Pesta

1328 Words
Pesta Malam semakin beranjak, dan Sita masih saja mengikuti Kennan, ke mana pun lelaki itu berpindah untuk menemui relasi bisnisnya. Dengan embel-embel sebagai pembelajaran sebelum terjun ke perusahaan, sukses membuat Sita membungkam bibir dan menurut. Kennan akan mengenalkan dirinya sebagai adik -yang dibanggakan, kepada beberapa relasi bisnisnya. Dan Sita akan mendengarkan dengan saksama semua obrolan seputar dunia bisnis itu. Namun sayangnya, pesta yang Sita pikir terasa menyenangkan, langsung berubah menyedihkan. Dia lupa, jika ada Kennan, maka di situ ada Jefry pula. Beberapa meter dari tempatnya berdiri sekarang, Jefry sedang berbagi tawa dengan Rita dan beberapa perempuan lain. Jangankan menghampirinya, menoleh saja, Jefry hanya lima detik. Menghela napas, Sita kembali menghadap ke arah Kennan dan seorang lelaki paruh baya di hadapannya, yang sudah beberapa saat lalu berbagi obrolan dengan Kennan. "Kakak tinggal sebentar ya, Ta, kamu di sini aja," ucap Kennan, menoleh ke arah Sita, saat teman ngobrolnya sudah pamit dan menjauh dari tempatnya berdiri. "Sita nggak usah ikut, Kak?" Sita keberatan ditinggal sendiri. Walau pun mengikuti Kennan hanya sebagai pendengar, itu lebih baik daripada sendirian seperti orang hilang. "Sebentar aja, mau obrolin kerjaan." "Dari tadi juga ngobrolin kerjaan, Kak." Sita mendesah yang dibalas tawa pelan Kennan. Karena memang sedari tadi, obrolan Kennan dengan beberapa orang pasti tentang pekerjaan, bisnis, dan perusahaan. "Ya sudah, ikut deh," putus Kennan. Tak tega juga meninggalkan Sita. "Tapi, gabung sama sesepuh-sesepuh, gimana?" "Nggak pa-pa, kali bisa dijodohin sama cucu salah satu dari mereka." Sita nyengir, mengedipkan mata. Pandangannya dia arahkan pada beberapa orang, yang mungkin akan menjadi destinasi Kennan selanjutnya. Lalu, dlia menggelengkan kepala, ngeri. Ketika melihat gerombolan itu ternyata sedang dikelilingi perempuan cantik. "Nggak jadi, Kak. Sita tunggu di sini aja." Kennan mengernyit, mengukir senyum geli. "Kenapa? Nggak mau jadi cucu mantu relasi bisnis Kakak?" tanyanya menggoda. Tahu betul alasan Sita mengurungkan niat. Yah, namanya pengusaha kaya, sudah beruban pun, pasti punya gebetan perempuan cantik, seperti yang Kennan lihat beberapa meter dari tempatnya berdiri. "Nggak mau, bukan dapat cucunya malah digebet kakeknya," ceplos Sita yang segera disambut tawa Kennan. Belum reda tawanya, Kennan beranjak pergi, setelah memastikan Sita akan tetap menunggunya di tempat awal. Adik iparnya ini memang luar biasa. Di samping cerdas, juga suka ceplas-ceplos. Sepeninggal Kennan, Sita membalikkan badan, berjalan ke arah meja dengan deretan makanan dan minuman. Dia mengambil segelas minuman berwarna merah, tanpa berminat untuk mencicipi kue-kue yang disediakan. Sita mengambil tempat sedikit menjauh dari meja, dan kembali memusatkan pandangan pada sekitaran pesta. Bola matanya menemukan Kennan sedang bergerombol dengan beberapa sesepuh, dan tampak asyik sekali berbagi obrolan. Hanya Kennan yang berdiri sendirian, tanpa didampingi perempuan cantik. Dia tersenyum ketika Kennan mengangkat tangan, menggoyangnya sedikit, menolak seorang perempuan yang menghampiri dan membawa minuman. "Beda banget sama yang satunya," gumam Sita, menggeleng pelan lalu menyesap minumannya. Kali ini dia mengarahkan pandangannya ke tempat dia melihat Jefry terakhir kali. Dan pandangannya sedikit menyipit, ketika di sekitar Rita tidak ditemukan sosok Jefry. Berbeda dengan Kennan yang setianya bikin berdecak kagum, Jefry adalah sosok playboy dan royal pada hampir semua perempuan. "Paling lagi gebet perempuan lain." Sita mendesis sebal, memperkirakan keberadaan Jefry yang pasti tidak jauh-jauh dari perempuan. "Udah tahu dia seberengsek itu, tapi tetep aja bebal. Nggak bisa nggeser nama dia." imbuh Sita menggerutu sendiri, diakhiri sebuah helaan napas berat. Mengutuk berulang kali hatinya yang bebal dan justru selalu menyerukan nama Jefry. Apa baiknya Jefry? Pertanyaan itu selalu berputar di benak Sita, saat ribuan kali dia mencoba menggusur perasaannya untuk Jefry. Dan jawabannya selalu sama, cintanya tak pernah memiliki alasan. Jika dia membuat perbandingan antara kekurangan dan kelebihan Jefry. Sita rasa, kekurangan lelaki itu berkali lipat lebih banyak. Lalu kembali lagi, Sita tidak memiliki alasan kenapa ia jatuh bangun mencintai Jefry. "Kamu bosan?" Satu tanya itu berhasil membuat Sita berjengit kaget, lalu disusul bahunya yang terbuka disenggol seseorang. Dia menoleh cepat, dan mendapati Jefry melempar senyuman di sisi kanannya. Belum juga Sita menjawab tanya Jefry, lelaki itu justru sibuk melepas jasnya, membuat Sita mengernyit curiga. "Pakai ini, pasti kamu kedinginan," ucap Jefry, menyerahkan jasnya kepada Sita. Sita berkedip, mengembalikan kesadarannya, lalu menggeleng tegas. "Kenapa? Ini wangi kok, baru aku ambil dari lemari." Jefry mengangkat jasnya, mengendus wanginya. Dan memang benar, masih wangi. Apalagi ditambah dia semprot minyak wangi yang dia beli di Paris, jangan diragukan lagi wanginya. "Ngapain Kak Jefry di sini?" tanya Sita, kembali menghadap ke depan lalu menyesap minumannya. "Ikutan pesta, lah." Jefry menjawab pasti. Melirik geli ke arah Sita yang betah sekali tidak membalas tatapan matanya. Sita menghela napas, maksud pertanyaannya tadi adalah, kenapa Jefry menghampirinya, bukannya sibuk dengan banyak perempuan cantik di pesta itu. Tapi, sudahlah, tidak penting. "Kamu cantik malam ini, Ta," lirih Jefry. Yang otomatis membuat Sita membulatkan mata begitu lebar. Gadis itu ingin menoleh, memastikan, apa salah dengar, atau bagaimana. Namun, kepalanya terasa berat sekali untuk digerakkan. Paru-parunya juga tiba-tiba terasa begitu sesak untuk menarik oksigen. Jefry hampir tak pernah memujinya cantik. Hingga sebuah sapuan lembut, disusul kehangatan menyelimuti bahunya. "Tapi, bakal lebih cantik kalau kamu nggak pakai gaun tali spagetti yang bikin bahu kamu terbuka. Kamu nggak biasa pakai kayak gini." "Aku nggak perlu jas Kakak," lirih Sita, menarik jas milik Jefry untuk turun dari bahunya, dan dikembalikan. Dia menggigit bibir bawahnya sembari menatap Jefry yang memberi tatapan tak mengerti dengan kelakuannya. Sita pikir, tadi adalah pujian, namun sayang, Jefry hanya ingin mengatakan jika gaun yang ia kenakan malam ini tidak cocok untuknya. Tidak biasa dipakai olehnya. Daripada perempuan cantik yang dekat dengan Jefry, tentu, Sita bukanlah apa-apa. Meski sudah berdandan cantik sekali pun bak putri raja. "Kamu akan masuk angin, Ta. Lagian siapa sih yang pilihin gaun setengah jadi kayak gini buat kamu. Bukan Yuna, pasti kan?" "Setengah jadi?" Sita mengulang dengan nada kesal. Dia melirik gaunnya, memang bukan gaun panjang yang pertama dia pilih bersama Yuna karena gaun itu sudah lecek dan dia malas menyetrika. Akhirnya Sita memilih gaun lain. Tapi, dia yakin tidak seterbuka itu. Hanya satu bahu yang terlihat karena ditarik tali spagetti, tapi bahu satunya tertutup kain. Panjangnya pun melebihi lutut. Tidak seperti deretan perempuan cantik yang hadir di pesta ini, kebanyakan gaunnya dengan punggung terbuka dan belahan d**a terlihat jelas. Lalu setengah jadi yang bagaimana maksud Jefry? "Udah, pakai jas aku aja." Jefry kembali melingkarkan jasnya di bahu Sita. Kali ini diimbuhi dengan tepukan pelan di bahu Sita. Bahkan membiarkan telapak tangannya berada di sana cukup lama. "Nggak perlu, Kak." Sita kembali menolak, melirih, sedikit menggerakan bahunya untuk melepas tepukan tangan Jefry, sebelum jantungnya berdegup semakin gila. "Aku sudah mau pulang kok," imbuhnya saat melihat Kennan yang berjalan ke arahnya dengan sesekali menyapa beberapa orang. "Jangan kekanakan Sita. Kamu nggak biasa pakai gaun terbuka gitu, kena angin malam nanti sakit." Bukan perhatian dari Jefry yang menjadi pusat pendengaran Sita, justru kalimat pertama lelaki itu. "Aku kekanakan?" Sita mengangguk. "Benar, aku memang kekanakan." imbuhnya mendesis. Yang paling dia benci dari Jefry adalah, saat lelaki itu berulang kali mengingatkan dirinya yang masih bersifat kekanakan. Padahal, Sita sudah berusaha keras untuk tampil dewasa. Hanya agar, dia sedikit saja bisa dipandang layaknya seorang perempuan di mata Jefry. "Dan karena itu, aku nggak pernah masuk kriteria Kak Jefry." Sita melirih, yang hanya mampu ia dengar sendiri, mencoba menahan kegetiran hatinya yang merambat ke lidah. Sayangnya, Jefry justru mengerjap, menoleh ke arah Sita. "Apa?" ulangnya. "Jef, dicari Rita tadi. Kamu berangkat bareng dia, kan?" Kennan datang, langsung menghadap kepada Jefry. Yang hanya dibalas anggukan kepala dari Jefry. Bukannya memecah getir di hati Sita, pernyataan Kennan justru semakin menambah getir. Gadis itu harus mati-matian mengukir senyuman untuk membalas tatapan Jefry yang dilempar sesaat. "Kita pulang sekarang, Kak," ajak Sita, saat Jefry tak kunjung membuka suara. "Oke. Kita pulang dulu, Jef," pamit Kennan, menepuk bahu Jefry dan berlalu pergi, bersamaan dengan balasan dari Jefry. "Kalau ngantuk, bilang aku aja, biar aku antar kamu dan Sita pulang." Kennan yang baru menjauh beberapa langkah membalikkan badan, lalu menggoyang telunjuknya. "Masih terlalu sore untuk mengantuk. Rugi jam segini ngantuk, nggak bisa cari perhatian sama Yuna," balasnya mengerling. "s****n. Pulang sana. Biar dapat perhatian." Jefry membalas, diselingi tawa. Lalu mengimbuhi, begitu lirih. "Entah aku kapan." Sita yang baru meletakkan gelas kosongnya di meja, melempar gerutuan cukup keras. "Makanya Kak, jangan gonta-ganti pacar terus." Entah itu kode atau apa, yang jelas, Sita hanya berpikir, jika Jefry bahagia meski tidak dengannya, dia pun akan ikut bahagia. Mencoba untuk bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD