Tentang Pilihan

1377 Words
Tentang Pilihan "Sita," Malas untuk menengadah, Sita hanya berdehem pelan menyahuti panggilan Orin. Dia sibuk dengan jus jeruk di depannya, memutar-mutar pipetnya mengelilingi gelas. "Aku udah tahu nama cowok yang kemarin dulu aku lihat, dan aku pilih menjadi kandidat dengan presentase paling besar buat nyaingi Kak Jefry." Orin berucap semangat. Menatap Sita dengan binar ceria. Merasa bangga dengan penyelidikannya tentang cowok tampan yang pernah lewat di depannya, saat dia mengajukan usulan bagi Sita untuk pindah hati. "Kali ini pasti bisa membuat Kak Jefry kebakaran jenggot kalau kamu mengambil langkah buat deketin cowok ini." Untuk satu kalimat menggebu itu, Sita tak luput menyungging senyuman geli. Dia menengadah, lalu mendengkus. "Aku nggak yakin dia bisa menyaingi Kak Jefry." Orin berdecak. "Karena kamu cintanya sama Kak Jefry, tentu saja hanya dia seorang yang paling tampan di matamu." Tidak membantah, atau pun menambahi, Sita hanya menganggukan kepala. Di matanya, Jefry memang nomor satu yang paling tampan. Padahal sih, katanya lebih tampan Kennan -kakak iparnya. Tapi, itu juga kata Yuna dan semua asisten rumah tangga Kennan, ditambah karyawan perempuan di kantor Kennan. Jadi, pantaslah, bakal memuji bos besarnya. Namun, lebih dari apa pun, Sita memiliki perasaan pada Jefry bukan sekadar karena lelaki itu tampan. Bukan juga karena sikap badboy-nya yang banyak membuat perempuan menggila. Tapi, lebih pada bagaimana Jefry begitu sabar menemaninya. Menuntunnya. Dulu, saat Sita bersekolah di Singapura, Jefry sering kali mendatanginya, bersama Kennan memang, namun, Kennan selalu pulang di hari yang sama. Berbeda dengan Jefry yang akan tinggal sedikit lebih lama, bahkan sampai beberapa hari untuk menemani dirinya mengenal tempat baru. Mungkin sejak saat itu, Sita diam-diam menyimpan perasaan. Dan mungkin juga, karena itu perasaannya pada Jefry begitu sulit untuk digeser. "Namanya Brian," sebut Orin pasti. "Brian Lazuardi." Sita berkedip, menoleh tepat ke arah Orin dan menatap dua bola mata sahabatnya. "Brian," ulangnya. Ingatannya terlempar pada hari kemarin, di mana dia baru saja berkenalan dengan lelaki bernama Brian. Dia tidak ingin mengira-ngira, jika Brian yang dia kenal adalah satu orang sama. Bukankah, ada banyak banget nama Brian. Bisa juga Brian yang jadi artis itu, siapa tahu. "Ganteng banget, Ta, aku juga baru sadar." Orin mengerling. "Anak Teknik, mahasiswa abadi, udah berapa tahun nggak lulus-lulus." Sita menaikkan sebelah alisnya. "Mahasiswa abadi kamu kenalin ke aku, gimana sih, Rin." Orin menggoyang-goyang jari telunjuknya. "Emang mahasiswa abadi, Ta, tapi dia udah punya usaha. Kalau aku nggak salah denger, punya bengkel dan show room mobil sport." Kali ini, bukan lagi kebetulan Sita rasa. Namanya Brian, dan punya bengkel mobil. Tapi .... "Kamu dapat info dari mana?" tanya Sita. Brian yang dia kenal kemarin memang oke, secara tampang sama kendaraan, tapi nggak se-wah Jefry tuh. Nah kan. Dibandingin Jefry lagi. Mana bisa dia jalan sama cowok lain, kalau pikiran dan hatinya selalu mengikutsertakan Jefry ke mana pun kakinya melangkah. Sita mendesis lirih. Jefry ... Jefry ... pakai pelet apa sih bisa ngiket anak gadis se-erat ini. "Nggak sengaja denger obrolan mahasiswi, pas ada mobil sport masuk kampus, terus si Brian keluar." "Mobil kuning?" tanya Sita menebak. Orin membeliak, lalu mengangguk tegas. "Kamu kok tahu sih, Ta. Pasti ikutan curi-curi pandang pas Brian ke kampus," ucapnya. "Wajar sih, mobilnya sengejreng itu." Sekarang, Sita yakin sekali jika Brian yang Orin maksud, sama dengan Brian yang Sita pintai bantuan kemarin. "Jeje lagi nginep di bengkel Brian," ucapnya jujur. Jika sebelumnya, Orin sudah membeliak, maka kali ini bola mata gadis itu semakin membulat. "Kok bisa?" "Bisa." Orin berdecak dengan jawaban yang Sita beri. Tidak sesuai dengan keinginannya. "Maksudnya, kenapa Jeje bisa nginep di bengkel Brian. Emang Brian Lazuardi namanya?" Sita mengukir senyuman geli sembari menggaruk pelipisnya. "Nggak tahu juga nama lengkapnya, yang jelas, namanya Brian. Dan nggak setampan seperti yang kamu elu-elukan," sahut Sita, dibumbui dengan nada menggoda diakhir kalimat dan sebuah kerlingan. "Bukan Brian yang sama, Ta. Brian Lazuardi yang ini jadi most wanted di deretan mahasiswi. Kita-kita aja yang nggak tahu, habisnya Brian yang ini jarang masuk kampus. Sibuk ngurusin bisnis." "Kata orang?" tebak Sita. Dia dan Orin memang tipikal mahasiswa yang malas ikut nimbrung di deretan mahasiswi yang acap kali membicarakan cowok-cowok, terutama yang badboy dan playboy. Beberapa kali tertangkap rungunya, para mahasiswi itu pasti akan menyerukan betapa menyenangkannya jika mempunyai pacar badboy. Bagi mereka, bisa berpacaran dengan badboy lalu membuat badboy itu taubat, jatuh cinta dan mengubah sikapnya yang urakan menjadi lebih baik untuk seorang perempuan adalah menakjubkan. Layak diidamkan. Kalau Sita boleh jujur, teori itu tidak selaras dengan pikirannya. Kalau si badboy mau taubat, ya sudah, bertaubat karena memang ingin mengubah diri menjadi lebih baik, datang dari hati sendiri, bukan karena perempuan. Karena kalau perempuan-nya nggak bisa didapatkan, terus nggak jadi taubat, gitu. Meski, Jefry tidak sepenuhnya badboy, Sita pun berharap, Jefry bisa berubah, bukan karena seorang perempuan. Tingkah Jefry memang menyebalkan, dan acapkali di cap playboy yang juga badboy oleh orang, karena sikapnya yang begitu pintar membawa diri di kumpulan perempuan. Tapi, jika mengenal lebih dalam, Jefry adalah lelaki baik. Teramat baik. "Iya. Kan, memang dapat informasinya dari mulut ke mulut," sahut Orin, nyengir kecil. Karena memang semua hal tentang Brian dia peroleh dari hasil nguping dan selentingan mahasiswa. Sita geleng kepala. "Hoax lho, Rin. Nggak bisa begitu aja percaya." "Makanya, biar tahu itu hoax atau bukan, kamu coba jalan sama dia." Orin kembali mengusulkan. "Kamu aja, Rin." Orin mendelik. Mengibaskan tangan. "Nggak selevel sama aku, Ta. Kebanting aku, kalau aku jalan sama dia." Sita menghela napas, menyesap jus jeruknya hingga tandas tak bersisa. "Kamu udah bicara panjang lebar, kasih motivasi ini itu tentang perasaanku. Eh, kamunya masih sedangkal itu menilai cinta. Dikira cinta hanya akan hadir kalau dua belah pihak memiliki level yang sama." Orin mengedikkan bahu, tanpa membuat ekspresi berarti di wajahnya. "Kan memang kesetaraan kasta yang diprioritaskan dalam cinta." "Gini, Rin," Sita mengaitkan dua tangannya di atas meja, menatap Orin lekat. "Kalau kamu jatuh cinta, maka cinta itu nggak akan peduli, pada siapa rasa itu dijatuhkan. Contohnya, yang paling dekat itu aku. Kalau aku bisa memilih, tentu lebih mudah menggaet lelaki yang sepantaran, atau rentang usia nggak terlalu jauh. Kamu bisa lebih leluasa untuk mengejar. Cinta itu nggak memandang kasta, Rin. Banyak kok, pasangan dengan kasta jomplang yang hidup bahagia. Justru pasangan dengan kasta tinggi belum tentu mendapat cinta. Mereka sibuk dengan harta, sehingga hati tak lagi berharga." Orin diam, berkedip beberapa kali sebelum akhirnya mengukir senyuman. "Kamu dewasa banget, Ta. Kalau Kak Jefry denger kamu ngomong kayak tadi, dia pasti langsung klepek-klepek." Sita menyemburkan tawa. Bergeleng-geleng. "Aku nggak yakin. Jangankan klepek-klepek, kagum aja nggak bakalan." Yah, meski Jefry baik, tapi lelaki itu tidak pernah mengutarakan kekaguman pada Sita. Dan hal itu membuat Sita semakin merasa miris. Membuat dia harus jungkir balik memutar otak dan hati untuk membuat Jefry melihat ke arahnya. "Sita," Panggilan seseorang membuat Orin dan Sita yang sedang fokus dengan obrolan dan tawa, serempak menengadah. Dan menemukan seorang lelaki tinggi tegap berdiri di ujung meja mereka. Orin yang lebih dulu mengenali, berkedip beberapa kali dengan bibir terkatup rapat, terkejut. Sedangkan Sita, justru menaikkan sebelah alis, tanpa membalas senyuman lelaki yang menyapanya. "Brian," sebut Sita. Brian mengangguk. "Hai, boleh gabung?" Otomatis, Sita menggeser duduknya, memberi tempat di sebelahnya. Dia dan Orin baru saja membicarakan Brian, dan si empunya nama justru hadir. Melihat bagaimana keterkejutan Orin, Sita tahu, Brian yang Orin dan dirinya maksud adalah orang yang sama. "Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini," ucap Brian, mengambil duduk di samping Sita dan meletakkan botol soda yang dibawanya ke atas meja. Sita meringis."Sama," lirihnya. Lalu melirik Orin yang masih diam, menatap dirinya menuntut penjelasan. Yah, dari cara Brian menyapanya tadi, seolah-olah, mereka sudah mengenal lama, padahal baru satu kali bertemu. "Oh iya, Brian, kenalin, ini Orin temanku." Sita memperkenalkan keduanya, agar tidak merasa canggung lebih lama lagi. "Orin," sebut Orin, mengulurkan tangan. "Brian, senang berkenalan sama kamu," ucap Brian, mengukir senyuman. Dia melepas jabatan tangannya lalu beralih ke Sita. "Kamu ambil apa di sini? Kok nggak pernah lihat kamu, ya." "Ambil manajemen, semester akhir," Sita menyahut. "Kami udik sih, jadi nggak pernah terlihat sama kamu," imbuhnya. Walau sebenarnya, dia pun tidak mengenal Brian sebelum pertemuan mereka di pinggir jalan. "Aku sih yang jarang masuk kampus, jadi nggak tahu. Terus juga nggak pernah main-main ke fakultas lain." Brian tertawa, mengedikkan bahu. Lalu melanjutkan tanya, "Semester akhir lagi sibuk-sibuknya dong." "Yah, bukan sibuk lagi sih, pusing lebih tepatnya." seloroh Sita yang seketika disambut tawa Brian. Akhirnya, siang menjelang sore itu, Sita, Brian dan Orin terlibat obrolan hangat mengenai kampus mereka dan jurusan. Sita yang memang tipikal pandai berbicara, tidak pernah kehabisan topik. Tanpa tahu jika beberapa meter dari tempat mereka berdiri ada beberapa pasang mata yang melempar tatapan tajam tidak suka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD