, dan papah tahu bibit bebet bobotnya. Tapi kamu malah milih laki laki pemalas itu? kamu puas sekarang hah!puas kamu!"
Wardana mendorong Binar ke lantai dengan kuat, hingga perempuan berusia 22 tahun itu terjatuh dengan kuat, saking ia kesalnya pada putrinya itu. Makian Wardana Ayahnya Binar, terdengar begitu menyakitkan hatinya Binar. Namun tentu saja tidak ada yang bisa Binar lakukan, selain menunduk dan menangis pelan. Binar telah melakukan kesalahan dengan menolak menikah dengan Langit Adiwangsa, dia adalah kakak sepupunya Binar. Saat itu, Binar sudah memiliki tambatan hati, yaitu Dilan. Lelaki pacarnya semasa SMA. Binar sangat mencintai Dilan, dan begitu juga sebaliknya, sehingga mereka pun menikah.
Namun selama menikah, Dilan ternyata sangat malas bekerja. Dilan hanya tidur dan bermain game. Awalnya Binar berpikir kalau Dilan begitu, karena belum bertemu dengan pekerjaannya. Namun ternyata, Dilan memang sudah terbiasa manja dan tidak mau bekerja. Dilan dibesarkan dengan kedua orang tua yang begitu memanjakan dirinya. Sehingga tumbuh menjadi laki laki yang pemalas. Binar sudah mencoba berbicara dari hati ke hati, namun hasilnya nihil. Dilan sama sekali tidak mau mengindahkan semua perkataannya.
Hingga Binar pun memutuskan untuk bekerja menjadi karyawan restoran. Binar berharap, kalau Dilan akan bekerja seperti dirinya. Namun yang terjadi adalah Dilan malah meminta uang padanya, dari hasil kerjanya untuk bermain game online dan membeli rokok. Lalu kalau Binar tidak memberikannya, maka Dilan akan marah marah. Itulah kenapa Binar saat ini kembali pulang ke rumahnya dan ingin menggugat cerai Dilan. Binar diam diam keluar dari rumahnya, dan pergi ke rumah orang tuanya.
"Dan sekarang kamu memohon minta maaf sama papah, kamu mau kembali sama papah. Tidak ada malunya kamu. Dasar anak durhaka! kamu pikir papah akan memaafkan kamu?"
"Maaf, pah ... maaf ..."
"Tidak akan papah maafkan. Lagi pula laki laki mana yang mau sama perempuan sisa orang lain? tidak akan pernah ada. Mending kamu pulang ke rumah suami kamu dan jadi babu mereka di sana!" Wardana menarik tangannya Binar keluar dari pintu rumahnya. "Pulang ke rumah mertua kamu dan jangan pernah kembali lagi!" Binar jatuh di atas lantai keramik di luar rumahnya. Lalu ayahnya kembali menutup pintu dengan kuat. Membuat Binar menutup kedua telinganya. Ia tidak tahu harus bagaimana agar Ayahnya memaafkannya. Agar dia bisa lepas dari Dilan.
"Papah tolong bukain pintunya. Binar minta maaf, pah. Binar bakal ngelakuin apapun, asalkan papah mau memaafkan Binar!" perempuan itu mengetuk pintu dengan sisa sisa tenaganya. Ia memang belum makan dari kemarin. Pasalnya mertuanya pun tidak mau lagi memberikan ia makan. Dan ia sudah kehabisan sisa uangnya dari hasil kerjanya sebagai pelayan restoran. Dilan telah mencuri uangnya untuk dipakai bermain game online bersama teman temannya. Dan saat ini Binar sudah tidak memiliki uang sepeser pun. Ia pulang pun, memijam uang pada tetangganya. Dan suatu saat, tentu saja Binar akan mengembalikannya.
"Tidak ada lagi, Binar. Satu satunya keinginan papah adalah kamu menikah dengan langit, anak dari pakde kamu. Tapi saat ini Langit sudah memiliki seorang tunangan, itu artinya harapan papah telah kandas. Dan kamu sudah tidak lagi jadi harapan papah. Kamu pergi dari sini, dan jangan pernah kembali lagi! jadi pembantu mereka saja, kalau kamu memang tidak bisa hidup sendiri!" begitu kecewanya seorang Ayah, sehingga tidak ada lagi kesempatan kedua untuk Binar mengulang segalanya. Dan memang semua itu tidak akan bisa diulang kembali. Binar hanya bisa berdiri pada kedua kakinya saja. Berjuang dan belajar hidup tanpa pertolongan siapapun.
***
Malam ini sangat dingin sekali. Binar berada di sebuah pemberhentian bus. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Namun ada satu nomor telepon yang masih saja ia simpan sampai saat ini. Meski dulu, ia pernah melukai hati orang itu. Ia menolak perjodohan itu, karena merasa kalau mereka ini adalah saudara. Binar bukan berniat ingin menyakiti hatinya. Lagi pula, Langit belum tentu juga menyukai dirinya. Siapa tahu, kalau Langit juga senang dengan penolakannya.
Maka di sini lah Binar berada, dia berdiri dengan kedua tangannya yang dingin dan mengepal karena saking dinginnya malam ini. Dia juga sangat lapar, amat sangat. Hingga kedua lututnya terasa lemas. Ia juga amat haus, hingga tenggorokannya terasa kering dan panas. Binar memeluk dirinya di depan gerbang mewah rumah Pakde nya itu. Berharap kalau mereka mau menolongnya. Binar akan meminjam uang pada mereka. Binar akan mencari kontrakan dan mencari pekerjaan di sana.
Diletakannya tas berisi bajunya di atas tanah kering itu. Bahu Binar terasa pegal, karena menggendongnya terlalu lama. Ia pun mencoba menelpon ke nomor itu. Namun sayang, Langit tidak mengangkat panggilannya itu. Sekali lagi Binar menelponnya, dan seseorang di balik sana mengangkatnya. Seorang perempuan dengan suara lembut menyapanya.
"Halo! siapa?" Ah, pasti itu adalah tunangannya Langit. Iya, mungkin mereka sedang bersama. Binar segera menutup ponselnya kembali, dan memasukan ponselnya tersebut ke dalam tas buluknya. Selama menikah satu tahun bersama Dilan, jangan kan tas baru. Bahkan celana dalam saja, Binar sudah tidak sanggup membelinya. Begitu hebat siksaan yang diberikan Dilan padanya. Hingga Binar menyerah dan ingin mengakhiri hubungan itu.
Karena dua hari tidak makan, Binar harus mencari apapun yang bisa ia makan. Setidaknya untuk saat ini saja, sebelum ia bertemu dengan Langit, dan meminta pinjaman uang darinya. Ia pergi ke tong sampah yang ada di depan rumah mewahnya Pakdenya itu. Ia pun mengorek dan menemukan roti yang sudah berjamur. Binar tersenyum dengan kedua matanya yang berkaca. Dengan tangan gemetar, Binar membuka bungkusan itu, dan memakannya dengan lahap. Rasanya masih enak, dan sama sekali tidak basi. Roti tawar akan tetap enak meski sudah ada jamur sedikit. Pakde nya memang akan membuang roti yang sudah berjamur meski jamurnya terbilang hanya sedikit dan sama sekali belum mengubah rasanya. Yang Binar rasa, roti itu masih enak dan dan cukup mengganjal perutnya yang sedang kelaparan.
"Binar!" Suara seseorang yang familiar, menghentikan Binar yang sedang lahap menimati roti berjamur itu. Binar tahu siapa pemilik sepasang sepatu mengkilat itu. Itu sebabnya Binar hanya menunduk saja dengan kedua matanya yang ia sembunyikan. Ia tidak akan berani menatap matanya.
"Binar, kamu sedang apa di sini?" laki laki itu memegang kedua bahunya dengan cemas. "Kamu makan apa itu?" dia melihat roti yang dimakan Binar. Ia kaget dan segera merebutnya. "Kamu kenapa makan ini Binar? ini sudah bulukan!" lelaki itu memasukan kembali roti itu ke dalam tong sampah, dan membuat Binar menangis, dengan gemetar. Binar belum selesai memakan rotinya, ia masih sangat lapar.
Langit menghela napas dalam. "Mas, belikan roti yang baru. Tapi kamu enggak boleh makan itu! ayo masuk dulu!" ajak Langit lagi.
Namun Binar menggeleng. Ia tidak mau masuk dan merepotkan Langit. Ia sungguh merasa amat malu pada laki laki itu.
"Mas ..., Bi-binar boleh minjam uang enggak?" perempuan itu tetap menunduk sungguh tidak berani menatap wajahnya. "Binar mau nyari kontrakan, dan mau nyari kerja. Ta-tapi Binar enggak punya pegangan. Tolong mas ..." lirihnya dengan kedua matanya yang kembali basah.
Langit terdiam untuk beberapa saat, dan mengalihkan tatapannya ke arah lain."Baiklah. Mas pinjamkan."