Suka Kamu

1382 Words
Suka kamu "Deva," Sita menggumam, memanggil dengan mata masih tertutup rapat. "Dara," sebutnya lagi, memanggil nama lain. Mengingat jika sebelum dia terlelap, dia sedang menunggui dua keponakan manisnya. Meski kelopaknya sedikit berat untuk terbuka, Sita mengerjap pelan. Sadar jika di depannya ada seseorang lain. Bunyi napas orang itu yang membuat Sita mengira jika ada Deva atau pun Dara di sampingnya. Namun, ketika akhirnya kelopaknya terbuka setengah, dan netranya menangkap sosok di depannya. Maniknya justru membulat teramat lebar, dan detik berikutnya bangkit terduduk karena keterkejutan. "Kak Jefry," sebut Sita, sedikit mengeraskan suaranya yang dipenuhi ketidakpercayaan. Jika ini mimpi, Sita akan lebih percaya. Karena sesekali dia memimpikan hal seperti ini, eh bukan, tapi sering kali Sita memimpikan sedang menghabiskan waktu hanya berdua dengan Jefry. Itu konyol. Benar. Sita tahu mimpinya konyol karena hanya diisi dengan sosok Jefry. Tapi, itu menyenangkan bagi Sita. Karena meski hanya di dalam mimpi, menghabiskan waktu berdua dengan orang yang dicinta adalah sebuah hal yang mampu membuat dadanya membuncah bahagia. Tapi ini ... Sita mengerjap, memiringkan kepala dan menimbang. Mimpi atau bukan? "Jangan berteriak seperti itu. Nanti Kennan berpikir aku ngapa-ngapain kamu lagi," lirih Jefry dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. Menatap Sita sesaat lalu kembali memejamkan mata. Dia ikut tertidur di sebelah Sita, karena tiba-tiba kepalanya terasa pening. Niatnya sih, hanya ingin rebah sesaat, bukan malah ikut terlelap. "Ngapain Kak Jefry di sini?" Sita melontarkan tanya, melihat sekitar yang terasa begitu sepi. Seolah waktu dan semua orang mendukung mereka berdua. Atau hanya mendukung dirinya saja. Jefry meloloskan satu embusan napas berat, yang terasa panas. "Kamu usap wajah kamu dulu," ucapnya, mengulurkan sepotong sapu tangan yang sebelumnya sudah dia tarik keluar dari saku celana. Bukannya mengambil sapu tangan yang Jefry ulurkan, Sita justru hanya memicing. Menatap intens wajah Jefry yang sedikit pucat. "Muka kamu penuh corat-coret, hapus dulu." "Apa?" "Biar aku saja yang hapus deh, masa wajah penuh bedak kayak gitu nggak nyadar." Jefry bangkit perlahan. Pening di kepalanya kembali melanda. Padahal, dia pikir sudah cukup lama tertidur, sehingga peningnya menghilang. Sita mengerjap, melirik hidungnya lewat celah bulu mata. Lalu menahan napas dan menggeram pelan, mendapati hidungnya dipenuhi bubuk-bubuk berwarna putih. Refleks, dia mengusap pipinya, membuat bedak yang menempel berpindah ke tangan. Dia segera mengambil sapu tangan milik Jefry dan diusapkannya ke wajah. Sedikit memiringkan tubuh dan menyembunyikan wajahnya. Sudah jelas, siapa pelakunya. "Sini, Ta. Aku bantu," ucap Jefry, berhasil duduk dengan tegak. Meski kepalanya pening, senyuman geli terus saja dia ukirkan di bibir. "Nggak. Biar aku aja." Sita berkeras. Terus-terusan mengusap wajahnya berusaha menghilangkan bubuk bedak hasil karya si kembar usil. "Kenapa Kak Jefry nggak bangunin aku, malah ikutan tidur?" Tidak ingin memburu Sita untuk berbalik ke arahnya, Jefry menyandarkan punggung di dinding gazebo belakangnya. Dia memejamkan mata sembari menarik napas lebih dulu, lalu berkata, "Kamu nyenyak banget tidurnya, jadi ketularan ngantuk." Sita mendesis. Alasan klasik. Dia jadi berpikir, sejelek apa wajahnya tadi saat tidur. Tidak dicoret-coret saja wajahnya sudah di bawah kelas perempuan-perempuan yang mendekati Jefry. Dan seberapa lama Jefry memperhatikan wajah penuh coretannya ini. "Sini, Ta, aku bantuin. Nggak perlu sembunyi." Jefry kembali menawarkan. Berusaha untuk tidak mengukir senyuman geli lebih lebar, meski pada akhirnya gagal. "Nggak mau." "Kenapa?" Sita merengut. "Wajahku lagi jelek, nggak mau diliatin. Malu." "Nggak pa-pa jelek, nggak perlu malu. Tetep idaman kok." Kalimat terakhir Jefry, berhasil membuat Sita mengerjap beberapa kali, bahkan menghentikan gerak tangannya mengusap. Dia menoleh ke arah Jefry, menilai raut wajah lelaki itu. "Idaman?" ulangnya. "Idaman Deva dan Dara buat dikerjai." kekeh Jefry. Boleh tidak sih, Sita mengumpat pada orang yang dicinta. Kenapa ngeselin banget berbagi obrolan dengan Jefry. Dia yang kebangetan baperan atau apa? Hanya kata idaman, bisa membuat banyak bumbungan khayalan bagi Sita. "Nggak lucu, Kak." tandasnya. Merasa wajahnya sudah lebih bersih, Sita menurunkan sapu tangan dan menyudahi membersihkan wajah. Namun, tidak seperti yang Sita harapkan, Jefry justru mencondongkan tubuh, merebut sapu tangan digenggaman Sita untuk diarahkan ke bawah mata gadis itu. Menghapus lingkaran garis yang dibuat dengan spidol. "Untung bukan spidol permanen, jadi masih bisa hilang diusap gini," lirih Jefry di depan wajah Sita, hanya berjarak beberapa senti. "Kalau pakai spidol permanen, hapus sekalian pakai thinner." imbuhnya, diselipi senyuman geli. Jefry melupakan sepenuhnya, jika Sita membeku di tempat. Wajah yang perlahan menjalar merah dan napasnya yang sudah tertahan sejak Jefry mendekat. Lelaki itu, yang wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Sita, hembus napasnya yang terasa hangat, dan bola mata yang bergerak-gerak, mengabaikan si korban yang bungkam seribu bahasa. Adalah satu sosok yang selalu mampu membuat degup jantung Sita naik beberapa ketukan. Namun juga membuat banyak sekali tanya melintas di benak Sita. Sebenarnya, bagaimana perasaan Jefry yang sesungguhanya? Apakah hanya menganggap dia sebagai seorang adik, keluarga? Atau ada kemungkinan Jefry menatap dirinya sebagai seorang perempuan, yang memiliki kesempatan sama besarnya dengan perempuan yang Jefry kenal di luar sana. Lalu ..., Kalau Sita jujur, akankah Jefry tidak menganggap dirinya sedang melucu. Atau lebih menyedihkannya, perasaannya disebut lelucon. Konyol. Tapi, bukankah yang paling ingin Sita lakukan adalah mengungkap kejujuran perasaannya. Oh, ayolah hati. Sita mendesah, melakukan banyak pertentangan di dalam hati dan pikirannya. "Tidak ada salahnya mencoba jujur." "Jangan. Kalau kamu ditolak, akan diletakkan di mana wajahmu. Titip tetangga." "Jefry tidak akan sekekanakan itu menyikapi sebuah pernyataan tentang perasaan." Dari semua pertentangan itu, kemungkinan-kemungkinan itu. Sita justru meloloskan satu kalimat singkat, yang dia tarik dari dasar hatinya, untuk dia lepaskan kepada semesta. Kepada lelaki di hadapannya ini. Yang kali ini berpindah mengusap pipinya, menggosoknya pelan. "Aku suka Kak Jefry." Tidak ada petir. Tidak ada bunyi gemuruh lain kecuali detak jantung Sita yang memburu atau nyanyian kebahagiaan setelah kalimat yang susah payah Sita utarakan melewati celah bibirnya. Yang Sita dapatkan justru tatapan mata menilai, bukan sebuah kebahagiaan, dan hanya satu kata tanya terlontar. "Apa?" Sita mengerjap, menelan ludah. Dibalasnya tatapan Jefry. Ketika tidak menemukan binar kebahagiaan, meski hanya sebutir debu, Sita memutuskan untuk menghela napas dan mengukir senyuman teramat manis. Mengaburkan kepahitan lidahnya. "Aku suka Kak Jefry bawain donat kesukaanku." Sita mengalihkan tatapan, melirik kotak donat tidak jauh darinya. Dia mundur beberapa jengkal lalu menarik kotak itu dan membukanya. "Udah lama banget nggak makan ini," imbuhnya, mengusap jari tangannya ke baju lalu mengambil donat dengan toping keju dan krim stroberi. "Iya, itu buat kamu. Kamu boleh abisin, Deva sama Dara sudah aku kasih sekotak." Jefry mengangguk, membalas, setelah beberapa saat dibiarkan hanya ada keheningan. "Makasih, Kak." Sita melempar senyuman khas seperti biasanya. Bukankah dia aktor yang begitu hebatnya. Padahal kurang dari sepuluh menit, pernyataan perasaannya diutarakan. Mendapat penolakan kah? Atau waktunya tidak tepat. Tapi yang jelas, Sita tidak berani menatap Jefry lama-lama, karena tidak yakin bisa menyembunyikan kecewa hatinya. Harusnya, Jefry tidak menatap dirinya dengan tatapan menilai seperti tadi. "Kak Jefry mau?" Sita menawari, melirik sekilas ke arah Jefry yang mundur, membuat jarak lebih lebar dengannya. Jefry menggeleng. "Buat kamu aja, kamu yang lebih suka manis-manis begitu." Sita tidak lagi membalas, hanya terus mengunyah donat, berusaha menyalurkan rasa manisnya sampai ke hati. Hingga keduanya dikejutkan dengan kedatangan dua bocah, berlari ke arah mereka. Dan kedatangan Deva juga Dara adalah hal yang paling Sita syukuri, karena berhasil mencairkan suasana. "Tante Sita sudah bangun, disuruh mandi sama Bunda," ucap Deva, menyambut. "Masih makan donat. Nanti aja," Sita membalas, memamerkan gigitan donatnya pada si kembar yang menoleh ingin kepadanya. Deva menggembungkan pipi. "Minta donatnya." "Nggak boleh. Buat Tante aja." Sita membalas usil. Dua bocah itu sama-sama suka donat, apalagi donat madu seperti yang dia makan. "Boleh minta ya, Om." Kali ini Dara yang bertindak. Dia naik ke gazebo dan menduduki pangkuan Jefry. Merayu. "Kan, Om Jefry yang bawa, boleh ya?" Jefry melirik Sita, mendapatkan tatapan memperingati dari gadis itu. Tapi, yang terjadi selanjutnya adalah dia menganggukan kepala. "Boleh." Dara sontak mengalungkan lengannya ke leher Jefry, senang. Dan menyadari suhu tubuh Jefry yang berbeda. "Kok, Om Jefry panas. Habis lari-lari di bawah matahari, ya?" Sita menghentikan kunyahannya, menatap Jefry yang menggelengkan kepala. Lalu menemukan seberapa pucat wajah lelaki itu. Dia tidak sadar, dan melupakan detail kondisi lelaki di hadapannya. "Kak Jefry belum sembuh sejak kemarin? Bukannya udah izin kerja buat istirahat. Dan kenapa nggak ngabari aku kalau masih sakit." Sita memberondong pertanyaan, mendekati Jefry dan mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi lelaki itu. Panas. "Bebal." Sita menggumam jengkel. Sebelum Jefry melontarkan kalimat, Sita kembali berbicara, sedikit mencibir. "Gengsi ditinggiin. Bisa ngurus sendiri, katanya. Istirahat langsung sembuh, katanya." Terlepas dari gazebo itu, dikejauhan, bersandar pada pilar besar. Kennan bersedekap d**a, melempar tatapan ke arah gazebo. Di sebelahnya ada Yuna, yang juga sedang mengarahkan tatapan seperti dirinya. Keduanya tadi mengantar Deva dan Dara yang berlari-lari kecil dengan tatapan. "Apa lagi yang Jefry tunggu?" Pertanyaan itu terlontar dari Yuna. Kennan menghela napas, mengedikkan bahu. "Jefry memiliki banyak sekali pertimbangan." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD