12. Permohonan.

1364 Words
Binar POV. "Sepupu kamu itu galak ya!" Tuan Antonio berkata padaku. Saat ini aku sedang berada di ruang management. Aku beristirahat sambil makan. Tuan Antonio terus mengomel kesal. Karena kemarin Langit malah merebutku darinya dan membayarkan semua belanjaan yang sudah ia pilihkan. "Dia sepertinya tidak suka padaku." keluhnya. "Apa kamu tahu? sikap protektifnya itu sangat keterlaluan. Seolah kalau dia sedang jatuh cinta sama kamu, dan dia cemburu padaku!" apa yang dikatakan Tuan Antonio sontak saja membuatku tersedak oleh makanan ku sendiri. "Aduh, kamu kenapa?" Tuan Antonio segera mengambilkan air minum untuku. "Kamu harus hati hati. Nanti kalau dede janinnya ikut tersedak di dalam sana, kan kasihan." aku malah kembali hampir tersedak, mendengar Tuan Antonio mengatakan dede janin. Siapa coba yang pernah mengatakan itu selain dirinya. "Udah, Tuan. Aku enggak apa apa." aku menahan tangan Tuan Antonio yang hendak menyeka mulutku dengan tisu. "Terima kasih." tuturku. "Bilang ya sama Kakak sepupu mu itu. Aku ini lelaki single, kamu juga single. Kenapa aku enggak boleh deket deket sama kamu. Apalagi aku ini bos kamu, aku ada kewajiban untuk membuat kamu nyaman, iyakan?" benar kah seorang bos harus membuat karyawannya nyaman di luar pekerjaan. Apakah ada bos sebaik itu? "Kenapa Tuan belum makan? nanti makanannya keburu dingin?" kulihat Tuan Antonio masih saja belum menyentuh makanannya. Ia terus menggerutu, karena kelakuan absurd mas Langit kemarin sore. "Baiklah, karena kamu yang minta. Maka aku akan makan." "Iya. Makanlah. Jangan menunda nunda, kasihan perutnya sudah kelaparan kan?" dia melirik padaku. "Aku sangat senang kamu tidak sesombong kakak sepupumu itu." dia kemudian mulai menyantap makanannya. "Dia itu mentang mentang bos, dan mau nikah sebentar lagi. Dia bersikap seolah enggak butuh aku." aku hanya tersenyum tipis mendengarkannya. Aku tidak tahu harus berkata apa padanya. Kalau sebenarnya aku dan Mas Langit itu bukanlah sekadar kakak sepupu biasa. Kami terlibat perasaan, dan mungkin hal itu akan membuatnya merasa jijik padaku. Setelah selesai makan, aku keluar dari ruangan management. Menemukan Ratan sedang membawa piring piring kotor ke wastafel. "Enak sekali ya, jadi kamu!" dia mulai berkata. "Kamu bisa istirahat, lalu makan enak bersama Tuan. Aku dari tadi sibuk banget, tahu. Pengunjung buanyaaak banget. Membludak banget. Aku belum makan sampe sekarang." keluhnya. "Oh, kalau gitu, kamu istirahat dan makan saja. Ini piring piring biar aku yang nyuci." ku mendorong pelan punggung nya keluar dari dapur. "Tapi nanti Bos marah sama aku. Terus aku yang dimarahi!" dia menatapku kesal. "Aku yang akan bicara sama bos. Kamu jangan khawatir." pungkasku. "Baiklah. Kalau begitu, aku akan makan." Aku mengangguk, dan ia pun pergi. Ku lihat cucian piringnya memang sangat banyak. Aku sedang sehat, aku sedang tidak memiliki keluhan apa apa. Jadi sepertinya tidak akan bermasalah kalau aku mencuci piring piring ini. "Kamu nyuci piring?" belum saja tangan ini meraih spons, suara Lipi sudah berada di belakang ku. "Eh, iya. Kasihan Ratan." kulanjutkan mencuci piring piring itu. "Oh, mau aku bantu?" "Ah, jangan! mencuci piring itu enggak bikin capek ko. Aku sering melakukan ini di rumah mertuaku dulu. Bahkan lebih banyak dari ini." "Oh, ya. Wah, mertuamu jahat sekali." Lipi terdengar menghela napas. "Kamu tahu enggak, kalau mamahku itu sangat baik. Mmaah tidak pernah memandang orang dari kasta atau pun fisik. Tapi dari karakternya. Seperti dan melihatmu, sepertinya mamah akan sangat senang." "Oh, begitu. " "Iya. Mamah tuh, sudah menyuruh Kak Antonio untuk menikah. Tapi dia masih saja nolak. Mamah tuh, udah mau nimang cucu. Tapi dasar laki laki itu, dia malah tetap masih betah membujang diusianya yang sudah 32 tahun. Bukankah itu artinya dia sudah harus menikah dan memiliki anak kan?" Ku lihat Lipi. "Apa kamu juga ingin segera menikah?" tanyaku. "Aku baru 25 tahun. Aku masih belum memikirkan itu. Eh, kamu umur 22 sudah punya beby ya." dia mengusap perutku. "Kamu mau enggak nikah sama kakaku. Biar beby ini punya papah yang keren kayak kakakku!" aku terkekeh dengan kemulyaan hatinya itu. Mana ada seorang adik yang merelakan kakaknya menikahi janda yang sedang hamil. Mungkin di dunia ini hanyalah Lipi seorang. "Ah, jangan gitu. Tuan Antonio itu lelaki hebat dan masih suci. Mana boleh dia menikahi perempuan yang sudah janda seperti ku. Apalagi aku sedang hamil. kasihan lah Tuan Antonio." Lipi terlihat menaikan sebelah alisnya. "Serius? kamu bilang kakaku itu masih suci?" dia terkekeh. "Dia itu pernah gituan sama pacarnya yang di luar negri. Kamu jangan percaya kalau dia mengaku masih perjaka." aku menunduk malu. Maksudku, Lipi bebas membicarakan kakaknya di depanku seperti itu. Sungguh menggelikan sekali. "Tapi kamu jangan bilang bilang sama dia, ya. Nanti uang jajanku dia pangkas. Sebelum aku menemukan pekerjaan yang lebih layak. Aku memang akan tetap di sini menjadi chef di sini." "Jadi kakakmu akan memangkas uang gajimu kalau kamu buat kesalahan?" tanyaku. Lipi mengangguk."Iya, dia suka begitu kalau aku melakukan kesalahan. Dia enggak profesional banget, ngeselin banget." keluhnya. "Tapi uang yang dipotongnya itu, akan dikembalikan kalau aku lagi ulang tahun. Hehe ... lumayan banyak. Dan aku senang." "Wah, berarti tetep enggak dipotong dong?" "Ya, tapi kan ngasih nya pas aku ulang tahun. Jadi berasa nabung pake uang sendiri aja gitu." Kami sama sama terkekeh. "Kalau kakak ku, seandainya suka sama kamu. Apa mau kamu?" "Enggak mungkin lah. Mana mau dia suka sama janda yang sedang hamil." Lipi hanya terdiam dengan senyuman kecutnya. "Aku cuma mau bilang, kalau kakak ku beneran suka sama kamu. Kamu jangan pernah sakiti dia ya. Karena dia itu enggak pernah bersikap baik, seperti ia bersikap sama kamu." aku sempat terdiam dengan penuturannya. Kemudian dia pergi dengan senyuman tipisnya. Lalu tidak terasa hari sudah senja. Aku segera keluar, karena merasa sudah waktunya pulang. Ketika seseorang berada di depanku, kemudian duduk bersimpuh di kedua kakiku. "Bude!" aku hendak membantu beliau berdiri. Namun Bude menggeleng pelan. "Dengerin bude dulu. Bude mau bicara sama kamu, sayang." "Bicara apa bude? mohon berdiri." aku ikut berjongkok pada akhirnya. "Bude meminta dengan sangat sama Binar. Tolong jauhi mas mu. Tolong akhiri hubungan kalian. Biarkan mas mu menemukan pasangan hidupnya. Lakukan ini demi Bude dan Mas mu Nak." Ku lihat kepedihan dikedua sorot matanya Bude. Kulihat beliau benar benar memohon dengan ketulusan nya. Bude begitu menginginkan seorang pendamping yang sempurna untuk mas Langit, bukan diriku yang jelas jelas pernah menolak dan meninggalkannya. Dulu mungkin saja Bude setuju pada perjodohan kami. Itu, dulu, ketika aku masih suci. Namun saat ini, aku jelas jelas bukan lagi Binar yang seperti dulu. Aku adalah anak durhaka yang telah meninggalkan perjodohan, dan juga telah membuat Ibunya meninggal. Jadi seorang Ibu mana yang mau memiliki menantu seperti diriku. "Bude percaya sama Binar, bahwa kamu itu anak yang sangat baik. Kamu tidak akan mengganggu hubungan orang yang sudah terjadil, sebelum kamu datang. Dan Bude juga berjanji akan mengurus Binar dan juga anak Binar, kelak. Jika Binar membutuhkan bantuan Bude. Atau binar mau sekolah lagi, kuliah lagi, Bude akan melakukan itu. Membiayai semua nya sampai Binar lulus dan sukses. Bude akan lakukan semuanya. Bude cuma minta satu hal saja, sama Binar. Tolong tinggalkan mas mu, tolong jauhi mas mu. Tolak segala jenis pemberiannya apapun itu. Bude percaya sama kamu. Kamu adalah anak baik, dan kamu pasti akan menemukan pasangan yang sama persis seperti kebaikanmu!" entahlah, ini bisa disebut pujian atau sebuah hinaan. Aku adalah anak yang pernah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Lalu Bude mengatakan kalau aku adalah anak yang baik. Ini seperti sindiran dan sejujurnya terasa mengusik hatiku. Namun apapun itu, yang dikatakan Bude adalah sebuah kebenaran. Bude berbicara apa adanya tentang diriku. Dan aku harus menerimanya. Harus! "Iya, Bude. Mohon berdiri." kali ini Bude berdiri dengan sebuah senyuman. "Kamu pasti akan melakukannya. Bude tahu kamu perempuan yang sangat baik. Namun meski begitu, bude enggak bisa nerima Binar jadi menantu Bude. Karena Binar sudah tahu sendiri apa alasan kan, Nak. Kamu sebagai seorang ibu, pasti akan mengerti itu." Iya, karena aku seorang janda malang yang sedang hamil. Karena aku adalah seorang pembunuh, dan karena aku adalah seorang perempuan yang menjadi korban kesalahan Ayahnya sendiri. Iya, tidak apa apa. "Iya, Bude." kupaksa tersenyum meski d**a ini terasa sesak luar biasa. "Baiklah. Kalau gitu, Bude mau pulang dulu. Bagaimana? apa kamu mau pulang bareng bude juga?" tanya nya. "Enggak usah, Tante. Binar biar saya yang antarkan!" Tiba tiba suara Tuan Antonio berada di belakang kami. Membuatku mematung, lalu tatapan menilai dari Bude padaku dan Tuan Antonio.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD