Si kembar usil

1323 Words
Si kembar usil Sita sedang membuka lemari pakaiannya lebar-lebar, menatapi dengan saksama deretan baju yang tergantung di lemarinya. Menemukan satu gaun yang dirasa pas, Sita menarik keluar gaun berwarna navy, dan mematutnya. Baru setelah itu dia membalikkan tubuh, menghadap ke arah kakaknya yang sedari tadi hanya diam mengamati. "Pakai ini Kak?" tanya Sita meminta pendapat. Karena dia termasuk perempuan yang payah dalam hal pemilihan pakaian, terutama gaun. Dan karenanya, untuk ikut ke pesta, Sita akan menolak sebisa mungkin. Tapi sayangnya, kakaknya lebih pandai membujuk. "Pakai itu aja, nggak terlalu terbuka." Yuna menyahut, tidak beranjak dari duduknya. Sedangkan di atas pangkuannya, putri kecilnya sedang duduk manis sembari menghabiskan semangkuk puding. Sita mencebikkan bibir, menutup lemari pakaiannya dan berjalan ke arah Yuna. Sebelum mengambil tempat di sisi Yuna, Sita lebih dulu mencodongkan tubuh untuk merebut satu suap puding yang hendak Dara makan. Membuat gadis manis usia lima tahun itu merengek. "Sita, ambil sendiri, lah." Yuna menegur, yang dibalas cengiran tanpa rasa bersalah dari Sita. Tingkah adiknya memang usil sekali. Sita meletakkan gaun navy-nya ke atas ranjang, lalu disusul tubuhnya yang merebah telentang, menatap langit-langit kamar. "Kak Kennan datang sendiri kenapa sih, pakai acara minta ditemenin," desahnya, masih setengah hati untuk ikut ke pesta yang akan Kennan hadiri. Yuna melirik sang adik, lalu menghela napas. "Sebentar aja Sita, kan besok libur kuliah." "Aku yang jagain Deva sama Dara deh," tawar Sita. Dia mengubah posisi tidurnya, menjadi tengkurap dan kini sejajar dengan Dara yang masih sibuk menghabiskan puding. "Dara sama Tante, nanti Tante bikinin puding, yang lebih enak dari bikinan Bunda," imbuhnya, menggoda Dara. "Enak gimana? Masuk dapur aja nggak mau, kalau Kakak nggak memaksa." Yuna mendecap, meloloskan satu tawa geli. Sita dan Yuna adalah sosok yang sangat berkebalikan. Jika Yuna suka berlama-lama di dapur, mencoba memasak apa pun. Maka Sita adalah sosok yang hanya cukup sepuluh menit di dapur, lalu kabur entah ke mana. Sita mencebikkan bibirnya. Menoel-noel paha Dara yang terbalut celana merah jambu. "Nggak gitu juga kali, Kak. Setiap weekend, Sita selalu bantuin Kakak dan Mba Mini di dapur." "Bantuin apa?" tanya Yuna. Memperbaiki posisi duduk Dara di pangkuannya yang bergerak-gerak diusili Sita. Lalu menjauhkan jemari Sita dari paha sang putri. "Tante bantuin makan, kan?" Dara menyahut, membuat Yuna tersenyum geli. "Iya lah, Tantenya Dara kan bisanya bantuin makan aja." Yuna ikut menambahi. Dia menunduk, menatap putri kecilnya yang juga sedang mendongak menatap dirinya, karena puncak kepalanya dia usap-usap. "Enggak dong. Dara belum tahu aja kalau Tante jago masak." Sita menyangkal, meski yang Dara dan Yuna katakan tadi adalah sebuah kebenaran. Sita sebenarnya bisa masak, kalau mau bergerak. Masalahnya, dia lebih suka bermain dengan dua keponakannya, daripada ikut mengiris bawang merah yang bikin mata mengembun. "Buktiin dong, Tante. Dara kan juga pengin makan masakan Tante." Dara kembali berucap, kali ini sembari memberikan mangkok kosong tempat pudingnya tadi, beserta sendoknya kepada Sita. Yang diterima Sita dengan cengiran kecil, namun, saat melirik isi di dalamnya, cengirannya berganti senyuman kesal dibuat-buat. Sita meletakkan mangkok kosong milik Dara ke lantai, lalu melirik gadis kecil yang tersenyum polos menampilkan deretan gigi-giginya. "Udah abis cantik, ngapain mangkok kosongnya dikasihin Tante." "Sekalian kamu cuciin." Yuna mengerling. Sita menggelengkan kepala, mengulurkan tangan dan meraih pinggang Dara untuk dia gelitiki. "Nggak mau. Tante mau dandan biar cantik," sahutnya sembari tertawa. Dia hendak bangkit dari tidurannya agar lebih leluasa mengusili Dara yang bersembunyi di ketiak Yuna. Tapi, tiba-tiba pinggangnya sudah lebih dulu diduduki sesuatu. Bukan. Tapi seorang anak laki-laki yang tergelak tawa menduduki pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan putra mahkota. "Loh, Deva udah bangun?" Yuna menyapa sang putra yang belum berpindah dari duduknya di atas pinggang Sita. "Dia nyariin kamu, langsung lari ke sini." Di depan pintu, bersandar pada kusen, Kennan menjawab tanya yang Yuna lontarkan untuk Deva. Lelaki itu bersedekap d**a, melihat keramaian di dalam kamar Sita. Sesekali dia menguap, karena memang dipaksa bangun oleh Deva untuk mencari Yuna dan Dara. Siang ini, Kennan memang mengambil tempat untuk tidur siang dengan Deva. Tapi sayangnya, dia baru terlelap lima belas menit dan Deva lebih dulu bangun. "Deva turun dong, berat." Sita merengek, menoleh ke belakang menatap Deva yang menggeleng tegas. Namun, belum juga Sita lepas dari jerat Deva, kembarannya ikut nimbrung dan duduk di paha Sita. Dua bersaudara itu tertawa begitu senang. "Kak, turunin Deva." Sita merengek pada Yuna. Yang tentu saja dibalas gelengan kepala dari Yuna. Perempuan itu justru merendahkan tubuh, memungut mangkok kosong dan segera berjalan keluar kamar. "Tante Sita mau bikinin puding lho," Dara bercerita. "Deva mau puding." Yang dibalas Deva dengan teriakan menggebu. Ditambah dua tangan kecilnya yang menggoyang-goyang bahu Sita. Sita mengerang, melirik Yuna yang menghampiri Kennan. Sebelum Yuna pergi dari kamarnya, Sita kembali merengek, "Kak." "Kakak mau cuci piring. Nggak usah rewel deh Sita, jagain Deva sama Dara," ucap Yuna, membalikkan tubuh sekilas untuk melihat anak-anaknya yang tampak bahagia mengerjai Sita. Lalu dia kembali melanjutkan langkah untuk keluar kamar. "Mas mau dibikinin kopi apa teh?" tanyanya, tepat di hadapan Kennan. "Teh aja, sama puding yang kamu bikin ya," jawab Kennan, senyumnya terukir geli melihat tingkah dua anaknya. Yuna mengangguk. "Di bawah aja apa aku bawa ke atas?" "Di bawah aja, nanti aku nyusul." Kennan menyahut cepat. Dia masih bertahan diposisinya, saat Yuna berlalu pergi. "Oh ayolah, jangan ngobrol aja di depan pintu!" Sita menjerit kesal. Dua kakaknya itu sama sekali tidak membantunya untuk lepas dari Deva dan Dara. Yang sayangnya, dua bocah itu begitu bertenaga. Bergoyang kanan kiri pula. Kennan mengukir senyuman. "Nanti kamu temenin Kakak ke pesta, kan?" Sita menggeleng. "Enggak. Gaun Sita udah lecek," sahutnya, melirik gaun navy-nya yang entah berada di mana. Mungkin, ketendang-tendang Dara tadi. Kennan mengedikan bahu. "Ya udah, Kakak tinggal turun. Awas kalau ada yang jatuh, uang jajan kamu Kakak potong." Ancamnya lalu membalikkan tubuh. Masih tentang pesta, entah kenapa Yuna dan Kennan pintar sekali memojokannya. "Sita ikut," sahut Sita mantap. Kennan menghentikan langkah seketika. Membalikkan tubuh dan kembali menghadap Sita dengan senyuman lebar. "Deva, Dara, ayo turun, ikut Ayah jalan-jalan ke depan, nanti minta es krim sama Bunda." Dan kalimat itu ampuh sekali membuat dua buah hatinya segera beranjak turun dari ranjang, tersenyum senang menyongsong ke arahnya. "Mau Ayah gendong nggak nih?" tanya Kennan, sedikit mencondongkan tubuh, menatap bergantian pada Dara dan Deva yang menghentikan langkah di depannya. "Gendong!" seru Deva dan Dara bersamaan. Kennan mendesah, berpura-pura. "Kalau ikut Ayah semua, berat dong. Deva minta gendong Tante Sita deh," ucapnya, melirik geli ke arah Sita yang baru bangkit dari rebahannya, dan sedang meregangkan tubuh. Sita segera menoleh, mendelik sesaat lalu tersenyum. "Mau setrika dulu, Kakak." "Tante Sita mah gitu, pelit. Gendong Deva aja nggak mau." Deva menghentakkan kaki, melirik Sita dengan bibir manyun, entah berapa senti.Kalau kata orang, Deva adalah Kennan seutuhnya. Dari manja-manjanya, pintar merayunya, sampai bandel-bandelnya. "Ya udah, ikut Ayah semua. Masih kuat kok," ucap Kennan, mengangkat Dara untuk berada didekapannya bagian depan, dan Deva yang segera mengalungkan lengan ke leher Kennan, di bagian punggungnya. "Besok nggak mau main sama Tante lagi lah," seloroh Deva. "Iya, Tante nakal." Dara ikut menyahuti selorohan Deva lalu tertawa bersama. "Biarin, wleee ...." Sita membalas, memeletkan lidah yang diikuti dua keponakan manisnya itu. Sebelum keduanya tak lagi terlihat di balik pintu. Sendirian di dalam kamar, bukannya mengambil gaun untuk ia setrika seperti katanya tadi, Sita justru merebahkan tubuh. Menatap langit-langit kamar dan mengukir senyuman. Harinya memang selau ramai seperti tadi. Menjadi salah satu penghuni di istana Kennan adalah hal paling membahagiakan bagi Sita. Dia mendapatkan banyak hal yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya. Dia memang usil, bahkan meladeni semua keusilan Dara san Deva, tapi lebih dari apa pun, keduanya adalah bagian berharga untuk hidupnya. "Yah, paling bentar lagi bakal dipanggil," gumam Sita, sembari mengingat hari-hari lalu, di mana dia sering kali membuat Deva dan Dara ngambek. "Tante Sita! Mau es krim nggak?" Nah kan, itu teriakan Dara dari lantai bawah. Yang hanya samar-samar terdengar olehnya. Dan secepat kilat, Sita bangkit dari rebahannya, berlari-lari kecil keluar kamar untuk turun ke lantai bawah. Sita mengayun langkahnya sampai ke pelataran rumah. Karena Kennan biasa menggelar tikar di taman, hanya beratapkan pohon untuk berteduh. Dan menjadi tempat paling favorit bagi Sita karena bisa rebahan ditemani semilir angin, juga bunyi gemerisik dedaunan. Persis seperti tengah wisata kebun. Sita mengukir senyum mendapati Deva dan Dara melambaikan tangan ke arahnya. Lihat, dua bocah itu tidak akan bisa ngambek dengannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD