6. Mas Langit Harus Bahagia.

1069 Words
Binar POV. "Kamu enggak apa apa?" Tuan Antonio menegakan badanku. Aku sungguh merasa bersyukur beliau telah menyelamatkanku. Sedikit saja lengah. Maka mungkin janinku tidak akan baik baik saja. Meski aku tahu, aku tidak menginginkan janin ini. Maksudku, aku bukan membencinya, hanya saja dia datang disaat waktu yang tidak tepat. Aku menyembunyikan kehamilan ini dari suamiku. Seminggu lagi aku akan bercerai dengannya. Dan Dilan memang sudah menandatangi perceraiannya. Semoga aku dimaafkan oleh Allah, karena telah menyembunyikan ini. Aku hanya ingin mengamankannya dan diriku sendiri. Aku yakin Dilan tidak akan pernah berubah, meski aku hamil sekalipun. Dan yang lebih parahnya hidupku tidak akan aman selama aku tinggal bersama mertua. Aku mungkin akan selalu tertekan, dan akhirnya gila. "Binar!" tegur Tuan Antonio lagi. "Eh, iya, tuan. Maaf kan saya." Aku segera mundur beberapa langkah ke belakang untuk menjauhkan jarak kami yang terlalu intim. Namun sayangnya, apa yang aku lakukan itu, malah membuatku terpeleset lagi, lalu Tuan Antonio meraih diriku lagi, dan kali ini lebih erat seolah aku ini barang yang mudah pecah. "KAMU KENAPA CEROBOH SEKALI SIH!" dia membentaku, dan jujur saja, aku sangat kaget sekali. "Maaf, tuan." aku hendak menjauhkan diri namun Tuan Antonio menahanku. "Tidak lagi, Binar! saya tidak mau disalahakan karena kamu cacat gara gara masuk ke restoran ini! kamu jatuh dan kamu patah tulang!" apa katanya! Mana ada, terpeleset sampai patah tulang? "Kamu ini masih mudah! umur baru 22 tahun. Kenapa ceroboh sekali sih?" dia terus mengomel dengan posisi aku masih berada di dalam dekapannya. Aku sungguh malu, karena jarak kami yang begitu intim ini. "Dia baik baik saja, Mas. " Mbak Lipi berdeham, sehingga Tuan Antonio segera melepaskanku. Dan aku merasa lega sekali. "Memangnya sampai kapan mas mau peluk dia terus?" tambah Lipi. Aku menunduk malu, dan tidak enak hati."Kalau gitu, saya permisi, Tuan!" Aku segera meninggalkan dapur, menuju ke bagian depan. Aku membantu Dian yang mulai kerepotan menerima pesanan dari pengunjung. Aku mulai mendatangi meja yang sedang menunggu ku. Dan segera ku catat pesanannya. Selesai, aku pun ke bagian bar dan meletakan pesanan itu di depan Ratan. Dia bagian pemesanan. "Pesan apa cantik?" Ratan sempat sempatnya menggodaku, disaat semuanya sedang sibuk begini. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ku letakan saja menu yang sudah dipesan. "Dih, bisu," ledeknya. "Kalau begitu, bawakan ini ke meja nomor 22 ya! sesuai umur kamu cantik!" dia lagi lagi mengedipkan sebelah matanya. Membuatku mengerjap dan menggeleng tidak habis pikir. kemudian aku segera membawa makanan itu ke meja yang dia sebutkan. Aku senang, sekali karena di sini sangat sibuk. Sehingga aku tidak memiliki waktu untuk mengeluh. Ku berjalan ke arah meja itu, dengan sesekali menatap perutku yang masih saja datar, belum terlihat kalau di sana sudah ada mahluk suci yang sedang tumbuh. "Doakan mamah sayang. Mamah kerja untuk kita. Kamu harus sehat ya." aku berguman sendirian, dan pelan. Sampai di meja nomor 22 aku segera meletakan pesanan mereka di tengah tengah. "Dua pasta, dua redvelvet, satu lemonade, dan satu flavoured tea." ku letakan dengan hati hati. Mereka terlihat tersenyum puas pada pesanannya yang sudah tersaji. "Waw, kamu pramusaji baru kah?" tanya seorang lelaki tampan berusia sekitar tiga puluhan. Mungkin seumuran dengan Mas Langit. "Iya." jawabku. Dia tersenyum menyelidik. "Cantik sekali, namanya siapa?" "Binar," jawabku. "Sudah menikah?" Hah! pertanyaan macam apa? aku tidak mungkin bilang sudah menikah dan akan bercerai. Aku tidak suka dengan percakapan ini. Aku berniat pergi namun -- "Kamu bisa menjawab semua pertanyaanku, dan aku akan memberikan tip yang besar untuk mu!" suaranya tersengar agak nyaring. Sehingga meja yang berada di sisi kanan dan kiriku melihat ke arahku. Aku sungguh tidak nyaman dan tidak menyukai ini. "Maaf, permisi mas. Saya masih banyak kerjaan lain." Aku pun segera pergi meninggalkannya. Menghampiri meja lain yang melambaikan tangannya padaku. Aku segera menuliskan pesanan itu, kemudian kembali ke Ratan. Sialnya laki laki itu juga kembali menggodaku. "Kamu lama sekali sayang! Aku sudah rindu!" Aku menanggapinya dengan seolah aku akan muntah. "Jangan berisik!" kesalku. Dia tersenyum dan mengambil nampan yang berisi pesanan pengunjung lain. "Bawa ini ke meja 19 sayang. Persis seperti umurmu yang masih segar dan belia!" dia memang stres! tanpa menambah interaksi yang lain. Aku pun segera membawa makanan itu ke meja yang di maksud. Leganya aku, karena orang yang duduk di meja ini sepertinya seorang perempuan. Terlihat dari rambutnya yang panjang terlihat dari belakang. Iya, mereka dua perempuan yang berbeda gendre. Aku memang selamat dari godaan laki laki yang lain. Namun kali ini pun sepertinya aku tidak akan tenang. Karena yang aku hadapi adalah Bude Santi, Mamahnya mas Langit. "Binar!" dia terlihat melebarkan kedua matanya. "Bude!" aku hampir saja menjatuhkan nampan yang berisi makanan ini. Sungguh ini adalah sebuah kejutan. Dan sejujurnya aku senang bertemu dengan beliau. Mengingat kami sudah lama tidak bertemu. Hanya saja, karena mas Langit mengatakan menyukai ku. Maka perasaan ini tidak setenang dulu, ketika aku bertemu dengannya. "Kamu kerja di sini?" Bude Santi berdiri dan membantuku meletakan makan pesanannya. "Kita sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabar kamu, sayang?" dia memegang tanganku. Aku menoleh pada gadis yang duduk berhadapan dengan Bude Santi. Dia sangat cantik sekali. Dia tersenyum menanggapi lirikan ku. Dan aku pun membalasnya dengan ramah. "Alhamdulilah baik sekali, Bude. Bagaimana sebaliknya kabar Bude?" "Bude sehat sayang. Kamu kenapa kerja di sini? bukannya kamu sudah menikah dengan Dilan setahun yang lalu?" aku yakin sekali, kalau Bude Santi memang tidak tahu seperti apa masalahku dengan Dilan. Dan itu artinya, Bude Santi juga tidak tahu kalau aku dan Mas Langit ... "Ah, kami baik baik saja, Bi. Kalau begitu, saya permisi." namun Bude Santi menahan tanganku. "Eh, tunggu dulu, sayang. Bude mau ngenalin kamu sama calonnya Mas Langit, kamu yakin engggak mau kenal?" dia tersenyum ... entahlah. Aku merasa kalau Bude Santi sengaja ingin memperkenalkan kami. Ah, ini memang wajar sekali. Mas Langit memang harus segera menikah. Aku akan melupakan semua yang telah Mas Langit katakan padaku. Mas Langit berhak bahagia. "Dia Lula, sebentar lagi akan menjadi mantunya Bude. Dia cantik kan?" aku menggangguk setuju, dia memang sangat cantik. Dia sangat serasi dengan Mas Langit. Aku tidak boleh memisahkan mereka. Anggap saja, ciuman waktu itu adalah kesalahan mas Langit padaku. Meski ... meski di dalam d**a ini ada yang terasa sesak. Tapi masih sedikit, masih belum terlalu sakit. Itu artinya aku masih bisa melupakan Mas Langit dan skin ship itu. "Bagaimana? kamu setuju kan dengan pilihan mas mu?" pertanyaan Bude, membuatku mengerjap, dan mengangguk cepat. "I-iya bude. Sangat serasi ..." ucapku dengan senyuman tulus. Iya, aku tulus. Dan Mas Langit harus bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD