Bab 4 – I Dare You

1750 Words
Yuni dan ibunya menyesap secangkir teh hijau di halaman belakang butik Yuni di daerah Kebayoran Baru. "Ya ampun, Mama masih belum nyerah juga?" "Enggak, Yun, kali ini Mama benar – benar yakin Yoga akan suka sama pilihan Mama dan secepatnya minta dinikahin sama anak teman Mama itu." "Temen Mama yang mana lagi sih? Mama mantan anak gaul Jakarta ya? Banyak banget stok temennya." Sri terkekeh dengan ucapan Yuni. Dia gak tahu, mamanya adalah mantan ratu dansa di masa mudanya dulu. "Ini temen lama Mama. Mantan tetangga di rumah Eyang kamu dulu." "Orangnya gimana, Ma?" "Renata? Biasa aja. Biasa banget. Kurus, putih, gak tinggi, tapi manis dan lucu. Kayaknya Yoga suka yang lucu – lucu gitu. Selama ini kan Mama selalu berusaha mencarikan jodoh untuk Yoga yang fisiknya mirip sama Sarah. Yang cantik, elegan, tinggi semampai dan body-nya aduhai. Kayaknya Yoga udah bosen sama yang badan model gitu." Yuni terkekeh. "Kenalin dong sama Yuni. Yuni penasaran kayak apa orangnya." "Mau banget, Yun, Mama kenalin kamu, Yoga dan papa ke Renata, tapi gimana caranya, ya? Takutnya dia kabur setelah tau Mama mau jodohin dia sama adik kamu yang petakilan itu padahal baru juga hari Minggu kemarin Mama ketemu dia dan mamanya." Yuni tampak berpikir sejenak. Tak lama kemudian, ia mendapatkan cara jitu agar bisa berkenalan dengan Renata tanpa terlihat menyosor. "Ma, undang Renata dan mamanya ke acara peresmian cabang butik Yuni yang di Darmawangsa aja." "Oh, iya. Makasih ya, Sayang. Kamu memang pintar!" *** Tanpa adanya rasa curiga sedikit pun, Renata menerima permintaan ibunya untuk menemaninya ke acara pembukaan butik baru milik anak tante Sri. Ia mengenakan baju atasan berwarna hitam dan rok berwarna pastel motif buah ceri kecil – kecil. Dengan bentuk tubuhnya yang mungil dan gaya berpakaian seperti itu, Renata tampak seperti anak kecil. Entahlah, ia lebih nyaman dengan gaya berpakaian seperti itu daripada harus tampil sedewasa mungkin seperti yang dilakukan oleh sahabatnya, Jeanette. Jeanette memang jauh lebih modis dibandingkan Renata, tetapi jangan harap Jeanette dapat merubah gaya Renata. Gaya seseorang memang menunjukkan kepribadiannya dan tidak dapat dipaksakan. Renata dan ibunya tiba di butik baru milik Yuni itu tepat sebelum acara gunting pita dilakukan. Sri sudah merasa cemas karena khawatir Santi dan anak gadisnya yang lucu itu tidak jadi datang. Ia sudah menawari Santi untuk dijemput oleh supir pribadinya, namun tentu saja hal itu ditolak oleh Santi karena takut merepotkan. Santi tidak tahu saja bahwa kebaikan Sri itu ada udang di balik bakwan. Mata Sri berbinar ketika menangkap sosok yang sedari tadi ditunggunya tiba di butik mewah dan elegan itu. Ia langsung menghampiri Santi dan Renata di pintu gerbang ruko butik. "Aduh, Santi, aku pikir kamu gak dateng." "Maaf Mbak, jalanan macet.", ubalas Santi berbohong. Sejujurnya mereka bukan terjebak macet, tetapi karena Renata kelamaan menerima bujukan ibunya untuk dibawa pergi ke butik Yuni. Mana abis berhasil dibujuk, itu anak malah pake luluran dulu sebelum mandi. “Ya siapa tau si anaknya tante Sri mau jadiin Renata brand ambassador baju – bajunya. Jadi, Renata harus luluran dulu biar cantik.”, ujar Renata ketika ibunya geleng – geleng kepala dengan kelakuan anaknya yang nyeleneh itu. "Oh, ya sudah, gapapa. Ayo masuk, acaranya sudah mau dimulai." Sri menggandeng tangan Santi dan membawanya ke halaman depan ruko butik itu. Renata mengikutinya dari belakang. Tidak berapa lama kemudian, Yuni menggunting pita yang berada di depan pintu masuk ruko butik menandakan cabang butik barunya resmi dibuka. Semua tamu undangan bertepuk tangan dan dipersilahkan masuk ke dalam butik untuk menikmati berbagai hidangan yang sudah disiapkan oleh Yuni dengan menyewa jasa salah satu catering ternama dan melihat – lihat seisi butik yang didesain dengan sangat elegan. Interior Designer yang disewa Yuni untuk mendesain butiknya memang benar – benar paham akan selera kliennya yang elegan itu. Sri menghampiri Yuni yang sedang berbincang dengan teman – teman kuliahnya dulu. "Semuanya, Tante pinjem dulu ya Yuni-nya." Mereka semua pun mengangguk ramah pada Sri. "Ada apa, Ma?" "Ayo Yun, ketemu sama calon adik ipar." Yuni pun terkekeh dan menurut saja ketika tangannya digandeng ibunya dan berjalan menuju tempat makanan ringan disajikan. "Santi, Renata, kenalin, ini Yuni, anak pertama Tante." Santi dan Renata pun bergantian bersalaman dengan Yuni dan tersenyum sangat ramah. "Yuni, kamu cantik sekali. Dulu kita pernah ketemu waktu kamu masih sangat kecil.", ujar Santi. "Maaf Tante, Yuni gak inget." "Gapapa, Yuni. Waktu itu kamu masih sangat kecil. Oya, adiknya Yuni mana?", tanya Santi lagi. "Dia lagi ada kerjaan sama ayahnya. Biasalah, ngurus bisnis propertinya.", jawab Sri. Santi pun mengangguk mengerti akan kesibukan ayah dan anak yang sangat sukses dalam karirnya itu. *** Pukul 3 sore, acara peresmian cabang butik Yuni berakhir. Para tamu undangan mulai pamit pulang. Renata dan Santi juga sudah kembali ke rumahnya menggunakan jasa taksi online. Saat sedang bersantai di ruang tamu butiknya yang baru saja dibersihkan para Office Boy dan Office Girl, ibu Sri menghampirinya dan membawakannya secangkir teh hijau. "Thanks, Mom. You're the best!", ujar Yuni seraya tersenyum manis dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Sama – sama, Nak.", Yuni mulai menyeruput teh hijau hangat yang sangat menenangkan itu. "Oh ya, bagaimana pendapat kamu tentang Renata?" Yuni meletakkan cangkirnya di atas meja yang berada di hadapannya. "Mama yakin mau menjodohkan Yoga dengan Renata?" "Kenapa memangnya?" Yuni menghela nafasnya, "Ma, Renata tuh jauh banget dari kriteria cewe yang disukai sama Yoga. Coba aja deh Mama pikir. Renata dan Sarah itu bagai bumi dan langit. Jauh, Ma." "Fisik? Iya, Mama akui Sarah menang jauh kalau soal fisik dan penampilannya. Sarah selalu terlihat elegan, sedangkan Renata hanya gadis rumahan yang sederhana. Tapi, Yun, Renata itu anak baik. Dia sopan, ramah, pekerja keras. Dia lho yang jadi tulang punggung keluarga. Ayahnya udah gak ada, kakaknya juga gak mau tau sama mereka." "Kakak? Renata punya kakak?" Sri menganggukkan kepalanya, "Kakak laki – laki. Satu ayah beda ibu, tapi dia dari kecil dirawat kakek dan neneknya makanya gak dekat sama Renata dan Santi." "Oh gitu. Profesinya?" "Sama kayak adik kamu?" "Lawyer?", Ibu Sri menganggukkan kepalanya. "Law firm mana?" "Mama gak tanya." *** Pukul 7 malam, keluarga Rudianto sudah berkumpul di salah satu meja makan restaurant mewah di sebuah hotel bintang lima. Hari ini mereka akan merayakan peresmian cabang butik baru Yuni karena siang hari tadi Rudianto bersama anak laki – lakinya ada meeting penting dengan perwakilan dari Australia yang akan berinvestasi pada pembangunan hotel baru mereka di Denpasar, Bali. "Maaf ya, Yun, Papa gak bisa ikut ke acara peresmian butik baru kamu." "Gapapa, Pa.", balas Yuni. "Gimana mas Tjokro, Pa? Masih marah?", tanya Sri pada suaminya. Yuni pun menyenggol tangan ibunya. Menurutnya tidak tepat membicarakan tentang anak gadis Tjokro yang mengamuk karena mengetahui Yoga sudah memiliki pacar dan keluarga mereka yang akhirnya menolak mentah – mentah untuk menikahkan putri kesayangan mereka dengan Yoga, si lelaki b******k yang membelikan gaun malam untuk pacarnya. "Tau deh, tadi sih dia diem aja." "Ya itu artinya dia masih marah, Pa." Yoga tidak menggubris pembicaraan orang tuanya walau ia tahu betul siapa yang sedang dibicarakan oleh mereka. "Yoga! Jujur sama Mama. Kamu penyuka sesama jenis, kan?!" "Mama!", seru Rudianto dan Yuni bersamaan. "Ya buktinya Yoga gak mau pacaran.", balas Sri. Rudianto dan Yuni pun menghela nafasnya. "Ma, harus banget ya Yoga nikah?", tanya Yoga yang sudah muak dengan rencana perjodohan antara dirinya dengan gadis yang dipilihkan orang tuanya. "Oke, kalau kamu memang bukan gay, sebentar lagi Mama akan nikahkan kamu sama anak teman Mama. Kamu gak boleh nolak!" "Anak temen Mama yang mana lagi sih, Ma? Mama gak capek apa minta maaf ke temen – temen Mama yang anaknya nolak nikah sama Yoga?" "Ya itu kan salah kamu sendiri sampai mereka nolak kamu. Udah banyak cewek yang menganggap kamu cowok b******k. Lama – lama gak ada lagi gadis yang sudi nikah sama kamu!" "Ma, Yoga udah punya pacar." "Mana? Mama gak pernah lihat kamu pacaran. Kamu pacaran sama laki – laki?!" Rudianto menepuk jidatnya dan Yuni menggelengkan kepalanya demi melihat pertengkaran antara ibu dengan anak laki – lakinya. "Oke, akan aku bawa pacar aku ke rumah." Sri mendengus meremehkan ucapan anaknya. Ia yakin seratus persen bahwa Yoga belum memiliki kekasih. Ya lagipula mana mau sih perempuan sama laki – laki yang suka mainin hati perempuan kayak si Yoga ini. "Oke. Bawa pacar kamu ke acara ulang tahun perusahaan batu bara kita Jum'at malam minggu depan. Kalau kamu gak bawa pacar kamu, kamu harus terima gadis yang akan Mama jodohkan sama kamu, tapi kalau kamu berhasil bohongin Mama dengan membawa pacar pura – pura kamu itu, kamu boleh menolak perjodohan yang sudah Mama atur." "Oke, siapa takut? Yoga akan bawa pacar Yoga dan sekalian bawa cucu Mama." "Cucu? Yoga, pacar kamu hamil?", tanya Rudianto dengan wajah pucat. "Yogaaaaa!!!!!", teriak Sri membahana ke seantero ruangan. Rudianto dan Yuni secara khusus meminta maaf kepada para seluruh tamu di sana akibat suara Sri yang mengganggu ketenteraman mereka. Sedangkan Yoga hanya terkikik melihat ekspresi ibunya dengan wajah merah padam menahan amarahnya yang memuncak. *** Sri langsung melenggang masuk ke dalam kamarnya begitu sampai di rumah. Ia tidak mau bertegur sapa dengan Rudianto, Yuni, apalagi si bocah petakilan yang gak sadar dirinya sudah tua! Huh! "Kamu nih, Ga, suka banget bikin mama kamu marah.", ujar Rudianto. "Siapa suruh jodoh – jodohin Yoga mulu. Kan lama – lama Yoga bosen, Pa." "Ada yang kamu suka?" "Pa, Yoga mau fokus sama karir Yoga dulu." Rudianto menghela nafasnya. "Terserah kamulah.", ia pun menyusul istrinya ke dalam kamar mereka. *** Malam itu, entah mengapa Yoga malas pergi ke night club bersama teman – temannya. Padahal Radit sudah membujuknya agar menemaninya tampil. Ia memilih bergelung dalam selimutnya seraya menonton televisi dan meraup keripik kentang favoritnya di atas tempat tidur. Tak berapa lama kemudian, Yuni masuk ke dalam kamarnya dan ikut masuk ke dalam selimut yang dipakai Yoga. Ia bersandar di pundak Yoga dan ikut memakan keripik kentang yang dipegang adiknya. Yoga pun merangkul kakak kesayangannya itu. Sesekali Yuni melirik wajah adiknya yang sedang fokus menonton film bertemakan pembunuhan berantai. "Ga." "Hmm?" "Ada cewe yang kamu suka, ya?" "Enggak." "Mbak tau banget gimana kamu. Siapa dia?" "Yoga gak terlalu yakin sih suka sama dia atau enggak, tapi ya dia lucu aja." "Siapa dia? Temen kerja kamu?" "Bukan. Adiknya Arkan." "Arkan sohib kamu itu?" "Iya." "Oh ya, Ga, Mbak udah ketemu lho sama cewek yang mau dikenalin mama ke kamu." "Oh ya? Gimana orangnya?" "Manis, sopan, tipikal gadis rumahan gitu sih. Coba aja dulu, Ga, siapa tau kamu suka." "Ukurannya gede gak?" Yuni tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan Yoga, lalu menampar pelan pipi adiknya itu. "Dasar m***m!" Yoga ikut terkekeh dengan apa yang dilakukan kakaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD