Jeje ngambek

1320 Words
Jeje ngambek "Kenapa ada acara mogok segala." Sita mengernyit, berjongkok di sisi motornya dan menelisik dengan saksama motor yang selalu menemaninya ke mana pun itu. Jeje -nama motornya, hampir tidak pernah rewel, karena memang rutin dia bawa bengkel untuk perawatan. Yah, bukan dirinya saja yang butuh dirawat, motor pun sama. Bertahun-tahun memakai Jeje, sampai saat ini Sita tetap buta jika berurusan tentang mesin. Yang ia tahu hanya sesering mungkin mengelap body Jeje biar mengkilap selalu. Memakai motor itu, bagi Sita hanya untuk pengalihan sebenarnya. Dulu, dia berpikir, jika mengendarai motor gede begitu, dia akan lebih mudah mendapat teman lelaki. Dan kemungkinan untuk beralih hati dari Jefry akan terbuka lebar. Tapi nyatanya, zonk. Hatinya tidak mau diajak kompromi. Teman lelakinya memang cukup banyak, namun tidak ada yang memiliki kemampuan membobol hati Sita dan menebas habis nama Jefry. Sita merogoh tas ransel kecilnya, mengaduknya untuk mencari ponsel pintarnya. "Nggak kebawa." Dia menggerutu saat tidak menemukan ponselnya, dan mengingat terakhir kali dia meninggalkan ponselnya, di atas nakas kamarnya. Dia berdecak, bangkit berdiri untuk melihat sekitar. Minggu siang, dan Jeje memilih tempat paling tepat untuk ngambek. Deretan gedung tinggi yang tampak tak berpenghuni di hari libur. Dan jalanan yang lengang. Sita memicing, mengamati deretan gedung perusahaan di kanan kirinya. Dia berpikir nama Jefry yang bisa membantunya, tapi tidak ada ponsel, dan perusahaan Kennan bukan di sekitar tempatnya sekarang. Saat ada sebuah mobil lewat, Sita buru-buru melambaikan tangan. Berharap mendapat bantuan, tapi mobil sport warna kuning itu hanya lewat begitu saja. Sita menghentakkan kaki, menggerutu kesal. "Pelit banget, ya ampun. Dikira begal kali aku." Lalu, dia kembali ke sisi motornya, jawabannya hanya satu, menuntun motornya untuk mencari bengkel. Tapi, Sita sangsi, menuntun motor sebesar itu tentu tidak akan semudah menuntun sepeda. Lagi-lagi dia merutuk kesal. Dulu-dulu, jika Jeje bannya bocor, dia akan sigap menelepon Kennan atau Jefry, meminta bantuan. Sita kembali mencoba menstater Jeje, siapa tahu kali ini ada keajaiban, tapi, gagal. Jeje tidak mau sepakat dengan keinginannya. "Ayolah, Je, nggak aku mandiin kamu, kalau ngambek gini." Sita bermonolog. Dan tentu, tidak akan ada balasan dari Jeje. Akhirnya, Sita menuntun motornya ke depan gerbang sebuah perusahaan yang tidak seberapa jauh. Dekat saja, peluhnya sudah membanjiri punggungnya, karena matahari siang ini tampak begitu menggebu-gebu menyirami bumi dengan cahayanya. Sita menitipkan motornya pada security yang berjaga di pos depan, mengatakan akan mencari bengkel. Dan beruntungnya, security dengan nama Aman tertempel di d**a kanan, memperbolehkan. Tidak butuh lama bagi Sita untuk mencegat ojek online meski tidak memakai aplikasi, memasang wajah memelas lebih tepatnya, agar mau mengantarnya. Dan di sinilah Sita, berdiri di depan bengkel megah. Setelah memberi ongkos dengan tips berlebih, Sita segera masuk ke bengkel. Dan menemukan mobil berwarna kuning yang sempat dicegatnya tadi, terparkir di pelataran. "Satu tujuan, kan. Zaman sekarang, memang ya, mencari orang baik itu susah." gumamnya, sembari mendekati mobil kuning itu. Bengkel yang dia datangi sepi, meski beberapa mobil sejenis terparkir di pelataran. "Jangan sentuh mobilku." Teguran itu, sontak membuat gerakan kaki Sita terhenti. Dia menatap seorang lelaki yang bersedekap d**a dan bersandar di tiang, beberapa langkah dari tempatnya. Dan dia mendengkus lirih, menilai tampilan lelaki pemilik mobil yang tidak punya hati untuk membantunya tadi. Tapi, Sita sadar posisinya. Dia dalam keadaan membutuhkan bantuan, sehingga yang kemudian dia berikan adalah ukiran senyum manis di bibirnya. "Aku butuh bantuan," ucap Sita, sedikit mendongak untuk menilai reaksi lelaki di depannya, sebelum mengimbuhi. "Motorku mogok, dan nggak tahu masalahnya apa. Ponselku juga ketinggalan, nggak bisa minta bantuan teman." Namun, tidak seperti yang Sita harapkan, lelaki di depannya justru hanya berdecih. Sita menggeram. Matanya memicing. Lelaki di hadapannya ini belagu sekali. "Ini bengkel mobil, kalau kamu nggak tahu," ucap si lelaki, menunjuk papan nama di bagian depan. "Memangnya nggak bisa benerin motor." Sita mendesis, tak ingin menunjukkan rasa malu karena tidak membaca papan nama itu dengan teliti. "Spesialis mobil, jadi pergi deh, buang-buang waktu." Kembali, si lelaki bersuara, masih dengan nada datar. Tidak ingin mendebat, Sita memilih pergi. "Benar, bukan tempat yang tepat, memang. Percuma mencari kepedulian dan mengais sisi kemanusiaan di tempat gersang begini." gumamnya, sembari membalikkan tubuh, dan mulai menjauh. "Di mana motormu?" Satu pertanyaan itu, sukses membuat Sita mengukir senyuman tipis. Tidak salah dia menggunakan sisi kemanusiaan untuk menyindir. "Nggak jauh dari sini." Sita nyengir, membalikkan tubuh. "Ya udah, antar aku ke sana," ucap si lelaki, berjalan ke arah mobil kuning miliknya, dan segera masuk. "Aku jalan kaki." Sita menaikkan sebelah alisnya, menatap intens si pemilik mobil yang sudah tenang-tenang saja duduk di balik kemudi. "Masuk lah, kelamaan nungguin kamu jalan." Tanpa diperintah dua kali, Sita segera menempati kursi samping kemudi dan menunjukkan di mana dia meninggalkan Jeje. Sita mengukir senyuman, menganggukan kepala, sesaat setelah Jeje dibawa ke bengkel lelaki yang sampai saat ini tak dia ketahui namanya. "Makasih ya, aku nitip Jeje di tempat kamu." "Jeje?" Sita tersenyum. "Motor tadi namanya Jeje." "Oh," "Aku harus cari siapa kalau nanti ke bengkel ngambil Jeje?" tanya Sita, kode sebenarnya, sungkan jika menanyakan secara langsung nama lelaki yang membantunya ini. Padahal, dia sudah menilai buruk si lelaki di awal temu. "Cari Jeje lah, motor kamu. Siapa lagi." Dan sayangnya, si lelaki asing di sebelahnya ini tidak peka dengan kode darinya. Sepertinya, Sita memang payah tentang kode-mengkode, nyatanya bertahun-tahun melempar kode pada Jefry, tidak ada yang berhasil. Payah, ya. Dan kenapa harus kembali ke Jefry lagi. Sita menggeleng, mengenyahkan nama itu dari benaknya. "Maksudnya, nama kamu, aku belum tahu." "Brian," ucap Brian, mengulum senyuman geli. Dia sudah mengerti yang gadis di sebelahnya ini maksud, hanya ingin sedikit menggoda. Dia mengulurkan tangan yang segera disambut dengan jabatan mantap. "Sita," balas Sita, lalu segera melepas jabatan tangannya. "Sekali lagi, terima kasih ya." Brian menganggukan kepala. "Bukan masalah." "Kalau begitu, aku pulang dulu," pamit Sita. Batal sudah niatannya ingin ke toko buku, si Jeje tidak bisa menemani. "Mau aku antar?" "Eh," "Maksudnya, daripada lama menunggu ojek atau taksi, kenapa nggak sekalian ikut aku." Sita membasahi bibir bawahnya. "Apa tidak merepotkan?" "Tidak. Tentu saja." Mempertimbangkan keefisienan waktu, dan tidak mau panas-panasan juga, meski setiap hari pun dia terbakar matahari bersama Jeje, Sita menerima tawaran itu. Dia kembali duduk manis di samping kemudi, sedangkan Brian membawa mobilnya membelah jalanan siang itu. Tidak banyak yang Sita bicarakan dengan Brian selama perjalanan, kecuali seputar motor Sita dan daerah tempat tinggalnya. "Ini rumah kamu?" tanya Brian, menghentikan laju mobilnya di depan pagar tinggi bercat putih, yang ditunjukkan Sita. Sita mengangguk. "Iya. Mau mampir, sekalian aku bikinin jus, atau air putih aja?" tawarnya setengah bercanda, sembari melepas seatbelt. "Aku lebih suka air putih, tapi, masih ada urusan selepas ini. Mungkin lain kali, kalau kita bertemu lagi." tolak Brian, karena memang, dia ada urusan sebentar lagi. "Baiklah, sekali lagi terima kasih." Sita membuka pintu mobil, dan melambaikan tangan sekilas, mengiringi mobil Brian yang menjauh dengan tatapan. Baru setelah itu, dia membalikkan tubuh dan berjalan masuk melewati gerbang. Namun, belum juga dia sampai di pintu depan, ia sudah dikejutkan dengan pertanyaan seseorang. "Diantar pulang sama siapa? Dan motormu di mana?" Sita menghela napas, tak perlu repot-repot menoleh untuk melihat si pemilik suara, karena sudah dia hapal di luar kepala. "Sita," panggil Jefry. Mau tak mau, kali ini Sita menoleh ke arah suara, menemukan Jefry sedang berdiri di depan gazebo dengan Dara dan Deva sedang tengkurap di belakang. Dua bocah itu nampaknya sedang asyik mewarnai. "Si Jeje mogok, dan nginep di bengkel," jawab Sita, bersamaan dengan kepala Deva yang mendongak, lalu melambai-lambai ke arahnya. "Tante Sita sini, Deva udah selesai mewarnai sapi!" "Iya, Tan. Bunga matahari Dara juga udah selesai diwarnai!" Dara ikut berseru semangat, mengangkat hasil karyanya dan ditunjukan pada Sita. Sita mengukir senyuman, menghampiri dua keponakannya, yang otomatis juga menghampiri Jefry. Tadi, sebelum Sita pergi, dua bocah itu memang baru memulai mewarnai. Padahal Sita menjanjikan akan membeli buku bergambar lain, tapi tidak jadi ke toko buku. "Wah, pintar. Nggak ada warna yang keluar garis lagi," puji Sita, duduk menyilang kaki, dan menilai hasil karya Deva dan Dara. Jefry ikutan duduk di tepi gazebo, berseberangan dengan Sita. "Jeje kenapa bisa mogok, dan nggak telepon aku?" Sita menengadah, menyahut jujur. "Aku nggak bawa ponsel." "Kamu bisa minta aku untuk nganterin kamu, toh ini hari minggu." "Takut Kak Jef lagi sibuk kencan," balas Sita mengedikkan bahu, lalu kembali menekuri gambar Deva dan Dara. Tidak sempat melihat jika Jefry memejamkan mata untuk beberapa saat. Dan perubahan raut wajah Jefry yang seketika kelam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD