Jefry dan Tingkahnya

1313 Words
Jefry dan tingkahnya "Kamu yakin, nggak mau aku antar?" Sita berjingkat-jingkat, berjalan mundur sehingga kini berhadap-hadapan dengan Orin yang hanya berjarak satu langkah. Orin menggeleng tegas. "Nggak ah, mabok kalau bonceng kamu. Apalagi mood-nya lagi berantakan sejak pagi." Sita meringis, mengeratkan tali ranselnya, masih dengan langkah yang terayun mundur. Salah satu hobinya yang petakilan ya seperti itu, kalau belum nabrak tiang aja, belum berhenti. "Udah hepi kok, Rin, matahari kan udah mulai condong ke barat." Sita mengerling. Orin tertawa sumbang. "Apa hubungannya sama matahari condong?" Sita menghentikan langkahnya, menyimpan senyuman. "Itu berarti udah lewat setengah hari, mana pernah aku ngambek lama-lama." Untuk kali ini, Orin tidak bisa menyembunyikan tawanya. Dan memang benar, Sita adalah sosok yang paling tidak bisa ngambek lama-lama. Makanya, sekesal apa pun Sita dengan tingkah playboy Jefry, gadis itu pasti akan kembali ceria dan hilang ngambeknya. Jefry? Orin mengerjap, mendapati satu sosok tak asing yang berdiri di depan sebuah mobil, tepat di halaman parkir kampus. Mobil itu terlalu mencolok, begitu juga pemiliknya. Baru saja Orin ingin memberi tahu Sita, gadis itu sudah membalikan tubuh dan terpaku pada satu titik yang sama dengan tatapannya. Pada seorang Jefry, yang kini sudah menyadari kehadiran mereka dan tengah melambaikan tangan. Jangan lupakan senyuman maut lelaki itu yang diumbar cuma-cuma di hadapan semesta. "Selalu senyuman sok manis itu." Sita mendesis, menghentakkan langkah. Mengikuti langkah Sita di sisi kiri, Orin membalas sengit desisan Sita. "Sok manis aja bikin kamu terpaku." Dan ya, balasan dari Sita adalah pelototan tanpa ada kalimat balasan apa pun. "Hai, kalian udah mau pulang?" Jefry menyambut, saat Sita dan Orin tiba tiga langkah di depannya. Orin membalas diiringi senyuman. "Hai, Kak. Iya nih, matahari udah mau condong, jadi pulang deh." "Apaan sih Orin." Sita menyahut sinis. Dia melirik ke belakang bahunya sebelah kanan, ada beberapa mahasiswi yang menghentikan langkah dan berkasak-kusuk. Yang bisa Sita pastikan sedang membicarakan lelaki di hadapannya ini. Inginnya, Sita menyembunyikan Jefry, namun, saat tatapannya beralih pada lelaki itu. Jefry justru sedang melambaikan tangan pada beberapa cewek dengan tidak lupa disuguhi senyuman maut andalannya. "Playboy ini." Sita menggeram, mengambil langkah seribu, segera melayangkan satu cubitan cabai di lengan Jefry, yang otomatis membuat lelaki itu berjengit dengan jeritan tertahan. Bahkan mundur beberapa langkah hingga menubruk kap mobilnya sendiri. Orin geleng-geleng kepala sesaat, sebelum berganti untuk mengukir senyuman samar pada beberapa mahasiswa yang lewat di sekitarnya, meminta pengertian atas sedikit kegaduhan yang ditimbulkan dua orang di hadapannya ini. Jefry dan Sita masih disibukkan dengan acara cubit-cubit dan menghindar. "Ampun, sakit, Ta. Udah. Udah." Jefry menangkap kedua pergelangan tangan Sita, mencengkeramnya erat agar tak lagi melayangkan cubitan. Cubitan dari Sita itu pedasnya melebihi cabai rawit. Meski sudah berulangkali, tetap saja rasanya Jefry tidak akan terbiasa. Tapi, Jefry senang saat Sita mengambil tindakan untuk mencubit dirinya, itu berarti gadis itu kesal. Kekesalan Sita bagi Jefry adalah sebuah perhatian. "Jangan ngambek dong. Kan, aku yang dicubit, gimana sih?" Jefry melepas cekalan tangannya, namun bukan melepas sepenuhnya, justru menggenggam jari kelingking gadis itu. Satu hal lain yang juga Jefry sukai. Memutar bola matanya, Orin menghela napas. Dia menghampiri Sita dan Jefry yang perlahan mulai akur. "Aku pamit pulang ya, Kak. Yuk Ta, duluan," ucapnya, mengukir senyuman dan mengambil langkah untuk menjauh. Yang mengherankan dari Jefry dan Sita adalah keduanya sudah tampak seperti pasangan kekasih, tapi satu di antaranya begitu pandai membuat segalanya berjalan apa adanya. Tanpa perasaan khusus. "Kok pulang duluan, kan bonceng aku." Sita menahan kepergian Orin. Meski dia tidak lagi kesal, namun kalau hanya berdua dengan Jefry, hatinya akan serapuh kapas, yang bisa kapan saja goyah. Kedatangan Jefry ke kampusnya saja sudah membuat luruh semua kesal dan cemburu pada lelaki itu, yang mengendap sejak pagi. Iya, Jefry memiliki pengaruh sebesar itu pada mood Sita. "Thanks, Ta. Aku pulang sendiri aja." Orin kembali membalikkan tubuh, mengukir senyuman dan melambaikan tangan. Dan kali ini dia benaran melangkah menjauh dari Sita dan Jefry. Namun samar-samar, dia masih bisa mendengar obrolan Sita yang meminta Jefry untuk mengantarnya. Jawaban dari Jefry sudah Orin perkirakan dan memang hanya satu kalimat itu yang akan Jefry suarakan. "Aku ke sini jemput kamu, Ta. Kalau aku nganterin Orin, kamu pasti kabur duluan." Dan balasan dari Sita adalah kalimat yang sama juga ... "Aku bawa motor, buat apa gitu jemput-jemput aku segala." Dalam langkahnya, Orin menggeleng pelan, mengukir senyuman samar. Dia yakin, Jefry hanya membutuhkan satu pemicu untuk mengeluarkan perasaan sesungguhnya pada Sita. Kasih sayang kakak adik tanpa ada ikatan darah, bagi Orin adalah kecil kemungkinan jika tak dibumbui cinta ingin memiliki. Tapi, hati orang, siapa yang tahu. Jefry memang begitu berhasil bersikap sebagai kakak laki-laki. Kembali pada Sita dan Jefry, dua manusia itu masih diliputi tarik menarik opini. "Aku pulang sendiri aja." Sita berjalan ke arah motornya, beberapa meter dari tempat Jefry memarkir mobil. Tidak ingin mengalah, Jefry mengikuti Sita. "Nggak boleh, Ta. Biar ikut aku aja," ucapnya, menahan gerakan tangan Sita yang hendak memakai helm. Sita menghela napas, mengurungkan keinginannya mengenakan helm lantas segera pulang. Nampaknya, Jefry masih ingin berdebat dengannya. "Kak, aku udah gede. Bisa pulang sendiri, dan memang selama ini pun aku selalu pulang sendiri." Jefry menggeleng tegas. "Aku antar." "Nggak." Sita menolak, sama tegasnya. Sejujurnya, Sita memikirkan baik-baik usulan Orin tentang jalan dengan lelaki lain, seharian ini. Namun, dia juga sadar, jika Jefry terus-menerus muncul di hadapannya secara tiba-tiba seperti saat ini, dan selalu mengajak dirinya untuk terjebak hanya berdua. Sita angkat tangan. Itu sulit sekali. Hatinya akan selalu terperangkap pada sosok Jefry. "Kata Yuna, kamu hampir nabrak pagar rumah minggu lalu," ucap Jefry, menatap intens manik mata Sita. "Kamu itu kecapekan, makanya nggak fokus bawa motor." "Jadi, Kak Jefry datang ke sini atas permintaan Kak Kennan dan Kak Yuna?" tanya Sita hati-hati. Beberapa kali, Jefry memang akan datang menjemput dirinya, saat jelas-jelas dia membawa kendaraan sendiri. Dan alasan di balik sikap Jefry adalah sama. Atas perintah Kakak-kakaknya. "Iya lah," jawab Jefry mantap. Seketika, Sita meluruhkan bahu. "Oh," desahnya, diiringi nada putus asa. Salah bila dia sempat berpikir bahwa Jefry datang menjemput dirinya karena inisiatif sendiri. Atau lebih tidak masuk akalnya lagi, karena lelaki itu menaruh perhatian padanya. Mengalah pada perasaannya, mengalah untuk sekali lagi. Akhirnya, Sita menganggukan kepala. "Kak Jefry minta orang buat bawa motor aku," ucapnya, meletakkan helmnya kembali ke atas jok motor dan memberikan kunci motornya pada Jefry. Jefry yang merasa senang karena perdebatan masalah pulang dimenangkan oleh dirinya, tak luput mengukir senyuman. "Kamu masuk mobil dulu," pintanya, yang dibalas anggukan pelan dari Sita. Lagi-lagi tanpa bantahan. Namun, baru beberapa langkah Sita menjauhi Jefry. Kasak-kusuk beberapa orang justru sampai ke telinganya. "Maklumlah, jalannya aja sama om-om, apa-apa pasti dipenuhi." "Ganteng sih, tapi sukanya sama cewek model Sita yang urakan." "Husst ... itu Kakaknya kok, Kakak yang merangkap Om, sekalian sugar daddy." Sita mengepalkan tangan, melirik menyeramkan pada tiga perempuan yang berdiri di samping mobil hijau. Lima meter dari tempatnya berdiri. Tiga serangkai yang hanya modal tampang dan kecentilan. Sudah terkenal seantero kampus, betapa menjengkelkannya orang-orang itu. Dengan d**a naik-turun menahan amarah, Sita melirik sekilas ke arah Jefry. Dan yang tertangkap di manik matanya adalah raut wajah Jefry yang seketika berubah. Tidak ada lagi senyum semringah saat menang debat dengannya tadi, berganti dengan wajah yang entah murung atau apa, karena ketika bertemu tatap dengannya, Jefry segera mengukir senyum dan mengedikkan dagu. "Cepet masuk. Aku telepon orang dulu buat ambil motormu," ucap Jefry sembari mengangkat ponsel yang baru dia tarik keluar dari saku jas-nya. Sita bergeming di tempatnya, masih mengepalkan tangan, ingin sekali menghampiri tiga perempuan di sana dan melabraknya. Tidak peduli jika lingkungan sekitar parkir masih dipenuhi mahasiswa. "Sita." Jefry menegur, menatap Sita dengan ponsel menempel di sisi telinga. Dan untuk beberapa saat mengalihkan pandangan, karena panggilan teleponnya dijawab. Sita berdecak, membalikkan tubuh dan segera masuk ke mobil Jefry. "Perasaan ini belum terbalas, Kak. Tapi kenapa pandangan orang begitu rendah." gumam Sita lelah. Dia menyandarkan punggung disandaran kursi dan menumpukan kepalanya di kaca mobil. Memang benar, cinta yang ia miliki tidak semudah itu diterima. Ada banyak hal yang membuat cintanya semakin terasa berat. "Tapi, bukankah cinta harus diperjuangkan." Kali ini, Sita menggumam teramat lirih, sembari menutup mata perlahan. Jefry di luar mobil, hanya mampu menghela napas berat. Teramat berat. Dia bukan tidak mendengar kasak kusuk tadi, tapi justru teramat jelas tertangkap indera pendengarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD