Bab 5 – Woman in Black

2682 Words
Walau dengan keraguan tingkat dewa, akhirnya Yoga memberanikan diri untuk mengirimkan pesan singkat pada Renata. Ia pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya. Tidak pernah ia ragu untuk mengajak seorang wanita untuk berbincang atau berkencan, bahkan mengajaknya tidur, tetapi semua terasa berbeda dengan Renata. Gadis kecil itu bagai sebongkah berlian yang sangat berharga. Atau mungkin karena ia takut saja akan dibuat babak belur oleh Arkan jika ia berani macam – macam pada adik kecilnya itu mengingat betapa mengerikannya Arkan. [Re, ini Yoga. Sapu tangan aku masih di kamu?] Satu jam Yoga menunggu balasan pesan singkat yang dikirimnya ke ponsel Renata. ‘Tuh anak lagi semedi kali ya. Gue tanya gitu doang lama banget balesnya.’, batin Yoga. Sambil menunggu balasan pesan singkat dari Renata, Yoga turun ke lantai 1 rumahnya dan berjalan menuju ruang meja makannya. Terlihat seorang asisten rumah tangga membawakan satu container sayur cap cai dari dapur dan meletakkannya di atas meja makan. "Ini Mama yang masak, Bi?" "Iya. Katanya Mas Yoga lagi pengen makan sayur cap cai." Bik Ijah kembali ke dapur diikuti oleh Yoga. Ia pun mendapati ibunya sedang membuat es buah. Ia tersenyum dan memeluk ibunya dari belakang, lalu menaruh dagunya di pundak ibunya. "Eh.", Sri menoleh untuk melihat siapa yang memeluknya. "Yoga, Mama lagi repot!" "Makasih ya, Ma." "Ya.", jawabnya dengan ketus. "I love you, Mom.", ujarnya lalu menyusupkan wajahnya ke ceruk leher ibunya. Sebenarnya ia malu mengatakan hal itu secara terang – terangan. Ia memang tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Satu – satunya orang yang dapat membuatnya jujur pada perasaannya hanya Sarah. Sri tersenyum geli melihat kelakuan anaknya yang manja dan menyebalkan itu. "Jadi, udah mau terima perjodohan kamu sama Renata?" Yoga terlonjak mendengar nama Renata. "Renata?" "Anaknya temen Mama yang mau Mama jodohin ke kamu." Wajah Yoga kembali murung. Tidak mungkin Renata yang dimaksud ibunya adalah Renata yang sama dengan adiknya Arkan. Teman – teman ibunya selalu berasal dari kalangan sosialita, sedangkan Renata berasal dari keluarga yang terbilang teramat sangat sederhana. "Enggak, Ma. Yoga punya pilihan Yoga sendiri.", Yoga melepas pelukannya dan berlalu meninggalkan dapur untuk menyantap makan siangnya di ruang makan. Sri menggelengkan kepalanya melihat Yoga, "Mama pastikan kamu akan menikahi Renata!" *** 'Gile nih anak lagi ngapain sih? Apa diculik alien kali, ya? Atau jangan – jangan si Arkan nyuruh dia untuk gak deket – deket sama gue? Kebangetan emang tuh lawless lawyer satu itu! Ah, gue telepon aja deh.', Yoga membatin setelah tiga jam Renata tidak membalas pesan singkatnya. Bahkan Yoga sudah selesai makan siang, melanjutkan beberapa pekerjaan yang tertunda dan main PS, Renata belum juga menjawab pertanyaan singkat itu. Tak tahukah Renata seberapa gemasnya lelaki yang mengirimi pesan itu padanya? Namun, saat Yoga akan menekan tombol untuk menelepon, balasan pesan singkat yang sudah lama dinantikannya masuk ke ponselnya. [Iya Kak, masih di aku. Mau aku balikin kapan? Maaf ya Kak, baru sempat balas pesannya] Yoga tersenyum menerima balasan pesan itu. Hatinya berdebar untuk kembali mengirimi gadis itu sebuah pesan. [Besok bisa? After office hour. Maaf ya Re, aku ganggu kamu, ya?] [Enggak kok. Aku baru bangun tidur siang, hehe.. Iya, besok aku ke kantor Kakak, ya. Ketemu di lobby aja ya, Kak] 'Muke gile, tidur siang 3 jam? Tidur apa hibernasi?! Pasti nanti malem gak bisa tidur deh tuh anak. Apa gue main aja ya ke rumahnya?', lagi – lagi Yoga membatin. [Gak usah, Re, aku ke rumah aku aja nanti malem, boleh?] [Yah, gak bisa Kak, nanti malem aku mau pergi kondangan sama mama] [Oh gitu. Ya udah, besok aku ke kantor kamu, ya, after office hour] [Jangan, Kak. Kan aku yang pinjam sapu tangannya, aku yang harusnya ke kantor Kak Yoga] [Gak usah, Re. Aku aja yang ke kantor kamu. Takut Arkan ngamuk lagi kalau dia lihat kamu di kantor] [Oh iya juga ya. Maaf ya Kak, jadi ngerepotin] [Ah, enggak kok. Sampai ketemu besok, ya] [Oke] Yoga pun tersenyum. "Yes, usaha gue pasti berhasil!" *** Pukul 5 sore, Renata merapikan meja kerjanya dan mematikan laptopnya. Ia buru – buru bersiap – siap pulang sebelum ada klien mengiriminya e-mail dan ia terpaksa lembur. Ia bertekat untuk pulang tenggo. Selain karena mempunyai janji dengan Yoga, ia juga ingin cepat sampai di rumah. Beruntung karena Yoga tidak memintanya datang ke kantornya dan tidak memintanya untuk pergi ke suatu tempat hanya untuk mengembalikan sapu tangannya. [Re, kamu tunggu di depan lobby, ya. Aku jemput kamu. Nanti aku gak turun, kamu langsung masuk mobil aku aja] Renata membaca pesan itu dengan dahinya yang berkerut. 'Yaelah, cuma balikin sapu tangan doang mah tinggal kasih aja lewat jendela.', pikirnya, namun ia hanya mengiyakan pesan singkat Yoga itu. Renata sudah menunggu di teras lobby kantornya di dekat pintu keluar gedung. Jarak dari gedung kantor tempat Yoga bekerja tidak terlalu jauh dari gedung kantornya, sehingga ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sepuluh menit saja menunggu, mobil Yoga tampak muncul di halaman gedung kantornya. Yoga menurunkan jendela di kursi penumpang. "Masuk, Re." Renata menyodorkan kedua sapu tangan milik Yoga melalui kaca jendela mobil itu yang terbuka. "Dari sini aja, Kak. Terima kasih, ya." Yoga menghela nafasnya dan menatap kesal pada Renata, "Masuk!" "A.. Aku mau pulang, Kak." "Masuk! Gak lihat itu mobil di belakang udah ngantri?" Renata pun mengalah dan masuk ke dalam mobil berwarna hitam metalik itu. Yoga kembali menyetir mobilnya, berjalan keluar dari halaman gedung kantor berlantai 50 itu. "Kak, ini sapu tangannya." "Simpen aja." "Hah?! Bukannya Kak Yoga kemarin minta sapu tangannya dibalikin?" "Enggak. Kan aku cuma tanya sapu tangan aku masih ada di kamu apa enggak. Aku gak minta itu dibalikin ke aku." Renata ternganga dengan kata – kata yang terlontar dari mulut sahabat kakaknya itu. 'Gile, gak mas Arkan, gak temennya, sama aja nyebelinnya!', Renata membatin lalu mendengus kesal. Yoga dapat melihat itu dan tertawa dalam hati melihat ekspresi Renata. "Turunin aku di halte itu Kak.", ujar Renata seraya menunjuk halte bus transjakarta yang berada beberapa meter di depan mereka. "Kita makan malam dulu. Aku udah pesan tempat di Gunawarman." "Oh..", Renata yakin pasti telah terjadi sesuatu yang melibatkan Arkan dan Yoga ingin membicarakan hal itu dengannya. "Mas Arkan tau Kak Yoga pergi sama aku?" "Aku gak ngasih tau Arkan dan gak semua yang aku lakukan harus aku kasih tau Arkan, kan?" Sekitar kurang lebih 30 menit, mereka tiba di Gunawarman. Renata meringis melihat betapa mewahnya tempat itu. Lebih meringis lagi jika ia melihat isi dalam dompetnya yang kering kerontang bagai musim kemarau. Ingin rasanya ia bisa mempunyai kekuatan ilmu menghilang atau minimal tidak terlihat agar ia bisa pergi dari tempat itu saat itu juga. Ia tidak berani melihat harga menu hidangan yang disuguhkan oleh restaurant itu. Ia membuka halaman demi halaman buku daftar menu yang berada di hadapannya. Harga – harga menu di tempat itu benar – benar tidak masuk akal bagi dompet Renata. Andai saja dompetnya bisa berbicara, ia pasti akan berkata, 'Sekate – kate ye lu gegayaan makan di mari!' Renata menutup buku daftar menu itu, "Kak.." "Udah mau pesan? Aku panggil pelayannya, ya." "Bukan! Kakak mau ke tempat lain aja gak?" "Kenapa? Kamu gak suka sama makanan di sini?" "Bukan begitu. Harga menunya mahal banget. Kasian dompet aku nanti dia nangis!" Yoga terkekeh mendengar ucapan Renata yang mengatakan dompetnya akan menangis. 'Ya ampun, Arkan, adek lo begini amat.', ujarnya dalam hati. "Renata, kan aku yang ngajak kamu ke sini. Kamu pesan aja, aku yang traktir." Renata mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mengetahui sahabat kakaknya itu akan mentraktirnya di restaurant mewah karena ia yakin tidak mungkin seseorang yang tidak terlalu akrab dengannya tiba – tiba saja mau mentraktirnya di tempat kaum borjuis seperti itu. "Dalam rangka apa Kak Yoga mau traktir aku?" Yoga tidak menjawab pertanyaan Renata. Ia melambaikan tangan pada pelayan sebagai tanda bahwa ia akan memesan hidangan makan malamnya. Renata pun memesan makanan paling murah di restaurant itu agar ia tidak perlu kerepotan apabila suatu hari nanti Yoga meminta agar ia mengganti uang yang telah dipakainya untuk mentraktir dirinya makan di restaurant yang tak terjangkau oleh status ekonominya. 'Kak Yoga ini sebelas dua belas sama mas Arkan, harus ekstra hati – hati!', ujar Renata membatin. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Renata kembali menyodorkan dua sapu tangan milik Yoga. "Ini Kak, aku udah gak pakai lagi. Sapu tangannya udah aku cuci sampai bersih kok." "Untuk kamu aja. Terima kasih ya udah jaga sapu tangan itu sampai 9 tahun." Renata tersenyum. Tadinya ia sudah berniat mengingatkan bahwa Yoga pernah memberinya salah satu sapu tangan itu saat ia menangis setelah dimarahi Arkan di kantornya, tetapi ternyata Yoga masih mengingatnya. "Terus, kenapa Kak Yoga ngajak aku ketemuan?" "Hmm.. Aku mau ngajak kamu ke acara ulang tahun perusahaan batu bara keluarga aku hari Jum'at besok. Acaranya dimulai jam 7 malam. Kamu bisa datang?" Sejujurnya Renata sedikit kecewa karena dugannya benar. Ternyata memang ada udang di balik batu dari ajakan Yoga mentraktirnya. Dan yang membuatnya lebih kecewa lagi karena ia tidak dapat memenuhi permintaan Yoga itu padahal dalam hatinya terbit perasaan cukup senang karena Yoga mengundangnya. "Maaf, Kak, aku gak bisa soalnya Jum'at besok aku ada undangan lain dan aku udah janji datang." Tampak raut kecewa di wajah Yoga, namun ia tidak mau terlalu menunjukkan pada Renata. "Gapapa, Re. Kamu mau ke mana?" "Temennya mama aku ngadain acara pesta. Tau deh pesta apa. Oh ya, kenapa Kakak ngundang aku?" 'Ya, gue mau macarin lo, Adriani Renata!', ujar Yoga membatin. "Gak boleh?" "Boleh. Aku seneng kok Kak Yoga ngundang aku." Yoga tersenyum mendengarnya. *** Saat tengah asyik menyantap makan malamnya dan bersenda gurau dengan Yoga seraya membicarakan tentang isu politik yang sedang hangat, Renata dikejutkan dengan suara yang sangat dikenalinya. "Renata?" Renata menoleh pada sumber suara itu dan mendapati kakak sepupunya beserta sang suami sedang berjalan mendekatinya. "Mbak Rinda?", ujarnya seraya berdiri. Rinda tersenyum dan memeluk Renata. "Kamu apa kabar? Mbak kangen deh.", ujarnya lalu melepaskan pelukannya. Melihat kekakuan Renata saat bertemu kedua orang itu, Yoga dapat mengerti bahwa Renata tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Apalagi ketika mata Renata menatap mata seorang pria yang berada di samping wanita bernama Rinda itu. "Hai, Re.", ujar pria yang datang bersama Rinda. "Hai.", balasnya seraya menunduk. "Pacar kamu?", bisik Rinda pada Renata seraya tersenyum jahil. Ternyata adik sepupunya sudah memiliki kekasih yang sangat tampan. "Bu.. bukan.", balasnya. Padangan matanya beralih pada Yoga. "Yoga, kenalin, ini kakak sepupu aku dan ini suaminya." Yoga pun berdiri dan bersalaman dengan kedua orang itu. 'Kayaknya gue pernah lihat ini orang deh.', ujar batinnya ketika melihat dengan jelas wajah Haikal. "Pak Yoga?" "Iya?" "Ya ampun, Pak. Maaf, saya gak ngenalin tadi. Saya Haikal, finance manager di perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Pak Yoga." 'Hah? Jadi ini yang namanya Haikal? Oke, gue tau kenapa si Renata berubah jadi pucat begitu.', ujarnya membatin. "Oh ya, apa kabar?" "Baik, Pak. Ya sudah, silahkan lanjutkan makan malamnya. Saya dan Rinda juga mau makan dulu." Yoga pun mengangguk ramah pada mereka berdua. Rinda berbisik pada Renata, "Pulangnya jangan kemaleman ya.", ujarnya menggoda adik kecilnya itu. Yoga dan Renata kembali duduk di kursi mereka masing – masing dan menyantap kembali hidangan mereka yang lezat itu, namun kini terasa hambar bagi Renata. "Kenapa muka kamu pucat? Kamu sakit?", tanya Yoga iseng padahal ia sudah tahu mengapa sikap Renata berubah drastis. "Enggak." "Rinda itu kakak sepupu dari pihak mama atau papa?" "Papa. Mbak Rinda cukup dekat sama mas Arkan. Mereka sering main bareng." "Haikal?" Renata tidak nyaman Yoga menanyakan Haikal. "Haikal itu senior aku di kampus." "Kamu suka sama Haikal?" Dengan cepat Renata menggelengkan kepalanya. "Ya enggaklah." Yoga tersenyum. Ia tahu Renata berbohong. Sebenarnya tanpa perlu ia menguping pembicaraan Renata dan Jeanette di toilet night club milik kakaknya dulu, ia juga bisa mengetahui bahwa Renata memiliki perasaan pada Haikal. Lihat saja, ia gugup berhadapan dengan Haikal yang kini telah menjadi saudara iparnya. *** Selesai makan malam, Yoga mengantar Renata pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, mereka saling berdiam diri. Renata kehilangan semangatnya setelah bertemu Haikal, pria yang sempat mendekati Renata untuk mendapatkan Rinda dan di saat ia bertengkar dengan istrinya itu. Renata sempat berpikir bahwa Haikal akan bercerai dari Rinda, lalu menikahinya, tetapi nyatanya pria itu justru memilih kembali kepada istrinya, terlebih sudah ada seorang anak terlahir dari pernikahan mereka. Renata sudah akan menangis mengingat betapa bodohnya ia yang memiliki harapan begitu besar Haikal akan mencintainya kalau saja ia tidak ingat bahwa saat ini ia sedang berada di dalam mobil bersama si pemilik mobil. Yoga juga enggan berbicara pada wanita yang sedang patah hati. Hanya suara musik dari radio yang menemani kesunyian itu. Satu jam kemudian, mereka tiba di rumah Renata. "Terima kasih banyak ya, Kak." Yoga menganggukkan kepalanya dan tersenyum, "Oh ya, Re, sebentar.", Yoga mengambil sebuah paper bag dari jok belakang mobil. "Untuk kamu." Renata mengambil paper bag itu dan melihat isinya. "Gaun? Ini punya siapa?" "Ya punya kamu." Renata berpikir sejenak. Untuk apa Yoga memberikannya gaun?, "Dari mas Arkan?", tanyanya dengan diiringi ujaran dalam batinnya, 'Mana mungkin!'. "Bukan. Aku beli gaun itu untuk kamu." "Mana mungkin. Ini pasti tadinya mau Kak Yoga kasih ke pacar Kakak, tapi gak jadi kan?" Yoga kembali tersenyum. "Aku mau kamu pakai gaun itu di acara ulang tahun perusahaan keluarga aku Jum'at besok." Renata tampak menyesal karena usaha Yoga berakhir sia – sia. "Maaf Kak, ini Kakak kasih ke pacar kakak aja. Aku kan gak bisa dateng ke acara itu." "Simpan aja, Re." "Tapi, Kak..", ucap Renata lagi, namun terpotong oleh Yoga. "Re, kamu gak mau masuk ke dalam rumah? Udah malem nih, aku mau pulang." "Oh iya, maaf ya Kak. Hati – hati di jalan." Renata keluar dari dalam mobil Yoga dan masuk ke dalam rumahnya. Ia buru – buru masuk ke dalam kamarnya agar ibunya tidak banyak bertanya soal gaun mahal yang dibawanya. Ia khawatir ibunya akan berpikir bahwa dirinya sudah memiliki kekasih dan memintanya untuk mengenalkan kekasihnya pada keluarga mereka. Renata meletakkan tas dan paper bag di atas meja riasnya. Ia mengambil gaun malam itu dan mengganti baju kerjanya dengan gaun tersebut. Ia melihat dirinya dalam pantulan cermin meja riasnya. Ia terkejut melihat bagian atas gaun itu mengekspos belahan dadanya dan bagian bawah gaun itu terbelah memperlihatkan kakinya. Sebenarnya Renata terbiasa melihat orang dengan gaun seksi seperti itu, tetapi dirinya sendiri tidak pernah memakai gaun dengan belahan d**a dan paha setinggi itu. Dan ternyata, dirinya terlihat anggun dalam balutan gaun malam berwarna hitam pekat itu. 'Gile, ini gaun seksi amat. Gak salah tuh si Yoga ngasih gue baju kayak gini? Ah, gue yakin pasti gaun ini awalnya dia beli buat pacarnya, tapi hubungan mereka keburu putus.' Renata terus tersenyum memandangi dirinya di pantulan cermin. Ia pun berpikir apakah tidak pernah terlintas di pikiran Haikal bahwa dirinya sangat cantik? Renata menurunkan gaun itu sampai kedua buah dadanya terlihat jelas. Ia menyentuh belahan dadanya dan air matanya menetes. 'Aku emang gak pernah secantik istri kamu.' *** Dalam perjalanan pulang, Rinda menghabiskan waktu dengan membuka akun media sosialnya. Ada Arkan yang baru saja mengunggah foto dirinya bersama kedua orang temannya dengan caption 'Happy Birthday Radit!'. Matanya terbelalak ketika menyadari seseorang dalam foto yang diunggah itu adalah orang yang sama yang ia temui di Gunawarman. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengirim pesan singkat pada Arkan. [Kan, adik lo pacaran sama temen lo, ya? Tadi gue ketemu dia lagi dinner sama temen lo yang namanya Yoga.] Arkan yang sedang bermain bersama Arsya, anaknya, membaca pesan singkat itu dengan mengerutkan dahinya. Ia pun segera menelepon Renata. "Halo.", Renata menjawab panggilan telepon Arkan dengan suara terisak karena teringat pada Haikal. Tetapi, Arkan berpikiran lain. Matanya menyorotkan aura kemarahan besar. Arkan yakin Yoga telah melakukan sesuatu yang menyakiti adiknya. "Kamu di mana?" "Di rumah." "Lo diapain sama Yoga?" Renata mengerutkan dahinya demi mendengar pertanyaan Arkan. "Diapain? Gak diapa – apain." "Kenapa nangis?" Renata gelagapan mengetahui Arkan menyadari isakan tangisnya. Ia pun berpikir keras untuk mengarang kebohongan pada Arkan. "Tadi aku jatuh di kamar mandi." Arkan menghembuskan nafasnya. Ia merasa lega karena Renata bukan menangis karena Yoga. "Ya udah, bye." "Eh, tunggu." "Apa?" "Mas Arkan tau dari mana aku pergi sama Kak Yoga?" "Gue ngantuk. Udah dulu, ya.", Arkan pun langsung memutus sambungan teleponnya membuat Renata mendengus kesal. "Pasti si Rinda deh yang ngadu ke Arkan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD