Sepulang berjemur di laut, sejak tadi Alicya selalu bersin-bersin, membuat Sean mengernyitkan dahinya, karena Alicya terlihat sangat pucat sepulang dari laut.
Sean mengambil air putih di meja dapur dan memberikannya kepada Alicya yang kini tengah duduk di ruang tamu.
"Minum dulu, Alic." kata Sean.
"Terima kasih." jawab Alicya.
"Ada apa denganmu? Jangan-jangan kamu flu." kata Sean, memegang dahi Alicya dan dahinya, agar ia bisa membedakan suhu tubuhnya dan tubuh Alicya.
"Benar, kamu demam sepertinya." kata Sean.
"Aku gak apa-apa, Sean."
"Gak apa-apa, gimana? Kamu sakit loh ini, badanmu panas, ayo aku antar ke kamar." kata Sean, menggendong Alicya.
Alicya mendongak menatap rahang keras Sean, wajah tampan itu di penuhi brewok halus di sekitaran dagunya, membuat Sean terlihat semakin cool dan seksi, Alicya merasa seperti akan melayang saat ini juga, ia merasa seperti putri dalam dongeng yang di selamatkan pangeran tampan dari serbuan penjahat.
Alicya menggeleng, agar ia bisa menyadarkan kepalanya.
'Apa yang ku lakukan? Oh Tuhan ... aku gak mungkin secepat itu berubah!' batin Alicya.
Dengan pelan, Sean menurunkan Alicya di atas ranjang dan menyelimutinya, kupu-kupu berbentuk hati itu seakan berterbangan di atas kepalanya. Indah sekali. Jika, saja jarak ruang tamu dan kamar agak jauh, itu sudah bisa di pastikan, jika Alicya akan pingsan karena gugup dan merasakan ritme jantungnya berubah cepat.
Alicya terus saja bersin, membuat Sean makin panik, ia mendial nomor seseorang di seberang telfon.
'Gun, apa ada Dokter di dekat Villa ini?' tanya Sean, pada Gun pengurus Villa.
' ..... '
'Kamu bisa, kan, menjemputnya? Ambil ke Villa kunci mobilku dan segera jemput Dokter itu.'
' ..... '
'Istriku sakit.'
' ..... '
'Baiklah, saya tunggu!'
Sean menaruh ponselnya di atas nakas dan duduk di tepian ranjang.
"Kalau tahu sakit begini, aku gak akan membiarkanmu menghabiskan pagi sampai siang hari di laut." kata Sean.
"Aku gak apa-apa, Sean, aku—"
"Sudahlah! Gun akan menjemput Dokter di dekat sini."
"Hem." jawab Alicya, yang tak bisa melanjutkan perkataannya, karena Sean saat ini terlihat sangat tampan ketika khawatir.
Suara ketukan pintu kamar, Sean bergegas membuka pintu dan melihat Gun berdiri di depan pintu kamar.
"Kunci mobilku ada di atas meja, pakai saja. Tolong cepat, Gun!" kata Sean.
"Iya, Tuan Muda, saya akan pergi sekarang." jawab Gun, berjalan menuruni tangga.
Sean menutup pintu kamar dan kembali duduk di tepian ranjang, sesekali memegang dahi Alicya yang kini tengah memejamkan mata dan sesekali bersin-bersin.
"Makan dulu, ya, Alic." kata Sean.
"Aku gak mau, Sean." jawab Alicya, tanpa membuka pejaman matanya.
Sean berjalan keluar kamar dan mengambil handuk kecil dan sedikit air, lalu kembali ke kamar dan mengompres kepala Alicya.
Sean sangat khawatir, jika terjadi sesuatu kepada Alicya, sedangkan ia sendiri tak tahu harus berbuat apa.
Sesaat kemudian, Yose membuka pintu kamar dan melihat Sean kini tengah mengompres kepala Alicya, apalagi satu tangannya menggenggam erat tangan Alicya.
"Ada apa dengan Alicya, Sean?" tanya Yose, masuk ke kamar sahabatnya dan membiarkan pintu kamar terbuka lebar.
"Dia sepertinya demam." jawab Sean.
"Kenapa gak bawa ke dokter saja?"
"Gun sudah menjemput Dokter yang bertugas di dekat sini." Sean kembali meremas handuk kecil itu dan menaruhnya di atas dahi Alicya, terlihat Alicya sangat nyaman dan lelap menjemputnya.
"Ada apa, Yose?" tanya Sean, menoleh ke arah Yose.
"Aku dan Gerald akan ke Villa dekat sini, Gerald memintaku menemaninya untuk melihat-lihat sekitaran sini, apa kamu gak keberatan sendiri dengan Alicya di sini?" tanya Yose.
"Tentu saja gak apa-apa, Yose! Aku dan Alicya, kan, suami istri, apa yang aku takutkan?"
"Aku gak enak saja, dalam keadaan Alicya sakit begini, kami harus meninggalkan kalian." kata Yose.
"Yang penting perginya jangan terlalu lama, karena pagi besok aku harus kembali ke Manhattan, karena akhir pekan selesai hari ini." kata Sean.
"Baiklah, kami akan kembali malam ini, kamu tenang saja."
"Kalau begitu kalian pergi saja."
"Tuan Muda, Dokternya sudah datang." kata Gun, mengantar Dokter wanita itu masuk ke kamar majikannya.
"Aku pergi, ya, Sean." kata Yose, melangkah keluar kamar.
"Periksa istri saya, Dok, dia seharian berjemur di bawah teriknya matahari." kata Sean.
Dokter wanita parubaya tersebut, memeriksa Alicya, yang kini tengah terlelap, perasaan tak enaknya sepertinya membuat matanya terlem sangat erat, sampai tak menyadari ketika Dokter memeriksa keadaannya.
"Bagaimana, Dok?" tanya Sean.
"Istri anda hanya flu biasa, Tuan, setelah meminum obat ini dan memberikan ruang yang cukup untuknya beristirahat, ketika terbangun, istri anda akan baik-baik saja." jawab Dokter wanita itu.
"Baik, Dok."
"Ini obatnya, campurkan obat ini dengan air mineral, setelah itu berikan untuk Istri anda untuk di minum."
"Meski dalam keadaan terlelap seperti ini, Dok?"
"Iya, Tuan, berikan saja minum seperti biasa."
"Baiklah, Terima kasih, Dok."
"Kalau begitu saya permisi, Tuan."
"Iya, Dok." jawab Sean, "Gun, antarkan Dokter kembali ke kliniknya."
"Iya, Tuan Muda, saya permisi." jawab Gun dan melangkah mempersilahkan Dokter itu untuk jalan duluan.
Sepeninggalan Dokter wanita itu dan Gun, sang pengurus Villa, Sean lalu mencampurkan obat tersebut ke dalam satu gelas air yang ada di atas nakas meneguk memberikannya kepada Alicya yang kini terlelap.
"Minum dulu, Alic." bisik Sean.
Alicya meneguknya meski dalam keadaan tertidur.
Setelah memberikan air minum kepada Alicya, Sean kembali menaruh gelas ke atas nakas dan melepas kompresan handuk di atas dahi sang istri.
Alicya terlihat sangat lelap, membuat Sean sesekali tersenyum, melihat wajah damai sang istri.
______
Malam kini menunjukkan pukul 11, membuat Alicya mengedipkan matanya, sungguh berat membukanya kali ini. Namun, perasaannya sudah baik-baik saja. Ia tak lagi batuk atau bersin, suhu tubuhnya pun kembali normal dan tidak sepanas sore tadi.
Alicya melihat sekeliling kamar yang hanya ada cahaya temaram lampu kamar, Alicya menoleh dan melihat Sean kini tengah terlelap di sofabed.
Alicya tersenyum, seharian ini, ia merasakan kehadiran Sean begitu dekat, yang artinya seharian ini, Sean merawatnua dengan baik, terlihat dari tempat kecil berisi air dan handuk kecil. Ada beberapa kantong obat juga di atas nakas, membuat Alicya terpana.
Pria yang kini sudah menjadi suaminya selama 2 minggu itu, tengah tertidur, wajah damai dan tampan itu tak bisa di pungkiri Alicya, bisa menjadi pemandangan yang menarik. Sean mampu menaklukkan hatinya pertama kali. Namun, sikap Sean yang menginginkan dirinya menjadi pengantin bayaran, hati yang kagum itu menjadi sebuah hati penuh kecewa.
Tanpa ada perkiraan cuaca, hujan tiba-tiba membasahi bumi, suara petir saling bersahut-sahutan, membuat malam semakin menakutkan, Alicya menutup dirinya dengan selimut, ia ingin membangunkan Sean. Namun, ia tak tega jika harus membangunkan lelap yang membawa damai dalam hatinya.
Alicya mengurung dirinya dalam selimut, karena sejak dulu, ia memang sangat takut dengan petir, jika petir selalu bersahutan, ia langsung pindah ke kamar kedua orang tuanya.
Sean beranjak dari pembaringannya, lalu menyenderkan kepalanya di kepala kursi. Ia melihat selimut di atas ranjang bergerak gelisah.
"Alicya, apa kamu sudah bangun?" tanya Sean, menghampiri istrinya dan duduk di tepian ranjang.
"Duh ... kok hujan sih?"
"Memangnya, kenapa?" tanya Sean.
"Aku takut petir, Sean."
"Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu? Coba kepalamu, aku periksa." kata Sean, memasukkan tangannya ke dalam selimut.
"Aku baik-baik saja." jawab Alicya.
"Syukurlah."
"Sean!"
"Hem?"
"Aku takut."
"Aku di sini, Alic, jangan takut." kata Sean, "Buka selimutmu, aku di sini, gak ada yang harus kamu takutkan."
Alicya membuka selimutnya dan menatap Sean yang kini tengah terkekeh melihat tingkahnya. Namun, itu tak membuat Alicya marah, malah membuatnya pun ikut tertawa.
"Apaan, sih?" kekeh Alicya.
"Kamu lucu,"
"Lucu?"
"Yes, kamu terlihat garang di depanku, tapi ternyata sama petir saja, takut." kekeh Sean.
"Meskipun aku garang. Namun, aku tetap wanita." kata Alicya.
Sean tertawa terbahak-bahak, mengundang reaksi Alicya dan menarik rambut Sean, karena Sean diam-diam sudah menertawakannya.
"Auwww ... sakit, Alicya!" teriak Sean.
"Jangan menertawakanku, Sean."
"Iya, oke ... aku gak akan menertawakanmu." kekeh Sean.
Alicya melepas genggaman tangannya di rambut Sean.
"Ahh ... apaan, sih?" tanya Alicya, dengan wajah manyun.
"Oke ... aku akan berhenti tertawa."
Alicya dan Sean beradu tatapan. Tatapan mereka menghujam lembut, mengabaikan suara petir yang seakan menhujami bumi, hangat menyeruak, tak ada kedipan mata, seakan tatapan itu memiliki sebuah arti.
Sean mendekatkan wajahnya, menatap wajah dan bibir sang istri. Jantung keduanya beradu, wajah Alicya memerah padam, karena Sean berada begitu dekat dan hanya ada beberapa cm saja dari wajahnya.
Sean menyelipkan tangannya di sela rambut Alicya, membuat Alicya memejamkan matanya, menyambut sentuhan tangan Sean yang kini berada di lehernya. Sean mengecup bibir Alicya, lalu melepasnya, mengecupnya dan kembali melepasnya.
Sesaat kemudian kecupan itu berunah menjadu sebuah lumatan yang tak berujung, awalnya Alicya tak membalas. Namun, selang beberapa menit kemudian, ketika merasa keliaran bibir Sean, akhirnya Alicya membalas lumatan itu pelan.
Apalagi yang Sean tunggu, seluruh tubuhnya menegang, sedangkan Alicya bergerak begitu gelisah, memacu semangat Sean untuk terus mencumbu sang istri, baru saja semalam sesuatu terjadi tanpa mereka sadari, akhirnya malam ini terulang. Namun, bedanya mereka sama-sama sadar.
Alicya melawan pikirannya, agar ia menghentikan cumbuan Sean, ini tak sesuai dengan kesepakatan, kemarin mungkin Alicya masih bisa menerimanya, karena mereka tak sadar. Namun, kali ini, ia harus melepaskan diri. Alicya berusaha melepaskan diri. Namun, Sean makin melumat bibirnya, Alicya memekik ketika lumatan Sean menuruni lehernya dan alhasil membuat Alicya melenguh.
Gerakan gelisah Alicya terus saja memacu semangat Sean, mengabaikan suara sahutan petir dan hujan yang makin deras, suasana makin romantis, ketika hanya ada cahaya temaram lampu kamar, menghasilkan dua siluet manusia sedang b******u.