Binar Pov.
"Dia sedang hamil anak orang lain! apa kamu tidak paham apa artinya!" kudengar bude Santi berbicara dengan nada kuat. Pelan pelan kubukan mata ini, aku masih berada di kamar nya mas Langit. Suara Bude Santi terdengar di ruang tamu.
"Om akan bawa Binar pulang! tolong kalian jangan bertengkar. Kamu bisa menikah dengan Lula dua minggu lagi. Jangan pernah batalkan itu." itu suara Ayahku.
"Tidak! Binar akan tetap di sini sampai Binar melahirkan. Dan Langit tidak akan menikah dengan Lula." Mas Langit masih saja membantah Bude danAyahku.
"Langit! apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan nak? Binar itu sudah menikah. Dia istri orang lain!"
"Binar sudah bercerai dengan suaminya. Dan itu artinya Langit tidak menyalahi aturan kan?"
"Langit!" kudengar suara tamparan. Aku yakin sekali mas Langit yang ditampar oleh Bude Santi. "Sejak kapan kamu mulai membantah pada mamah hah! kenapa kamu menjadi seperti ini?"
"Sudah! sudah!" papah mengehentikan pertikaian keduanya. "Kalian jangan bertengkar. Binar akan aku bawa pulang. Aku yang akan mengurusnya sampai lahiran. Kalian jangan bertengkar lagi."
"Maaf, Om. Jangan pernah bawa Binar. Aku bahkan merasa kalau Om pun tidak bisa menjaga Binar. Aku tidak mau Om malah membuat Binar semakin sulit. Binar sedang hamil, dan yang dibutuhkannya adalah ke tenangan. Kalau Om hanya akan terus memaki dan mengusir Binar. Maka aku tidak akan pernah mengijinkan itu."
"Binar anak Om!"
"Benar, Binar anak om. Tapi Om telah mengusir dan membencinya. Maka tidak menutup kemungkinan om akan mengusirnya lagi kan?"
"Langit!" bentak bude lagi. "Jaga ucapan kamu pada Om mu!"
"Maaf, Langit hanya tidak ingin Binar kesusahan. Dia telah mengalami pernikahan yang tidak membuatnya bahagia. Lalu kita akan membuatnya semakin menderita hanya karena sebuah kesalahan di masa lalu?"
"itu bukan urusan kamu langit! Biarkan Om membawa Binar pulang. Lalu kamu juga pulang. Dua minggu lagi kamu akan menikah!"
"TIDAK! langit sudah bilang, langit tidak mau menikah. TIDAK!"
sepertinya semuanya semakin kacau. Aku segera keluar, dan menghadirkan berbagai tatapan dari ketiga manusia berbeda gendre itu.
"Bude ... mas langit. Tolong jangan seperti ini." aku tidak mampu menatap mereka. Jadi aku hanya bisa menunduk dengan memegang tanganku sendiri sebagai kekuatanku.
"Aku dan mas Langit berakhir di sini bude. Maaf telah membuat mas langit menjadi seperti ini. Aku janji tidak akan menemui mas Langit lagi dan akan pergi dari sini."
"Tidak!" Mas langit meraih tanganku, meski aku berusaha melepaskannya. "Kamu sedang hamil, kamu tidak bisa ke mana mana!" Mas Langit menatap Ayahku dan Bude secara bergantian. "Aku akan tetap bersama Binar. Ibu dan Om boleh pergi dari sini. Aku sangat mencintai Binar, dan aku akan mengakhiri hubungaku dengan Lula secepatnya."
"Kamu egois!" Bude menangis. "Kamu benar benar bukan putranya Ibu!"
"Mas!" kutarik kuat tangan ini. "Jangan membantah pada Bude. Tolong ikutin semua apa yang di minta Bude. Mas tidak mau kan menjadi anak yang durhaka? bude adalah perempuan yang telah mengandung dan melahirkan mas. Tolong jangan lakukan ini. Aku ... aku bisa hidup sendiri dengan anaku mas. Tolong jangan khawatirkan aku. sekarang, mending mas pulang sama bude. Aku harus membereskan pakaian ku, dan pergi ke kosan yang sudah aku sewa." padahal aku masih belum menemukan kosan itu.
"Kamu mau tinggal di kosan? di mana? sama siapa?"
"Mas ... sama teman kerjaku. Tolong pergi mas." ku lihat Bude menatapku beberapa saat. Kemudian berjalan mendahului. "Mamah tunggu di rumah, Langit!" katanya sebelum beliau hilang di depan pintu. Sedangkan papah kini berada di depan ku. "Kamu pulang sama papah, Binar." suaranya sedikit melunak.
Namun aku menggeleng. "Binar udah sewa tepat tinggal pah. Dan Binar juga udah kerja. Jadi binar tidak akan pulang ke rumah." kulihat papah menatapku sedih, dan mengangguk pelan. "baiklah, kalau begitu. Papah pulang dulu." beliau pun pergi meninggalkan ku dan Mas Langit.
Tinggalah aku dan Mas Langit. Kami masih berdiri saling berhadapan.
"Kenapa kamu enggak bilang kalau kamu sedang hamil?" mas Langit memegang kedua bahuku.
"Kenapa aku harus bilang sama mas?" pertanyaanku membuat Mas Langit menatapku pedih. Sesungguhnya apa yang aku katakan itu benar. kenapa aku harus melaporkan kehamilanku pada mas Langit. Sedangkan dia bukanlah orang yang harus bertanggung jawab pada janin yang aku kandung ini.
"Aku langit, orang yang mencintai kamu. Dan meski pun seandainya aku tidak mencintai kamu. Maka aku pun tetap berhak tahu. Kamu adalah sepupuku. Perempuan yang harus aku jaga. Apa kamu lupa itu?"
"Mas, aku mau tanya mas. Apa yang membuat mas begitu menginginkan ku. Apa karena aku cantik?" dia terdiam.
"Mas, cantik itu akan hilang seiring waktu. Aku tidak akan cantik lagi, dan mas Langit tidak akan mencintaiku lagi. Apa itu cinta yang mas berikan untuku? sehingga mas berubah dan membantah bude?"
Mas Langit terdengar menghela napas dalam sekali. Menatapku dalam, membingkai kedua sisi wajah ini dengan erat namun lembut. "Apa kamu tidak melihat kalau Lula juga sangat cantik? apa kamu pikir mas tidak tahu, kalau Lula juga sangat jelita? mas tahu. Tapi apa? mas tidak menginginkan Lula. Kalau hanya tentang kecantikan yang kamu miliki. Mungkin mas akan melihat artis papan atas, lalu jatuh cinta. Tapi tidak! mas cinta sama kamu, bukan hanya karena itu, Binar ... mas cinta sama kamu karena memang adanya kamu. Hanya kamu! apa kamu pikir mas ini sebodoh itu? hanya menatap kamu dari wajah kamu saja?" Mas Langit mengusap pipiku lembut sekali.
"Mas cinta sama kamu, karena adanya perasaan yang tidak bisa mas kendalikan. Karena adanya perasaan yang seperti mau gila kalau kamu sampai menolaknya. Apa mas salah Binar? mas salah?" aku terdiam. Kedua mata ini terasa memanas. Bahkan entah sejak kapan, aku pun merasakan hal yang sama dengannya. Aku pun mulai mencintai mas Langit dan juga begitu menginginkannya.
***
Dan pada akhirnya aku diam diam pergi dari apartemennya mas langit. sekarang aku tinggal disebuah kontrakan miliknya Tuan Antonio. Beliau awalnya mengajaku ke apartemennya. Namun aku sungguh merasa sangat sungkan. Jadilah aku tinggal di kontrakan berkamar dua ini.
"Kamu beneran mau tinggal di sini?" saat ini Tuan Antonio sedang membantuku memasukan barang barang miliku.
"Iya, Tuan. Pokonya aku pasti betah. Ini deket ke restoran. Aku tinggal berjalan sepuluh meter aja."
"baiklah. Tapi apa aku boleh ke sini sering sering?" kekehnya.
Aku tersenyum satir. "Boleh, kan ini juga kontrakannya Tuan."
"Baiklah. Ayo kita belanja!"
"belanja?" beo ku.
Tuan Antonio mengangguk. "Iya. Tidak ada bahan makanan di kulkas. Buah juga kosong. Kamu sedang hamil, dikulkas harus banyak buah."
"Tapi aku belum punya uang untuk--"
"Ayolah! aku traktir kamu!" dia meraih tanganku keluar, kemudian mengunci pintu dan mengajaku memasuki mobilnya.
Lalu kita sampai di supermarket. Tuan Antonio mengambil troli besar. dan didorongnya ke bagian sembako. Aku hanya mengikuti dari belakang dengan sebuah ringisan. Dia memasukan beras, buah buahan, gula, lima kardus s**u hamil, dan macam macam bumbu dapur lainnya. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh laki laki ini. Namun kebaikannya membuatku berpikir kalau dia ...
"Ada yang ingin kamu beli lagi?" tiba tiba Tuan Antonio berada di depanku.
"A-aku--"
"Binar!" suara seseorang yang aku hindari berada tidak jauh dari kami. Mas Langit menghampiri dan menatap pada Tuan Antonio. Sebuah jenis tatapan yang di dalamnya ada kilatan cemburu dan amarah. Mas Langit menatap troly yang di bawa Tuan Antonia.
"Kamu kenapa enggak angkat ponselnya? kenapa kamu enggak ada di apartemen?' pertanyaan beruntun itu, membuatku bingung.
"Eh, Langit. Binar sekarang tinggal di kontrakan ku. Dan hari ini aku belanja untuk keperluannya!" karena jawaban yang mas langit pinta dariku tidak didapatkannya. Mas Langit beralih menatap Tuan Antonio. "Wah! kamu belanjain dia?" tanya Langit pada Tuan Antonio.
"Ya, awalnya aku mau minta ijin sama kamu. Karena aku seperti om om yang sedang mengejar gadis cantik ini. Namun karena sepertinya kamu sibuk untuk acara pernikahanmu. Aku ajak pergi saja, binar. Apa aku boleh mendekatinya, kakak ipar sepupu?" Tunggu!
Aku jadi menegang.
Mas Langit terdiam. Dia menatap belanjaan yang penuh itu. Lalu ia juga menatap padaku lekat sekali. "Jangan! Binar sudah memiliki tambatan hati. Iyakan binar?" aku mendadak menelan ludahku sendiri. Apakah ini tandanya Mas Langit sedang marah besar padaku?
"Eh, aku--"
"Terima kasih antonio! belanjaan ini, biar aku saja yang membayarnya!" Mas Langit segera menarik tanganku dan meraih troly yang berisi belanjaan yang sudah diambilkan Tuan Antonio. Aku hanya bisa menunduk ketika Mas Langit menariku lebih dekat. Dia menggandengku erat. Lalu berbisik. "Kamu jangan coba coba selingkuh, dan menggoda teman ku ya sayang! Aku bisa menghukum mu nanti!"