Tak Sejalan

1356 Words
Tak Sejalan Jefry membuka pintu mobilnya, dengan sebuah senyum yang menghias menawan. Dia menenteng kotak donat yang dibungkus plastik bertuliskan nama tokonya. Melangkah ceria menuju gazebo depan rumah Kennan. Sejak ia menghentikan mobilnya, manik matanya sudah terkunci pada dua bocah yang tampak sedang menikmati permainannya. Bahkan dari kejauhan saja, dia bisa melihat seberapa lebar cengiran dua bocah itu. Dan tidak seperti biasanya ketika dia datang, Deva dan Dara tidak ada yang menyambut. Keduanya disibukkan dengan satu agenda penting. Menjahili Tante Arsita Kumala. Jefry mengulum senyum geli, menuruti permintaan Dara yang sadar akan kedatangannya, lalu meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Anak-anak Kennan memang luar biasa. Jahilnya kebangetan. Lihat saja sekarang, dua kembar itu sedang menaburi wajah Sita dengan bedak, dan ada beberapa coretan yang Jefry yakini dari spidol. Melingkar di mata dan pipi gadis itu. Sedangkan Sita sendiri tampak asyik terbuai mimpi. Tidak terusik sedikit pun dengan perbuatan Deva dan Dara. Padahal, bisik-bisik dari keduanya harusnya lebih dari cukup untuk mengganggu. Ah, mungkin karena angin sepoi yang membelai, dan gemerisik dedaunan yang terdengar saling menyahut. Irama alam yang membuat tidur semakin nyaman. Jefry mengambil duduk di tepi gazebo. Meletakkan kantong plastik isi kotak donatnya pelan-pelan. "Om Jef bawa donat nih. Bawa ke dalam sana," pintanya, berucap sama pelannya, sembari menarik keluar satu kotak donat dari kantong. Deva dan Dara sontak menghentikan kegiatannya, menoleh sekilas ke arah Jefry lalu menggeleng bersamaan. Dan kembali melanjutkan menaburi bedak di wajah Sita. Jefry mendesah, melirik wajah Sita yang sudah penuh dengan bedak. Gadis itu beneran nggak sadar, atau memang nggak peduli. "Om Jef punya cokelat, ayo sini. Udahan mainnya." Dan ucapannya kali ini berhasil, karena dua bocah itu mendekat pelan-pelan ke arah Jefry dengan cengiran kecil. Membuat Jefry hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. "Om Jef jangan bangunin Tante Sita," bisik Dara, meletakkan bedak taburnya ke lantai gazebo. "Kenapa?" tanya Jefry. Mengikuti kemauan dua bocah itu, memelankan suaranya. Hampir tak terdengar. "Tante Sita baru tidur, kasian capek pulang sekolah. Katanya abis diomelin guru." Kali ini Deva yang menimpali. Anak itu sudah turun dari gazebo dengan sebuah spidol digenggaman. "Capek kok, justru dikerjain?" kembali Jefry melontar pertanyaan. Meski sudah jelas tahu jawaban dari keduanya. Pasti yang lebih dulu usil adalah Sita, barulah dua bocah itu bekerja sama mengerjai. Sita memang usil, membuat rumah bertambah ramai. Meski tetap, keusilannya dibatas wajar. Dan pasti kehadirannya sangat disukai Deva dan Dara. Makanya, Kennan tidak pernah mengizinkan Sita untuk tinggal sendiri. Sita berperan penting dalam menjaga Deva dan Dara. Sedangkan ayah-bundanya entah sedang asyik ke mana, seperti sekarang ini. Dara meringis, ikut turun dari gazebo dengan gerakan super pelan. "Abis, Tante Sita pelupa. Nggak jadi-jadi beliin buku bergambar baru." Deva mengangguk setuju. "Tadi pagi juga, Tante Sita ngambil sosis sama baso punya Deva di nasi goreng." "Padahal kan, Tante Sita punya piring sendiri, ya?" Dara menambahi, mengangkat dagunya ke arah Deva meminta persetujuan. Yang tentu saja, segera dibalas anggukan kepala dari Deva. Dua kembar itu memang kompak sekali. Saling mendukung jika memiliki tujuan sama. Jefry menghela napas, geleng-geleng kepala, lalu mengeluarkan dua potong cokelat dari balik saku jas. "Buat Dara sama Deva," ucapnya, menyerahkan ke masing-masing anak. Bukan cokelat berukuran besar memang, karena hanya untuk memenuhi janji. Nanti, kalau Dara ingat lalu Jefry nggak bawa, kelupaan, dikira Eyang lagi. Kan, semakin terlihat tua dirinya. Semakin jatuh lah pamornya. "Terima kasih Om," ucap keduanya, berbarengan. Sama-sama memberi sebuah senyuman, yang membuat siapa pun orang yang melihatnya akan ikut tersenyum. Bahkan jika sedang kesal, pasti akan luruh kekesalan itu. Jefry menganggukan kepala, mengambil kantong plastik berisi kotak donat dan diserahkannya ke Dara. "Bawa ke dalam ya, buat Ayah sama Bunda." Dara semringah, menerimanya dengan senyuman lebar yang semakin menambah cantik anak itu. "Makasih Om," ucapnya. Lalu menanamkan sebuah kecupan di pipi Jefry, karena lelaki itu mencondongkan tubuh. Jefry mengusap puncak kepala Dara. Lalu melirik Deva, untuk kemudian berkata, "Deva nggak mau cium Om Jef juga?" Deva menggembungkan pipinya. Menggeleng. Namun, saat Jefry akan menegakkan tubuhnya, Deva memburu dan menanamkan kecupan di sebelah pipi Jefry yang lain. "Uh, manisnya," goda Jefry, mengukir senyuman geli. Jika dia punya anak, dia juga ingin kembar seperti itu, biar ramai, biar ada temannya. Atau langsung disusul bikin adik, biar dia kelabakan mengurusnya. Tapi, bayangan itu hanya bertahan sebentar, karena kemudian Jefry menghela napas dan meluruhkan senyum. Hidupnya terlalu rumit untuk memiliki sebuah keluarga. Jadi, untuk menghapus jejak-jejak senyuman yang mampir di benaknya, Jefry melemparkan tatapan pada Deva dan Dara yang berjingkat-jingkat senang melewati rerumputan dan batu-batuan kecil yang ditata untuk jalan. Membuat kotak donat yang tersimpan di plastik bergoyang-goyang. Setelah memastikan Deva dan Dara melewati ambang pintu depan, barulah Jefry mengalihkan tatapan pada sosok Sita yang masih nyaman dengan mimpinya. Dia hendak menaikkan dua kakinya ke lantai gazebo, sebelum deru sebuah motor yang berhenti di depan gerbang mengurungkannya. Jefry memicingkan mata, melihat sebuah motor yang sudah teramat dia hapal. Motor Sita. Namun kali ini, seorang lelaki yang menaiki motor itu. Tanpa berpikir lagi, Jefry mendatangi, sebelum si pengendara melanjutkan laju motornya melewati pintu gerbang yang kali ini sudah dibuka security. Dan mobil kuning yang terparkir di belakang motor, membuat Jefry mengingat. Mobil itu yang pernah mengantar Sita pulang. "Sore, Om. Sita-nya ada?" tanya Brian, sedikit terkejut dengan kedatangan seorang lelaki yang seolah menghadangnya tadi. Membuat dia membatalkan niatnya untuk masuk lebih dalam ke pelataran. Dia mematikan mesin motor dan memarkirnya di depan pos security. "Om," ulang Jefry, menaikkan sebelah alisnya. "Kapan saya nikah sama Tantemu?" imbuhnya, dengan nada yang jelas terdengar kurang ramah. Brian gelagapan, berkedip beberapa kali. "Eh, Maaf Kak," ucapnya, melirih di bagian panggilan. "Saya hanya mengantar motor Sita, apa Sita-nya ada?" Jefry ingin mendengkus, namun ditahannya. Dia sadar, kalimat yang dia lontarkan tadi sedikit berlebihan, apalagi nadanya jelas tidak bersahabat. "Sita sedang tidur," jawabnya jujur, mengaburkan nada ketus yang ingin ia sisipkan. Brian ber-oh tanpa suara, sedikit menyungging senyuman tipis. "Kalau gitu, saya langsung pulang saja. Titip bilangin ke Sita, motornya sudah diperbaiki." "Hm," Jefry berdehem, menganggukan kepala. Hingga dia sadar satu hal, lalu mengeluarkan dompet. "Berapa biaya bengkelnya?" tanyanya sembari membuka dompetnya. Tidak banyak lembaran merah di dalamnya memang, tapi cukuplah untuk bayar jasa benerin motor. Tidak sampai berjuta-juta palingan. Brian menggoyangkan sebelah tangannya di udara. "Tidak perlu Kak, buat teman, bisa bantu aja udah seneng." "Teman?" lirih Jefry yang hanya mampu ia dengar sendiri. Dia sedikit menilai tampilan Brian, seingatnya, selama ini Sita tidak pernah mempunyai teman semacam Brian. Gadis itu lebih suka bersama kawan kampusnya, yang juga mengendarai motor. Bukan mobil sport macam yang dia lihat saat ini. Apalagi, tampilan lelaki di hadapannya ini, jelas membuat banyak perempuan menoleh berkali-kali. Tapi, tetap keren dia ke mana-mana. Meski sudah kepala tiga, aura menganggumkan darinya tampak begitu jelas. Bertebaran. "Teman kampus Sita?" akhirnya tanya itu yang terlontar dari celah bibir Jefry. Penasaran, atau sedikit tidak suka. Sedikit. Benar. Hanya sedikit. "Iya, kami satu kampus," Brian mengangguk, menjawab sopan. "Oke. Bener nggak perlu bayar?" Jefry kembali mengulang, entah kenapa, dia ingin urusan Sita dengan lelaki di hadapannya ini segera selesai. Mengabaikan jika keduanya kuliah di satu kampus, dan kemungkinan bertemu justru lebih intens dari pertemuannya dengan Sita. "Beneran Kak, kalau gitu saya permisi dulu," Brian menganggukan kepala pelan, sebelum akhirnya mundur dan berjalan ke arah mobilnya. Menghampiri seorang temannya yang sudah menunggu dan bersandar di mobil. "Terima kasih!" seru Jefry, sedikit keras. Yang membuat Brian membalikkan tubuh dan menganggukan kepala dengan disisipi sebuah senyuman. Lalu dia segera masuk ke mobil dan melajukannnya. Jefry menghela napas, menuntun motor Sita dengan mesin mati, karena tidak ingin mengusik tidur gadis itu dengan deru motor. Dia memarkir motornya ke depan garasi, bersisian dengan mobil Kennan. Harusnya, dia masuk ke dalam rumah, menemui Kennan yang belum juga keluar menyambutnya. Namun, yang dia lakukan justru kembali ke tempat Sita terlelap. "Bukankah ini yang kamu inginkan, Jef?" gumam Jefry sembari terus mengayun langkah menuju Sita. Dia mengambil tempat, tepat di sebelah Sita yang kali ini mengubah posisi menjadi miring, menghadap ke arahnya. Gadis itu, dengan wajah penuh corat-coret, begitu tak peduli dengan sekitar. Tak peduli pula dengan kedatangannya. Jefry mengulurkan tangan. Dia usap punggung tangan Sita yang mengait di sisi wajah, lalu naik sedikit ke belah pipi gadis itu, mengusap butiran bedak di sana, membuat Sita meloloskan gumaman tak jelas. Dan kemudian senyumnya mengembang. Bersama Sita memang selalu menyenangkan, walau hanya tatap mata sepihak seperti ini. Sita gadis baik. Menjadi keluarganya. Prioritasnya. Dan sudah sepantasnya gadis itu mendapatkan seseorang yang sama baiknya. Bukankah, perempuan baik untuk lelaki yang baik juga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD